webnovel

3. By Your Side

Stella melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, tidak lupa untuk menutup pintu kembali.

"Stella."

"Ada apa, Bunda?" Stella menghentikan langkahnya, kemudian menolehkan kepalanya ke sumbernya. Dia benar-benar baru menyadari keberadaan seorang pria, dan ini kali pertamanya Bunda membawa pria ke dalam rumah. "Beliau siapa?"

"Biarkan saya yang memberitahunya."

Stella mengernyitkan dahinya, "kau siapa?"

"Saya adalah Ayah kandungmu."

"Bunda, pria ini sedang melantur, kan?" Stella menggelengkan kepalanya, jika memang benar Ayahnya mengapa baru datang menemuinya?

"Maafkan Bunda, Nak."

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Saya yang salah di sini, Ibumu hanya korban."

Stella terdiam untuk beberapa saat, otaknya benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih. "Apakah aku adalah anak hasil diluar nikah, Bunda?"

"Bunda tidak akan mengelak lagi, kamu memang anak hasil di luar nikah."

"Jadi, pria yang menghamilimu adalah pria sudah memiliki istri?"

"Benar, maafkan Bunda, Nak."

Stella tertawa hambar, kedua matanya berkaca-kaca. "Sekarang aku mengerti, mengapa dahulu Bunda selalu menghindari pertanyaanku mengenai Ayah."

"Maafkan Bunda, Nak."

"Jangan menyalahkan Ibumu, Stella, Ayah yang salah. Saat melakukannya dengan Ibumu kami dalam kondisi mabuk."

"Terserah, aku tidak peduli dengan penjelasanmu." Stella menggertakkan giginya, mengepalkan kedua tangannya. "Kenapa kau tidak menggugurkanku saja, Bunda?! Kenapa aku harus terlahir didunia ini?!"

"Stella!"

Stella menatap tajam pria yang baru saja membentaknya, "apa hakmu membentakku?! Kau tidak memiliki hak apa pun, meskipun kau adalah Ayah kandungku."

"Stella."

"Aku sungguh kecewa kepadamu, Bunda."

"Maaf."

"Jadi, untuk apa pria ini datang kemari?"

"Maafkan Bunda, Nak, dahulu kami sudah membuat kesepakatan. Saat kamu sudah berumur 16 tahun, Ayahmu akan membawamu ke rumahnya."

"Lelucon macam apa ini? Bagaimana kau tega melakukannya, Bunda?" Stella menggelengkan kepalanya, salah satu tangannya menghapus airmata yang mulai membasahi pipinya.

"Maaf."

"Aku lebih memilih tinggal sendiri, daripada harus tinggal satu atap dengan pria yang tidak bertanggung jawab sepertinya."

"Jika itu maumu, biarkan Ayah yang menanggung semua biaya pengeluaranmu, ya?"

Stella memutar bola matanya malas, "aku tidak akan pernah menerima sepeser uang darimu."

"Stop being stubborn."

"Jika aku keras kepala, bagaimana denganmu? Baru bertanggung jawab sekarang setelah melakukan kesalahan pada masa lalu."

"Jangan memaksanya, memaksa dia hanya akan membuatnya makin membenci dirimu."

Stella menghembuskan napasnya berat, "aku memiliki satu permintaan, anakmu jangan sampai mengetahui masalah ini."

"Kamu juga anak saya, Stella, mereka seharusnya bisa menerimamu."

"Itu tidak mungkin terjadi."

***

01:00 WIB.

Stella terbangun dari tidurnya, mengerjapkan kedua matanya untuk mengumpulkan kesadarannya. Setelah merasa kesadarannya terkumpul melirik jam dindingnya yang menunjukkan pukul 1 malam.

Stella tidak akan pernah bisa tertidur pulas, jika masalah belum terselesaikan. Dia beranjak dari ranjangnya, kemudian melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya.

Menuruni tangga dengan mengendap-endap agar tidak membangunkan penghuni yang lain, usai menuruni tangga melangkahkan kaki menuju pintu.

Ya, sepertinya dia perlu menghirup angin malam untuk menenangkan pikirannya, tidak lupa kembali menutup pintu dan menguncinya.

Tujuannya kali ini adalah ke taman, Stella berjalan dengan santai.

Hanya butuh waktu sekitar lima menit bagi Stella untuk tiba di taman, langkahnya mendekati salah satu bangku kursi yang kosong dan duduk.

"Apa yang kau lakukan sendirian di sini?"

"Astaga, kau mengejutkanku!" Stella tersentak saat seseorang menepuk pundaknya.

"Kamu ini seorang gadis, tidak baik keluar dini hari seperti ini."

"Bagaimana denganmu, Kak? Kenapa kau ada disini?"

"Aku mengikutimu." Jawab Keenan.

"Kau tidak tidur, Kak?"

"Bukankah seharusnya aku yang bertanya?"

Stella mendengkus pelan, "aku terbangun, Kak, selalu seperti ini setiap masalah datang membuatku tidak bisa tertidur dengan pulas."

"Kau bisa menceritakan masalahmu kepadaku, mungkin aku bisa memberikan kamu solusi untuk mengatasi masalah."

"Setelah mendengar masalahku, mungkin kamu akan menganggapku menjijikkan, Kak."

"Apa maksudmu?"

"Aku merupakan anak hasil hubungan di luar nikah, pria yang menghamili Bundaku saat itu adalah pria beristri."

"Stella…"

Stella tersenyum, "aku baik-baik saja, jika kau memang ingin menjaga jarak denganku. Aku tidak masalah dan tidak melarangmu untuk melakukannya."

"Kemarilah, aku tahu kamu sedari tadi menahan tangisan, kan?"

Stella tersenyum sendu, dia benar-benar beruntung dipertemukan dengan pria sebaik Keenan. "Terima kasih."

"Aku di sini untukmu, Stella."

"Kak, aku sungguh baik-baik saja, jika memang kamu ingin menjaga jarak denganku."

"Aku tidak akan menjaga jarak denganmu, Stella, aku akan tetap berada disisimu apapun yang terjadi."

"Kenapa, Kak?"

"Kau sungguh tidak tahu alasan aku melakukannya, Stella?" tanya Keenan.

"Tidak."

"Kamu akan tahu jawabannya, ketika kamu sudah mengerti apa yang kurasakan kepadamu." Gumam Keenan.

"Kau menggumamkan sesuatu, Kak?"

"Tidak, kamu mungkin salah dengar." Keenan tersenyum, kemudian mengulurkan tangan kanannya yang membasahi kedua pipi Stella.

Aku harap suatu hari nanti, kamu juga bisa jatuh cinta kepadaku, seperti aku yang jatuh cinta denganmu, Stella. Batin Keenan.

Tanpa sadar Stella menyandarkan kepalanya dipundak Keenan, mengatur napasnya dan mencoba kembali memejamkan kedua matanya. Seulas senyum tipis terbit dibibir Keenan, dia merasa pundaknya bisa dimanfaatkan untuk gadisnya bersandar.

"Stella?"

Karena, tidak mendapatkan jawaban Keenan dengan perlahan mengubah posisi Stella, sebelum menggendong tubuh gadis itu dia lebih dahulu melepaskan jaket denim miliknya dan menyampirkannya ke tubuh Stella.

Butuh waktu sekitar sepuluh menit bagi Keenan tiba di rumah Stella, dia berusaha mengetuk pintu tanpa membangunkan gadis yang berada dalam gendongannya.

Tidak lama setelah mengetuk pintu, pintu tersebut terbuka.

"Stella? Kenapa dia bersamamu?"

"Dia yang berjalan sendirian menuju taman, karena saat itu saya melihatnya dan memutuskan untuk menemaninya." Jawab Keenan.

"Ayo masuk."

"Baik."

Keenan mengikuti langkah wanita paruh baya yang memberikan jalan untuknya menuju kamar Stella, usai membaringkan tubuh gadis itu ke ranjang tidak lupa untuk menyelimuti tubuhnya.

"Maaf, telah merepotkanmu. Pasti Stella berat, ya?"

Keenan tersenyum kikuk, "tidak berat, Tante, saya permisi."

"Terima kasih, ya, Nak Keenan."

"Tidak perlu berterima kasih, Tante."

***

"Stella, mau sampai kapan kamu menghindari Bunda?"

Stella tidak menjawab kalimat pertanyaan yang diberikan oleh Bundanya, menganggap suara wanita paruh baya itu sebagai angin lalu. Dia malu dengan dirinya sendiri, dia ada karena sebuah kesalahan.

"Stella, jangan seperti ini, ya, Nak?"

"Semuanya terserah kepadamu, Bu, jika kau berbicara denganku agar mau tinggal bersama pria itu, maaf aku menolaknya." Stella menyimpan sendok di atas piring, kemudian beranjak dari duduknya. "Sudah, ya, aku berangkat sekolah dahulu."

Stella melangkahkan kakinya meninggalkan sang Bunda, dengan langkahnya yang makin jauh airmatanya menetes dan membasahi pipinya. Langkahnya benar-benar terasa berat, menghela napasnya ketika tidak sengaja melakukan kontak mata dengan Keenan.

Pria itu sedang berdiri dengan motor yang ada disampingnya, sepertinya Keenan menunggunya sedari tadi.

"Kamu menangis lagi?"

"Aku cengeng, ya, Kak?"

"Hapus airmatamu, kamu harus belajar berdamai dengan masa lalu, Stella." Keenan memberikan saputangan miliknya, membiarkan gadis itu menghapus airmatanya dengan saputangannya.

"Mudah sekali kamu mengatakannya, Kak."

"Kamu terlihat jelek, ketika menangis."

Stella mendelik, kemudian menghapus jejak airmatanya menggunakan saputangan yang dipinjamkan oleh Keenan kepada dirinya. "Kau sedang menungguku, ya?"

"Menurutmu bagaimana? Ini pakailah helmnya."

Stella menerima helm yang diberikan oleh Keenan dan memakainya, mengatur napasnya karena dia baru kali pertama dibonceng oleh lawan jenis pakai motor ninja pula.

"Sedang apa kamu? Kenapa tidak naik?"

"Aku takut, Kak, kau punya SIM, kan?"

"Aku tidak mungkin berani membawa motor, jika tidak memiliki SIM, Stella."

Stella sengaja memegang pundak Keenan, dan naik ke atas motor ninja milik pria itu. "Ayo berangkat!"

"Rok kamu pendek, ya?"

"Hah? Iya, Kak, kenapa?"

"Pakai jaketku untuk menutupi rokmu agar tidak tertiup angin." Keenan melepaskan jaket hitam miliknya dan memberikannya kepada Stella.

***

TBC