webnovel

33

Ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri di kehidupan pertamaku, aku hanya bisa bertanya-tanya kenapa dia harus mundur.

Bukankah dia presiden yang hebat dan tanpa tanding?

Pesta rakyat tentang reformasi dulu tidak dapat kumengerti.

Semua euforia tentang mundurnya Soeharto sama sekali belum masuk logikaku.

Wakil Presiden BJ Habibie, sesuai undang-undang, maju menggantikan beliau. Beberapa saat berselang, Pangkostrad Prabowo Subianto dicopot dari jabatannya.

Pers seperti mendapat angin surga, kebebasan berbicara terjadi di mana-mana. Para politisi tidak ketinggalan, mereka yang dulu diharuskan mengikuti salah satu dari tiga partai peserta pemilu, kini dibebaskan membuat partai masing-masing.

Sudah jelas bahwa mereka yang mendirikan partai adalah orang-orang yang berambisi menjadi presiden. Sementara bagi rakyat, tidak penting siapa presidennya. Bagi mereka turunnya harga barang serta situasi yang damai jauh lebih penting.

Di atas puing-puing keruntuhan orde baru, tumbuhlah kehidupan baru. Era keterbukaan dan kebebasan bagi masyarakat Indonesia telah dimulai.

Krisis moneter sendiri tidak terlalu berpengaruh kepada keceriaan anak-anak. Mereka semua belum mengerti kesulitan yang terjadi pada masa ini, begitu pun aku di siklus pertamaku. Kami bermain bola di jalanan, terkadang lomba lari, tanpa beban. Sebagian masih percaya bahwa memakai sendal di tangan akan membuat kecepatan lari mereka bertambah. Entah apa dasarnya.

Yang terjatuh dan hidungnya mimisan segera menggunakan daun sirih untuk ditaruh di hidungnya. Kami tidak menangis karena luka. Sebagian lain bermain pesawat kertas dengan sebelumnya meniup dulu ujung pesawat kertas buatan masing-masing.

Video Compact Disk mulai menggantikan VHS. Namun meskipun demikian, kaset-kaset VHS masih mendominasi. Belum banyak orang yang memiliki VCD player. Tapi VCD-VCD bajakan telah banyak beredar. Termasuk film Bean.

Presiden Habibie menjabat hingga 1999 seperti seharusnya, dan digantikan Abdurrahman Wahid.

Sempat terbersit di kepalaku, bisakah aku juga mengintervensi hal ini?

Bagaimana jika dulu kuinvestasikan uangku pada politik?

Bisakah kuganti hasil dari sidang paripurna ini untuk memilih kembali BJ Habibie sebagai presiden?

Akankah kulakukan itu di siklus ketigaku, jika memang itu akan terjadi?

Ah, terlalu banyak pertanyaan di kehidupan ini. Lebih tepatnya, terlalu banyak keinginanku.

Gaya rambut Ira Koesno telah menjadi tren.

Begitu juga kacamata berbingkai oval tebal. Telepon genggam Nokia mulai menjamur. Selain itu, rokok kini seolah naik kelas karena dijajakan oleh Sales Promotion Girl (SPG) yang berpakaian bersih serta berdandan rapi. Kebanyakan pembelinya dari kalangan pria, sebenarnya membeli rokok bukan karena mereka butuh. Di antara mereka membeli rokok yang bukan merk kegemarannya, bahkan ada juga yang sebenarnya tidak merokok. Tapi mereka membeli untuk mendapatkan nomor telepon si SPG.

Istilah "sakit hati karena harga" mulai menjadi populer. Ini adalah istilah yang diciptakan dan digunakan masyarakat untuk menggambarkan betapa semakin berkurangnya nilai uang. Percakapan seperti "Jangan ke mall, cuma bikin sakit hati liat harga-harganya," sangat sering didengar.

Artis-artis mendirikan kafe tenda, yang sebenarnya rasa masakan mereka tidak terlalu istimewa. Kafe-kafe itu ramai karena nama sang artis, bukan kualitas hidangannya.

Sementara krisis ekonomi membuka lahan baru bagi perusahaan produsen shampoo dan kopi dengan mengeluarkan produk 3 in 1.

Citra mantan presiden Soeharto sendiri kini benar-benar hancur, seperti citra Bung Karno di zaman Orde Baru. Presiden Habibie dituntut untuk segera mengusut kekayaan milik mantan Presiden Soeharto.

Masyarakat pun menjadi sadar akan politik. Pembicaraan-pembicaraan yang membahas tentang isu-isu pemerintahan dan pada awalnya tidak boleh diperbincangkan saat zaman Orde Baru, kini dengan bebasnya dilakukan di mana pun. Obrolan di warung kopi mungkin lebih menarik daripada talk show di televisi.

Tumbangnya Orde Baru tidak lantas membuat negeri menjadi damai. Kerusuhan antar ras dan golongan, aparat, maupun mahasiswa masih terjadi. Sementara rakyat semakin bingung karena banyaknya partai yang didirikan. Kaus-kaus Golkar dengan simbol dua jari masih banyak dikenakan orang.

Anak-anak sekolah tidak luput dari efek krisis moneter.

Banyak di antara mereka tidak diperkenankan mengikuti ujian karena belum membayar biayanya. Sementara untuk makan saja susah, membayar biaya ujian menjadi prioritas nomor sekian bagi keluarga dengan ekonomi terbatas.

Iklan "Ayo Sekolah!" oleh Rano Karno dan Mandra pun muncul, dan menjadi sangat digemari.

Sementara narkotika dan isu AIDS sengaja diciptakan untuk mengalihkan perhatian rakyat.

Setelah desakan dari banyak pihak, sidang Istimewa MPR akhirnya digelar. Suasana mencekam akibat isu "ninja" yang melakukan pembantaian terhadap sejumlah tokoh masyarakat membuat masyarakat melakukan siskamling (sistem keamanan lingkungan).

Pemerintah juga membentuk RATIH (Rakyat Terlatih) untuk mengamankan Sidang Istimewa ini.

Kerusuhan dan demonstrasi masih merebak. Ini menjadi ladang rezeki bagi pengemudi ojek yang mendapat banyak penumpang akibat takutnya paa pengendara mobil bahwa kendaraan mereka akan dirusak massa.

Masyarakat semakin mudah terpancing oleh isu-isu yang beredar sehingga sering terjadi konflik.

Di kehidupanku sekarang, aku tidak mengalami semua itu. Semua pengalaman tersebut terjadi setelah kami pindah ke Amerika. Semua itu kusaksikan dari tabung televisi, di griya tawang kami di Seattle.

Pagi ini aku meraih lampu di sebelah tempat tidurku. Kunyalakan dan kupastikan bahwa aku sedang berada di kamarku sendiri. Terkadang aku masih mengalami disorientasi, apakah aku sedang berada di kamarku sendiri atau kamar orang lain, atau bahkan di tempat yang sama sekali tidak kukenal.

Kupandangi sekeliling, dan kudapati memang ini adalah kamarku. Sebuah kamar yang tidak terlalu besar, agak berantakan, dan beberapa pakaian masih tergantung di pintu, belum sempat kucuci.

Buku-buku terserak di lantai, sebagian ada di meja belajarku. Sebuah poster Michael Jordan menghiasi tembok kamarku. Jordan yang sedang menggiring bola basket dengan tangannya dan mengenakan kostum Chicago Bulls.

Poster itu bukan milikku, pasti penghuni griya tawang kami sebelumnya yang memasangnya. Sebelum kami membeli tempat ini. Di tembok lainnya terpampang poster Ferrari merah. Ciri khas remaja pada zaman ini adalah memasang poster mobil-mobil mewah. Sudah lumrah jika di kamar-kamar anak remaja terpampang poster Ferrari, Porsche, atau Lamborghini.

Aku duduk, dan melihat pukul berapa ini tepatnya. Yang pasti belum memasuki waktu subuh. Kuraih barang-barang yang terserak di lantai dan kukembalikan ke tempatnya.

Ada buku "Sejarah Seni" yang merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah baru. Aku sendiri belum bisa mengingat tepatnya nama guru yang mengajar mata pelajaran ini. Mr...sesuatu, bernama Mexican. Aku harus mulai menghapal nama-nama guruku.

"Everytime I wake up, I hope I'm dreamin'..."

Kumatikan radio yang sepertinya sejak semalam menyala. Kubuka gorden kamar, menemui sinar matahari yang menusuk mataku.

Baiklah, ini saatnya merapikan kamar. Entah apa yang kulakukan tadi malam sehingga kamarku terbengkalai. Buku-buku penuh catatan dan coretan pribadiku tidak boleh hilang. Sejumlah pemikiran telah kutuangkan di sana.

Surat kabar Newsweek tergeletak di lantai, dengan salah satu tajuk utamanya adalah tentang Presiden Soeharto yang mengundurkan diri. Cukup lama kubaca surat kabar tersebut. Kuingat tadi malam kusaksikan berita di CNN tentang perubahan rezim di Indonesia. Semua benar-benar kembali terjadi. Kurenungi apakah mungkin ada yang akan berbeda?

Kemudian seseorang mengetuk pintuku dan membukanya.

Mama.

"Sayang, sudah hampir jam delapan,"

"Ya, Ma. Saya baru mau mandi,"

"Sarapanmu sudah siap," lanjutnya.

"Terima kasih, Ma,"

Mama pergi meninggalkanku. Aku lalu mulai sarapan, dan mandi. Setelahnya aku memakai kaus dan celana jeans, turun dari apartemen, dan berjalan ke halte bus terdekat.

Menuju sekolahku.

Sudah hampir tiga bulan sejak kami sekeluarga meninggalkan Indonesia dan memulai kehidupan baru di Seattle, Amerika Serikat. Papa juga telah mendapatkan pekerjaan baru sebagai konsultan independen untuk Boeing. Aku memilih sekolah menengah yang dekat dengan apartemenku.

Royalti dari penjualan B-250 mengalir tanpa henti ke dalam rekening kami. Sebagiannya adalah jatahku. Di sini, anak seumurku pun sudah bisa memiliki rekening bank sendiri.

Amerika adalah negeri penuh kebebasan, di sini orang bebas berbicara apa pun. Bagiku yang telah mengalami zaman reformasi, tentu tidak aneh. Tapi bagi Mama dan Papa yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di masa pemerintahan yang tidak memperbolehkan warganya bebas berbicara, ini tentu suatu hal yang baru.

Seseorang menepuk pundakku saat aku baru saja memasuki gerbang sekolah usai berjalan dari halte bus terdekat. Mark, teman sekelasku yang baru. Ia seorang anak Afrika-Amerika yang cukup supel.

"Hai!" katanya.

"Oh, hai,"

"Siap untuk tes?"

"Ada tes hari ini?"

"Sejarah Seni, kawan! Ayolah, kau lupa?"

Ah ya, itu sebabnya buku sejarah seni ada di lantaiku. Pikiranku bercabang akhir-akhir ini. Antara lain karena aku sedang memikirkan desain pesawat baru.

"Uhm, ya, semestinya tidak,"

"Kau tidak berencana dapat F kan?" Mark tertawa.

"Kupikir, itu tidak akan terjadi," kataku

Kenapa tidak? Ya karena mata pelajaran anak sekolah menengah pasti bukan apa-apa bagiku. Walaupun ini Amerika.

"Kau baik-baik saja?"

"Ah ya, kurasa begitu,"

"Sudah kukatakan, kau terlalu rajin membaca. Akhirnya kau malah tidak tahu apa yang sudah kau baca," Mark kembali tertawa.

"Kurasa memang begitu,"

"Ayolah, jangan terlalu memaksakan diri. Bagaimana kalau nanti siang kita ke kantin? Kita cari gadis yang kemarin itu, siapa namanya? Alexa?"

"Sepertinya terdengar menarik,"

"Tentu saja, ayo kita mainkan,"

"Baiklah, tapi sekarang aku sepertinya perlu sedikit tenang,"

"Bisa kulihat itu,"

Mark menghampiri vending machine di pinggir jalan dan membeli Coca-cola.

"Ini," disorongkannya Coca-cola itu padaku.

"Apa-apaan?"

"Di cuaca panas begini, minum Coke bisa membuatmu agak batuk. Sepertinya kau bisa izin untuk tes hari ini,"

"Ah, Mark. Terima kasih, tapi tidak,"

"Oke, terserah kau saja," Mark mengangkat bahunya.

Tanpa terasa, kami sudah mencapai sekolah.

"Oke, sampai jumpa, jangan lupa nanti siang," kata Mark saat kami mencapai kelas.

"Oke, sampai jumpa," balasku.

Sejarah Seni cukup mudah. Tidak banyak hambatan bagiku untuk mengerjakan tesnya. Biarpun ini hal yang baru, tapi aku sedikit-banyak telah membacanya. Aku tidak terlalu peduli akan hasil akhirnya.

Saat ini fokusku adalah mendesain pesawat terbang berkapasitas sembilan belas penumpang. Salah satu proyek lain yang pernah kutangani di kehidupan pertamaku. Harus sesegera mungkin kubuat, mumpung aku masih bisa mengingatnya, karena pesawat ini juga aku yang merancangnya.

Aku adalah bagian dari tim perancang dan pengembang pesawat yang akan terbang perdana pada pertengahan 2017. Pesawat ini akan menjadi pesawat perintis yang menjangkau pedalaman Indonesia, Afrika, dan daerah-daerah lain.

Kali ini akan kugunakan namaku sendiri. Papa pun mendukungku, setidaknya aku sudah cukup umur untuk dikenal sebagai anak jenius.

Selain itu, apa yang hendak kulakukan di Amerika ini?

Pelajaran sekolah tentu masih sangat mudah. Selain mendesain pesawat, kegiatan lain sedikit membosankan. Euforia tinggal di negara maju telah berlalu setelah sekian bulan aku menempati Seattle.

Tidak banyak pilihan yang dapat dilakukan. Dengan pindah ke Amerika ini, maka semua kejadian yang ada sudah sangat berbeda dibandingkan kehidupan pertamaku.

Sekarang apa?

Beberapa kali kencan dengan Alexa tidak membawa kebahagiaan bagiku. Ia masih anak-anak. Memang perawakan remaja perempuan Amerika lebih mirip perempuan dewasa Indonesia, tapi ia tidak bisa mengimbangi kedewasaanku. Saat Alexa menyandarkan tubuhnya ke bahuku, ia memutar lagu Celine Dion. Lagu yang sudah lama kulupakan.

Pembicaraan kami tidak jauh dari seputar musik rock. Pesta, sekolah, dan rencana perkemahan musim panas. Ia menyebutkan beberapa rencana lain, di samping cita-citanya untuk masuk Ivy League. Kuakui rencana masa depannya sangat baik. Ia bahkan sudah berpikir tentang rumah seperti apa yang diinginkannya di masa depan.

Ketika matahari terbenam, aku lebih suka rileks dan mengistirahatkan diriku. Alexa masih bercerita tentang masa depannya. Sementara bagiku, semua itu tidak ada gunanya. Aku tahu apa yang akan kulakukan di masa depan.

Aku pun mengantarnya pulang.

Kunyalakan televisi setiba di griya tawang kami, dan nampaklah ESPN. Tidak ada yang aneh, saluran ini juga sudah dapat kunikmati di Indonesia.

"Ronaldo mencoba melakukan tembakan, tapi ternyata masih dapat dihadang oleh Costacurta. Sementara siulan-siulan semakin keras mengeluarkan ejekan kepada Gianluca Pagliuca,"

Derby Milan? Cukup menarik. Sebentar lagi Ronaldo akan mencetak gol dari titik penalti, bukan? Lalu pertandingan ini akan berakhir dengan kedudukan sama kuat, 2-2. Semuanya aku sudah tahu.

Hei, aku sudah tahu semua, kan? Hampir semua pertandingan Serie A dan liga Eropa lain aku mengetahui hasilnya. Dengan demikian, aku juga mempunyai aset yang sangat berharga: pengetahuan.

"Umpan dari Bierhoff...dan Weah baru saja mencetak gol!!!"

Aku bisa menghasilkan uang yang jauh lebih besar lagi, batinku.

Lalu, siapa yang menjuarai liga musim ini? Ah ya... Milan. Tanpa siapa pun pernah menduga.

Aku pun turun, meminjam koran Papa.

"Di koran ini ada jadwal pertandingan sepakbola kan, Pa?"

"Ada, tapi kurang lengkap,"

Ah!

Aku perlu jadwal seluruh pertandingan Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, dan juga Liga Champions.

Esoknya aku pergi ke toko buku.

Kucari panduan lengkap musim pertandingan sepakbola.

Nihil.

Amerika Serikat bukan negeri penggemar sepakbola. Cukup sulit menemukan hal yang berkaitan dengan sepakbola di sini. Tapi harus kutemukan, karena aku bisa menghasilkan banyak uang dari sini.

Beberapa toko buku harus kukunjungi sampai aku memperoleh apa yang kuinginkan. Buku-buku panduan lengkap tentang pertandingan-pertandingan liga Eropa. Semuanya kubeli.

Sekarang tinggal memberitahu Papa tentang rencanaku. Bagaimanapun aku belum terlihat cukup tua untuk bertaruh besar. Dan dalam rencanaku ini, aku akan bertaru dengan nilai yang besar, sangat besar.

"Taruhan? Untuk apa?" tanya Papa

"Ya untuk menghasilkan uang yang besar, Pa,"

"Tapi itu nggak diperbolehkan di agama kita, Ferre," jawab Papa.

"Tidak diperbolehkan kalau itu sifatnya judi, Pa,"

"Lalu ini? Taruhan kan judi. Kamu ini bagaimana?" timpal Mama.

"Judi itu jika kita nggak tahu apa yang akan terjadi, atau dengan kata lain untung-untungan,"

"Lalu?" Papa yang menjawab.

"Saya sudah bisa mengetahui semuanya, dengan pasti dan tanpa cela,"

"Kamu jangan main-main, Ferre," Papa semakin heran.

"Saya nggak main-main, Pa. Semua data pemain dan ilmu peluang sudah saya kuasai. Pertandingan-pertandingan yang ada hasilnya sudah saya prediksi,"

Mama dan Papa berpandangan.

"Percayalah Pa, Ma. Sekarang untuk permulaan pakai saja uang saya dulu, semuanya. Saya jamin, nggak ada yang akan hilang."