webnovel

Aku Takut Mengacaukan Pekerjaan Kalian

Ada bulir keringat yang membasahi pelipis Hailexa. Kedua bola matanya terus bergerak, seperti hendak mencari jalan untuk kabur. Gadis itu menelan ludah, kala sebuah tepukan mengenai pundaknya.

"Gugup, eh?" goda Bedric yang sedang berkacak pinggang.

Hailexa menipiskan bibir. "Aku takut mengacaukan pekerjaan kalian," ungkapnya.

Di hadapan Hailexa saat ini berdiri sebuah bangunan berlantai enam. Dinding bagian depannya dicat berwarna jingga, dengan beberapa sisi yang mulai mengelupas. Bangunan ini seperti apartemen namun dalam versi sangat sederhana. Di sinilah tujuan pertama mereka, tempat tinggal Altea.

"Sudah dapat izinnya?" Bedric bertanya pada pria yang baru saja keluar. Ketika pria itu mengangguk, Bedric langsung memberi isyarat untuk masuk.

Ruangan nomor 303. Bedric mengetuk pintu dengan tempo yang beraturan. Dalam waktu dua menit, terdengar suara kunci yang diputar. Seorang gadis kecil berambut pirang, muncul seraya memiringkan kepala dan menatap orang-orang di hadapannya dengan ekspresi bingung.

Bedric berjongkok, berusaha menyamakan tinggi badannya. "Hai. Aku Bedric. Hari ini aku datang untuk bicara dengan Ayahmu. Apakah diizinkan?" tanya Bedric ramah.

Gadis itu diam sejenak, lalu menoleh dan berteriak, "Papa!"

Seorang pria datang dengan wajahnya yang sedikit kusut. Terdapat rambut-rambut halus yang meghiasi area dagunya. Sapaan Bedric dibalas dengan seringai kecil, seolah tahu maksud dari kedatangannya.

"Aku menunggu sejak kemarin. Masuklah, tapi aku tidak punya minuman selain bir dan air mineral."

"Terima kasih atas kebaikanmu, tetapi kami belum membutuhkannya."

Hailexa menjadi salah satu orang yang ikut masuk ke dalam ruangan. Tempat ini jauh lebih kecil dari yang dibayangkan. Saat masuk tadi, ia dihadapkan dengan dapur lalu berlanjut ke ruang tengah di mana terdapat meja makan, sofa, televisi, serta beberapa perabotan tambahan. Masing-masing di sisi kanan dan kiri terdapat dua pintu yang mungkin adalah kamar tidur dan kamar mandi. Selain itu tidak ada ruang kosong lagi.

"Seharusnya kau sudah tahu namaku," ujar pria itu sambil menyalakan rokoknya. Jujur saja, Hailexa merasa perasaannya tersakiti karena melihat bayi mungil yang sedang tertidur pulas di atas sofa. Perkiraan Hailexa, usia bayi ini belum genap dua tahun. Namun bagaimana bisa seseorang dengan percaya dirinya merokok di dekat sang bayi?

"Aku tidak bermaksud mengguruimu, Eterie. Maaf saja, tetapi tidak baik merokok di dekat anak-anak."

"Aku tahu. Hanya saja, merokok membuatku lebih santai. Sebelum kau ingin bertanya soal Altea, biakan aku bercerita mengenai kehidupan kami."

Bedric menganngguk, mempersilakan Eterie untuk memulai ceritanya.

"Kami saling mengenal ketika Altea berusia sembilan belas. Satu tahun kemudian, Altea dikabarkan hamil dan kami memutuskan untuk tinggal bersama. Hanya saja aku baru menikahinya dua tahun lalu. Sayangnya hubungan kami memburuk. Dia jarang pulang dan meninggalkanku dengan bocah-bocah berisik ini."

"Mungkin saja Altea tidak meninggalkanmu, dia hanya bekerja demi kebutuhan kalian."

"Aku sadar jika diriku seorang pengangguran yang menyusahkan. Akan tetapi aku tidak pernah pergi empat hari tanpa kabar."

"Kami turut berduka atas kematian istrimu. Dari hasil yang didapat, Altea menjadi korban dari pembunuhan. Namun sebelum tubuh Altea ditemukan, satu orang lain yang merupakan rekan kerjanya juga ditemukan tewas terbunuh."

Eterie mendongak, meniupkan asap rokoknya ke udara. "Aku tidak pernah tahu tentang teman-temannya."

Sudut mata Bedric melirik pada perempuan yang bertugas mencatat setiap hal yang terjadi. Dari isyarat yang diberikan melalui gerakan tangannya, informasi yang mereka dapatkan masih jauh dari kata cukup.

"Kenapa kau terlihat tenang dan seperti tidak punya beban karena kematian Altea?"

Suara tawa ejekan mengudara. Telapak tangan Eterie menepuk punggung Bedric berkali-kali. "Aku tenang karena memang bukan diriku yang terlibat dalam pembunuhan ini. Tidak ada beban? Untuk apa aku menangisi seseorang yang sudah membuatku kecewa? Aku bahkan sudah tidak mencintainya," jelas Eterie serius. "Memikirkannya hanya buang-buang waktu. Lebih baik jika aku berpikir bagaimana cara mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan dua anakku."

"Sadar tidak, dengan perilakumu semacam ini, aku bisa saja melapor karena tidak mengasuh anak dengan baik," ancam Bedric.

"Terserah apa katamu. Yang jelas, aku hanya minum dan merokok. Tidak ada narkoba di tubuhku ini. Oh ya, bolehkah kalian memberi sedikit bantuan kepadaku?"

"Berapa banyak uang yang kau butuhkan? Aku akan berikan jika nominalnya masuk akal dengan uang pribadiku."

"Aku juga ikut," celetuk Hailexa yang sedari tadi diam. Hal ini dilakukannya karena merasa kasihan terhadap anak-anak Eterie. Terdengar mengerikan jika pria itu sampai berpikir untuk memanfaatkan anaknya demi uang.

"Bukan uang. Tetapi, bisakah kalian mengurus semua pemakaman Altea? Jangan buat aku ikut campur sedikit pun."

Seluruh tim menyanggupi termasuk Bedric. Eterie sudah benar-benar tidak peduli pada nasib Altea. Jujur saja Bedric sangat takut jika sikap Eterie akan membuat kedua anaknya berada dalam masalah. Dia tidak tampak seperti ayah yang baik.

"Oh, jika ingin memberikan uang, maka aku tidak akan menolak," imbuhnya.

Bedric geleng-geleng kepala sambil mengeluarkan dompetnya. Dari semua uang yang dibawanya saat ini, Bedric hanya menyisakan satu lembar untuk berjaga-jaga. Hailexa turut melakukan hal yang sama, meletakkan beberapa lembar uang di atas meja kemudian disusul oleh anggota tim yang berada di ruangan.

"Ini murni uang pribadi kami. Jadi jangan pernah meminta-minta di kantor. Dengar Eterie, kasus ini belum selesai. Kami akan datang lagi jika perlu informasi lain."

"Kalian baik sekali. Tunggu sebentar, ada yang ingin kuberikan." Eterie beranjak dari sofa dan berjalan ke arah kamar. Butuh waktu sekitar lima menit sampai pria itu kembali dengan satu lembar foto di tangannya. Eterie menyerahkan foto itu pada Bedric. "Altea dekat dengannya atau mungkin kekasihnya. Kau tahu maksudku. Fotonya tersimpan di antara tumpukan pakaian."

Selingkuh. Bedric paham benar apa yang dimaksud Eterie. Altea bermain di belakang. Pantas saja jika dia kecewa terhadap Altea sampai-sampai sudah tidak mencintainya.

"Terima kasih. Kami permisi," pamit Bedric.

Keadaan di luar terlihat cukup tenang, hanya ada beberapa anak-anak yang sedang bermain di lapangan. Sebelum kembali ke markas, tim memutuskan untuk berdiskusi sebentar. Bedric bersandar pada badan mobilnya dengan dua tangan yang dimasukkan pada saku celana.

"Dari penilaianku, dia bicara jujur."

"Tempat tinggalnya juga tidak terlihat mencurigakan. Sampai detik ini memang tidak ada bukti yang mengarah padanya."

"Informasi kita terbatas," Bedric ikut ke dalam percakapan. "Cari tahu siapa pria di foto. Selain itu, pastikan Eterie tetap diawasi. Cukup untuk hari ini. Kalian bisa langsung pulang jika tidak punya kewajiban lain. Segera beri tahu soal perkembangannya."

Hailexa sudah akan berbalik ke mobil yang tadi membawanya kemari. Akan tetapi langkahnya tertahan karena panggilan dari Bedric.

"Kau pulang denganku saja. Apa masih ada barangmu yang tertinggal?"

Hailexa menggeleng. Sejak pagi seluruh barangnya tidak pernah dikeluarkan dari dalam tas kecuali ponsel dan beberapa lembar uang. "Apa tidak merepotkan?" tanyanya ragu.

"Tentu tidak. Tempat tinggal kita searah."

"Bolehkah aku menumpang sampai kafe? Ada sedikit pekerjaan yang harus diurus."

Sebenarnya bukan pekerjaan, melainkan Hailexa hanya ingin bertemu Alexander saja. Entah kenapa akhir-akhir ini dirinya seakan mudah rindu pada laki-laki itu. Hal ini dirasakan setelah teman Alexander—Judith datang ke kafe dan bicara soal mantan kekasih Alexander.

Teresa. Dari namanya bisa dibayangkan jika dia gadis yang cantik. Hailexa tidak tahu kenapa Alexander seperti enggan membicarakannya. Mungkinkah karena Alexander tidak bisa melupakan gadis itu? Jika benar, Hailexa merasa cemburu sekarang. Tidak, sejak hari itu rasa cemburu sudah sempat membakarnya. Sayangnya Hailexa hanya bisa menahannya seorang diri. Ia tidak punya keberanian untuk bertanya pada Alexander.

"Naiklah," ujar Bedric seraya membuka pintu mobil.