webnovel

IX. Kisah Alisa

"Aku dilahirkan di Piroiki. Keluargaku sebetulnya orang biasa-biasa saja" ujar Alisa.

Kami berbincang-bincang, sambil berjalan pelan menuju rumah Bu Darti. Nampaknya, ia tahu bahwa aku memiliki sebuah misi khusus. Sebuah misi yang sangat besar dan sangat berbahaya. Dan ia pun tahu, aku harus pergi meningggalkan kota ini.

"Ayahku, seorang kepala ekspedisi pengiriman barang" ia melanjutkan cerita hidupnya.

"Sedangkan ibu, beliau hanya seorang ibu rumah tangga biasa."

"Saat ayah bertugas mengantarkan barang-barang, aku hanya tinggal berdua dengan ibu di rumah"

"Jika ayah tidak sedang bertugas, beliau sering berlatih ilmu beladirinya di halaman depan rumah kami. Dan aku sangat suka menyaksikannya"

"Dan pada suatu hari, aku memutuskan untuk mempelajari ilmu bela diri juga"

"Awalnya sih, kedua orang tuaku menentangnya. Terutama ibu. Namun pada akhirnya beliau pun mengijinkannya"

"Dua minggu yang lalu, Raja Red XIII, mengadakan sayembara untuk mencari siapa yang berhak untuk mewarisi Rencong Naga Api. Dan aku menang. Itulah asal mula aku menjadi pewaris Rencong Naga Api" tuturnya mengakhiri sekelumit kisah hidupnya.

"Aku sendiri, sebetulnya masih tidak percaya jika aku menjadi pewaris Keris Naga Langit ini" kali ini aku yang bersuara.

"Sebetulnya, lebih karena faktor ketidak sengajaan, sehingga aku berjumpa dengannya"

"Oya, kok bisa" kata Alisa keheranan.

"Aku kecelakaan, dan jatuh ke jurang. Di sanalah aku bertemu dengan Keris Naga Langit dan Kakek Michaelangelo" sahutku.

"Wah, namanya lucu ya?" Alisa tersenyum.

Duuuh, senyumnya manis, pake banget deh. Dan, tubuhku kok berasa agak gemetaran ya.....

"Kakek Michaelangelo lah yang menceritakan padaku, siapa dalang di balik munculnya kabut hijau ini" kataku melanjutkan ceritaku.

"Dia bernama..... CrossDeath"

"CrossDeath? Nama yang mengerikan....." bisik Alisa.

"Tentunya misimu adalah untuk menemukan CrossDeath, bukan?" Alisa bertanya padaku.

"Kau benar. Namun sebelum itu, aku harus menemukan Kristal" sahutku.

"Emmmm... Dan kau tahu kemana harus mencarinya?" Tanyanya lagi.

"Nggak....." sahutku.

Bener juga. Aku tidak tahu kemana harus pergi. Kakek Michaelangelo hanya memintaku untuk menemukan kristal-kristal itu. Bukan arahnya...

Duuuh.... Kok baru nyadar ya.... Coba, kalo di Xyor ini ada Google Map, kan hidupku tidak akan sebingung ini....

"Hahahahaha.... Kamu lucu lho...."

Eeeeh, kok jadi lucu ya? Aku menatap mata indahnya sambil keheranan. Sepertinya, muncul deh tampang bloon-ku. Dan, ini semakin membuatnya tertawa terpingkal-pingkal.

"Kamu tau, apa elemenku?" Alisa bertanya setelah tawanya berhenti.

"Api, kan?" tanyaku. Bingung.

"Dan kau tahukah, apa elemen negeri Toatoa ini?" lanjutnya bertanya.

"Api juga, kan?" sahutku. Masih dengan tampang bloon-ku.

TING....!!!!

Seolah, ada bunyi lonceng berbunyi di telingaku.

"Bentar, bentar... Jangan bilang... Kalo kamu tahu tempat dari Kristal Api?" tanyaku.

Alisa tersenyum manis.

"Emang, tau..." jawabnya.

"Haaaahhhh.....???" Aku melongo. Dan....

"HOREE... HOREE... Terima kasih, Alisa!!!!" spontan kupeluk tubuh langsingnya.

"Hei... Hei.... Lepasin....!!! Lepasin.....!!!" Alisa tak ayal berontak.

Kemudian....

"TARIAN API....."

DESSSS..... DESSSS..... BUGGG.....

Dua pukulan mendarat di bahu dan perutku. Dan, tak ayal lagi. Aku tersungkur.

"Aduuhhhh..... Ampun, Alisa..... Ampun....!!!!" erangku kesakitan.

"Makanya... Seneng sih, seneng... Tapi, jangan asal peluk juga dong" sahutnya, sewot.

"Maaf... Maaf.... Aku gak sengaja... Beneran deh. Aduuuhhh.... Sakit." sahutku.

Widiiiihhh.... Galak amat ternyata cewek ini. Dan, gak tanggung-tanggung sampai ngeluarin jurus segala. Untung bagiku, tenaga yang digunakannya bukan tenaga yang dimaksudkan untuk mencelakai.

"Ayo, cepat bangun. Bukannya kita mau pamitan sama ibumu?" sahutnya, dengan wajah yang masih berlipat-lipat, seperti origami di level legendary.

Oh iya... Bener juga. Maka, sambil menahan sakit, aku mencoba untuk berdiri.

"Maaf ya...." ujarku, menyesal.

"Hmmmm..." dia menyahut hanya dengan gumaman. Masih cemberut.

Kami kembali berjalan beriringan. Namun, kali ini dengan suasana yang lebih banyak diisi dengan kesunyian. Aku betul-betul merasa bersalah. Dan untuk membayar rasa bersalahku, kucoba untuk mengurangi kesunyian ini dengan mencoba membuka suara.

"Tadi kamu bilang, kalo kamu tahu dimana Kristal Api berada?" ujarku.

"Ya. Benar." sahutnya.

"Dimana?" kembali kucoba mengejar jawabannya.

"Di arah Barat. Jika menempuh perjalanan dengan kuda, akan memakan waktu sekitar dua hari perjalanan"

"Kristal Api, berada di Kuil Phazminna" lanjutnya.

"Kuil Phazminna???"

"Ya...." pendek saja ia menyahut pertanyaanku.

Hmmmmm....

Dulu, Pak Yanto pernah bercerita padaku tentang Kuil Phazminna ini. Sebuah kuil yang berada jauh di sebelah Barat dari Regendi Town. Letaknya di kaki sebuah gunung berapi. Gunung ini bernama Jinobor.

Kata "Jinobor" sendiri nampaknya terinspirasi dari kata "Jin Obor". Sosok yang menjadi legenda di sekitar gunung itu. Makhluk misterius yang berbentuk seperti kobaran api. Tidak hanya sosok Jin Obor yang masih menjadi misteri, banyak makhluk misterius yang hidup dan mungkin tinggal di hutan-hutan di sepanjang kaki gunung Jinobor. Ular api, kalajengking api, semut api, dan elang api, adalah binatang-binatang yang umum ditemui di hutan-hutan itu. Sedangkan, sang penguasa rimba belantaranya yaitu Harimau Api, sangat jarang terlihat.

Menurut legenda, Harimau Api ini adalah hewan yang betul-betul tangguh dan sangat kuat. Menurut cerita, hanya Beruang Hijau yang hidup di negara Piliipu saja yang sanggup melawannya. Itu pun tidak ada yang mengetahuinya, siapakah yang menjadi pemenangnya.

Dinamakan Harimau Api, bukanlah karena tubuhnya mengeluarkan api. Tapi, disebabkan belang-belangnya yang bukan lagi berwarna orange, melainkan merah menyala. Hingga saat terlihat dari jarak jauh, seolah-olah menjadi lidah-lidah api yang sedang menari-nari dengan indahnya.

Dan jangan lah pula, kawan, bingung saat mendengar kata "api" ini. Bukan berarti mereka dapat mengeluarkan api, macam naga. Bukan.

Bagi penduduk di Toatoa, kata api ini lebih mengarah pada begitu berbahayanya binatang-binatang yang mendiami hutan-hutan di sepanjang kaki Gunung Jinobor ini.

Dan, biasanya memiliki racun yang sangat jahat. Sangat mematikan.

"Naik kuda ya?" ujarku, setelah beberapa saat terdiam.

"Iya lah...." sahutnya.

Duuuhhh, mami... Masih sewot aja ini cewek. Mood-nya mudah banget berubah. Dari senang ke marah, cukup dengan sekali salah ngomong aja... Hadeeeh...

Nasrib.... Nasrib... Eh, salah...

Nasiiib.... Nasiiib....

"Gak... Bukan gitu maksudku" tukasku.

"Aku kan gak punya kuda. Dan seumur-umur, gak pernah juga naik."

"Apalagi, harus mengendarainya... Duuuh, gimana ya?" lanjutku, resah.

"Apa? Jadi, sampai setua ini, kamu gak pernah naik kuda?" tanyanya dengan mimik muka yang, gimana ya.... Nyebelin, tapi kok berasa ada manis-manisnya gitu.

"Iya" jawabku, pendek saja.

"Hahahahaha....."

Eh, buset.... Ini neng geulis, kok malah ketawa ya? Padahal, tadi lagi marah, pake banget malah.

Dan otomatis saja, aku menatapnya bengong. Tak mengerti.

"Kamu ternyata lucu juga ya...." lanjutnya, disela-sela tawanya.

"Kalo masalah kuda, nanti akan aku carikan. Para prajurit Toatoa sudah diperintahkan oleh Raja Red XIII buat membantuku jika ada masalah"

"Dan, masalah naik kuda...." lanjutnya, masih dengan raut muka yang rada nyebelin tadi. Nyebelin, tapi manis banget, euy.....

"Kamu cukup meniru, apa yang kukerjakan nanti. Jangan takut. Akan kuberi beberapa trik agar dapat mengendarainya dengan lebih nyaman" katanya.

Beberapa saat kemudian... Kami pun tiba di depan rumah Bu Darti.

Beliau segera menghambur ke arahku.

"Kamu gak apa-apa, nak? Ibu khawatir sekali" ucapnya lirih sambil memelukku.

"Joko gak apa-apa, Bu. Beneran deh. Nih, lihat..." kataku, sambil memamer-mamerkan tangan dan kakiku. Menunjukkan pada beliau bahwa aku dalam kondisi yang baik-baik saja. Tidak ada luka sedikit pun.

"Eeeh, ada temannya, ya? Kamu siapa, cah ayu?" kata Bu Darti lembut, saat menyadari kehadiran seorang cewek cantik di dekatku.

"Saya, Alisa, bu." sahut Alisa, memperkenalkan diri sambil mencium tangan Bu Darti.

"Aduh.... Ayu tenan, kamu nduk..." kata Bu darti, dan tak ayal membuat pipi Alisa berubah warna menjadi kemerah-merahan.

"Ibu, bisa aja...." sahutnya, sambil tersenyum manis ke arah Bu Darti.

Bu Darti tersenyum, dan terus menatap Alisa.

"Halo, Bu.... Halo... Ibu masih punya anak lho... Satu. Dan, dia ada di depanmu, lho" ujarku.

"Oh iya ya.... Ibu jadi lupa" Bu Darti tersenyum ke arahku, menanggapi protes kecilku.

"Gitu aja, ngambek....." lanjutnya, sambil membelai lembut pipiku.

Di sudut lain, Alisa nampak tertawa kecil memperhatikan tingkah polah kami berdua. Dan, kemudian pamit untuk meninggalkan kami berdua.

Secara garis besar, kuceritakan pengalamanku beberapa hari ini pada Bu Darti. Wajah beliau beberapa kali berubah-ubah suasananya. Sedih, takut, bangga. Bercampur aduk menjadi satu. Puncaknya adalah saat kuutarakan misi yang kuemban.

Beliau pun terdiam. Keheningan melingkupi kami berdua.

Kemudian....

"Joko, anakku. Kamu memang bukanlah anak yang dilahirkan dari rahim ibu"

"Tapi, bagi ibu, kamu adalah anak kandung ibu. Tak peduli, apapun perkataan orang-orang di luar sana" ujar beliau.

"Karena, dari tangan ibu lah, kamu makan. Dari keringat ibu lah, kamu berjalan"

"Dari air mata ibu lah, kamu tersenyum. Dan, dari marah ibu lah, kamu terlelap"

"Itu lah sebabnya, sungguh berat bagi ibu, untuk melepaskanmu" lanjut beliau.

"Ya, Bu... Joko mengerti" sahutku, pelan.

"Meskipun demikian. Ibu mengerti dengan beratnya tanggung jawab yang kamu pikul"

"Pergilah, Nak. Do'a ibu akan selalu menemani setiap langkahmu" kata beliau.

Air mata mengalir di pipiku. Kupeluk beliau, erat.

Sungguh. Tak ingin rasanya kutinggalkan beliau.

Saat ini. Beliau seorang diri. Menjalani hari demi hari.

Sedangkan aku... Aku sendiri pun tak tahu, kapankah misi ini akan selesai. Dan, apakah misi ini akan selesai? Aku tak tahu jawabannya.

Yang kutahu hanyalah, aku harus berjuang sekuat tenaga, hingga titik darah penghabisan.

Dan.... Dengan do'a beliaulah, aku yakin untuk mampu menjalaninya.

--- end of Bab IX ---