"Daddy mencarimu saat sarapan."
Alexander meletakkan kembali parfum milik Austin di atas meja. "Bagaimana responnya? Daddy tidak mengirim satu pesan pun padaku."
"Tentu diam seperti biasa. Mengirim pesan? Harapanmu terlalu tinggi. Satu-satunya orang yang terus mendapat pesan dari Daddy ketika tidak di rumah adalah Mommy."
Tawa rendah Alexander mengudara. Nicholla benar, akan terlihat lucu jika Alexander mendapat pesan hanya karena tidak pulang dalam satu malam. Lagi pun Terry bukan tipe yang suka mengirim pesan. Menelepon adalah jalan terbaik.
"Aku akan pulang setelah ini. Sedang ingin sesuatu?"
"Memangnya kau akan mampir ke mana?"
"Ke mana saja."
"Alex," desis Nicholla. "Begini, beri tahu saja jika kau sudah sampai di tempat tujuanmu. Nanti aku akan memutuskan sedang ingin sesuatu atau tidak."
Sambungannya dimatikan.
Sebelum meninggalkan apartemen, Alexander menyempatkan diri untuk kembali menengok Allard dan Austin. Allard masih tertidur pulas, sementara Austin bersandar pada kepala ranjang sambil memainkan ponsel.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Jauh lebih baik," jawab Austin. "Sudah akan pulang?"
"Mm-hm. Aku sudah membuatkan sarapan untuk kalian. Hangatkan kembali jika dirasa terlalu dingin. Satu lagi." Alexander menunjuk pada pakaian yang dikenakan. "Ini milikku dan sekarang aku mengambilnya kembali."
Austin membuang napas. "Akan lebih baik jika kau bawa pergi bersama semua pakaianmu," decaknya sedikit kesal karena tidak sedikit pakaian Alexander yang mengambil tempat di lemarinya. "Tunggu, apa semalam kita tidur bertiga? Aku benar-benar tidak ingat apa yang terjadi."
"Ya. Itu karena kamar yang lain dikunci. Biar kukatakan apa yang terjadi semalam. Kau menyetir dalam keadaan mabuk, berhenti di pinggir jalan, muntah, dan menyusahkanku. Sadarlah Austin, kau tidak kuat minum. Jadi jangan berlebihan."
"Aku kalah dalam permainan, Alex. Janji ini yang terakhir. Tidak akan terulang lagi."
"Semoga saja. Katakan pada Allard jika aku pulang."
Alexander meninggalkan apartemen dalam keadaan perut lapar. Ini sudah terlalu lewat dari jam sarapan namun belum ada makanan yang masuk ke perutnya. Alexander bisa saja memakan sarapan yang ia buatkan untuk Allard dan Austin. Akan tetapi ia sedang tidak bernafsu untuk makan sesuatu dengan rasa cenderung asin dan gurih. Alexander butuh hal manis untuk menggugah selera makannya.
Alexander tahu tempat ini namun belum pernah datang sebelumnya. Sesuai namanya, kafe ini mengartikan musim semi. Dari itu Alexander beranggapan jika di dalam pasti menjual sesuatu yang manis.
Bangunannya kuno, memiliki dua lantai dengan fasilitas balkon indah yang menarik perhatian. Di luar juga disediakan beberapa pasang meja dan kursi bagi mereka yang lebih suka di tempat terbuka, sementara balkon dalam keadaan penuh. Ruangannya didominasi dengan warna cokelat cerah yang menenangkan, jauh dari kata suram. Sang pemilik benar-benar paham cara memperindah ruangan.
"Aku ingin sesuatu yang manis, apa pun. Berikan yang terbaik dari yang ada. Untuk minumnya, yang dingin saja. Porsi untuk satu orang."
"Totalnya dela—"
Belum sempat petugas kasir menyelesaikan kalimatnya, Alexander langsung mengeluarkan uang pecahan sepuluh euro. "Ambil saja kembaliannya."
"Terima kasih. Harap menunggu sebentar."
Kurang dari lima menit sudah tersaji tiga jenis makanan yang berbeda, serta satu gelas minuman dingin yang sepertinya berbahan dasar cokelat dan susu. Jika dikira-kira harganya sekitar dua euro untuk setiap hal yang tersaji. Bagi Alexander ini cukup murah, tidak sebanding dengan fasilitas, pelayanan, dan suasana yang didapatkan. Mungkin pemiliknya memang tidak ingin mengambil untung besar.
Dua dari tiga makanan yang ada sudah habis tak bersisa. Alexander merasakan perutnya mulai penuh dan tidak sanggup untuk diisi lagi. Ini mungkin efek dari susu yang membantunya lebih cepat kenyang. Jika dalam lima belas menit masih tetap seperti ini, Alexander akan membungkus makanan terakhirnya lalu ia berikan pada Nicholla.
"Per favore ripeta."
"Un momento per favore."
"Divieto d'ingresso."
Alis Alexander terangkat ketika mendengar perempuan yang duduk di meja belakangnya, mengucapkan beberapa kalimat dasar dalam bahasa italia. Jujur saja Alexander merasa sedikit terusik. Bukan karena suaranya, melainkan pelafalannya yang kurang tepat.
"Hei. Maaf mengganggu." Alexander menepuk pundak perempuan itu. Ia bicara dalam bahasa inggris. "Apa kau bisa bicara dengan bahasa inggris?"
"Oh. Ya, aku bisa. Perlu bantuan?"
Alexander menggeleng. "Kurasa kau yang perlu bantuan. Tunggu sebentar." Mata Alexander memandang gadis ini dari atas hingga bawah. Ia perlu memastikan bahwa ingatannya tidak salah. "Kau gadis semalam yang bersama temanku. Austin. Dia yang sedang mabuk."
Satu detik. Dua detik. Masih sunyi sebelum akhirnya dia memekik pelan.
"Aku ingat. Maaf semalam aku lari begitu saja."
"Beruntung sekali kita bertemu. Terima kasih karena sudah menjaga temanku." Alexander tersenyum dalam hati. Ia merasa lega karena gadis yang dilihatnya semalam benar-benar berwujud manusia. Sekarang Alexander tahu alasan gadis ini lari meninggalkannya.
"Duduklah. Ada perlu apa menyapaku?"
"Dengar, bukannya bermaksud tidak sopan atau menggurui. Aku sempat mendengarmu belajar kalimat-kalimat dasar dalam bahasa italia. Tidak salah, hanya pengucapannya kurang tepat."
"Benarkah? Terima kasih sudah mengingatkannya. Selama ini aku hanya belajar dari internet."
Mata Alexander mengarah pada buku catatan serta MacBook yang memang digunakan untuk belajar. Gadis ini tampaknya sedang serius. Jika tidak mana mungkin sampai niat begini. "Dari mana kau berasal? Sedang apa di sini?" tanya Alexander.
"Amerika. Aku datang ke Italia untuk melanjutkan kuliah."
"Jurusan apa yang kau ambil? Biasanya pendatang dari luar akan belajar bahasa dalam beberapa bulan sebelum memulai perkuliahan."
"Sastra Inggris," jawab gadis ini penuh percaya diri. "Terdengar aneh memang. Aku mengambil Sastra Inggris di negara yang bahasa utamanya bukan bahasa inggris. Jika diceritakan bagaimana bisa seperti ini maka akan panjang. Kau sendiri, juga kuliah di sini? Lalu dari Amerika bagian mana kau berasal?"
Sungguh, saat ini Alexander sedang tertawa di dalam hati. Lucu sekali saat orang asing mengira jika dirinya datang dari Amerika. Alexander bahkan tidak pernah menetap lebih dari dua bulan di sana.
"Apa yang membuatmu berpikir jika aku datang dari Amerika? Aksen?"
Gadis itu mengangguk.
"Semalam aku bicara dengan bahasa italia. Hari ini aku bahkan langsung sadar jika pelafalannya salah. Come ti chiami?"
"Namaku Hailexa," jawabnya dengan nada mulai kesal. "Dari caramu berbicara, rasanya tidak mungkin jika datang dari Inggris."
Alexander berdeham guna memperjelas suaranya. "Are you sure about this? Try harder," ujarnya dengan aksen british.
Hailexa menganga, membuat Alexander harus menahan tawa. Tak cukup dengan aksen british, kini Alexander sengaja mengedipkan satu matanya. "Jadi menurutmu, aku ini berasal dari belahan bumi bagian mana?" tanya Alexander diakhiri dengan seringai jail.
"Sudahlah, aku tidak peduli dengan itu. Kita baru saja bertemu dan kau sudah menyusahkanku," keluhnya. "Apa kau sedang bekerja atau kuliah saat ini?"
"Tidak keduanya. Aku lulus beberapa waktu lalu dan sedang ingin istirahat sebentar."
"Bagaimana jika aku menawarkan sebuah pekerjaan ringan untukmu? Cukup mengajariku bahasa italia. Kau hanya perlu datang di hari-hari tertentu saja. Kita bisa diskusikan soal bayarannya."
"Tutor ya?" Alexander berpikir sejenak. Tawaran Hailexa terdengar menarik. Akan tetapi jika Alexander setuju, maka rencananya untuk pergi ke luar Italia harus batal. "Sebenarnya aku cukup berpengalaman dalam hal ini. Dulu Austin dan satu temanku lainnya juga sepertimu. Sekarang mereka bicara dengan lancar. Tapi, kenapa kau tidak mencari tutor resmi yang lebih berpengalaman dariku? Kurasa ada banyak."
"Aku sudah mencobanya, namun sulit sekali untuk mengatur jadwal. Aku bisa belajar dengan cepat. Kumohon," pinta Hailexa dengan suara lembut dan ekspresinya yang memelas. Alexander saja berubah iba dibuatnya. "Jika memang ingin dibayar dengan harga tinggi melebihi tutor lain, maka aku bersedia."
"Baiklah."
Kedua telapak tangan Hailexa bertepuk girang. Gadis itu langsung menutup buku catatan serta MacBooknya, mengakhiri sesi belajar.
"Hailexa Rose Spencer," ucap Alexander setelah membaca deretan nama pada sampul buku catatan. "Nama yang bagus. Bagaimana orang-orang memanggilmu? Haile atau Hailexa?"
"Yang mana saja. Itu bukan hal yang perlu diatur." Hailexa memberikan ponsel pada Alexander, memintanya menuliskan nomor telepon. "Oh ya, kau belum beri tahu siapa namamu. Aku tidak bisa menyimpan nomor tanpa nama 'kan?"
"Alexander. Jika ada nama yang sama maka tambahkan Maverick"
"Aku tidak pernah punya teman dengan nama Alexander. Jadi Alexander Maverick, bagaimana orang-orang memanggilmu?"
"Yang mana saja. Itu bukan hal yang perlu diatur." Alexander menjawab dengan menirukan perkataan Hailexa. "Alexander atau Alex. Keduanya sama saja. Hailexa, kau sudah makan atau belum? Aku memesan makanan terlalu banyak. Ingin membantuku untuk menghabiskannya?"
Hailexa menarik kursinya agar semakin maju. Dia bertopang dagu, memandang Alexander dengan ekspresinya yang aneh. "Alex, dengar ya. Aku sudah makan. Kebetulan juga aku bekerja di sini. Bukannya tidak suka, aku mulai bosan dengan makanan kafe."
"Kau serius? Jangan menipuku, Hailexa."
"Katakan, bagaimana caranya agar membuatmu percaya?"
"Berikan aku makanan terbaik yang bisa dibawa pulang," tantang Alexander dibarengi dengan seringai sinis di bibirnya. "Apa pun. Aku percaya dengan pilihanmu."
"Aku akan kembali dalam sepuluh menit."
Mata Alexander tiada henti memandangi Hailexa sejak dia berdiri dari kursi, sampai masuk melalui pintu dapur. Dari penggalan cerita yang Alexander dengar, ia menilai jika Hailexa adalah gadis dengan semangat yang tinggi. Jiwanya berapi-api dan penuh ambisi. Kemarin malam Alexander menyebutnya gadis aneh. Ya, dia masih tetap aneh karena ada banyak hal yang membuat Alexander terus bertanya-tanya. Namun dibandingkan aneh, Alexander sebenarnya lebih suka mendeskripsikan Hailexa dengan kata menggemaskan.
***