SEPERTI melihat dunia baru, Apo kagum ada banyak prajurit yang dikerahkan Istana Pusat guna mendampingi kegiatan challenge level 9. Mungkin karena tembak menembak membutuhkan safety yang lebih. Baik penonton maupun lokasi harus diperhatikan sedetail mungkin, berharap acara bisa diselenggarakan dengan lancar tanpa halangan. Awalnya, Apo biasa saja karena suasana ini familiar dalam benaknya. Namun, setelah menoleh kesana kemari, dia melihat sang Ayah berdiri tak jauh dari meja juri. Beliau tidak duduk bersama Phelipe sebagai penonton, melainkan pengawas lapangan yang memakai seragam khusus. Mungkin karena Phillip punya track record militer, dia dan beberapa orang sejenis pun diundang untuk dimintai pendapat hasil.
Apo tak memungkiri dia dag-dig-dug ser menyadari itu, namun bukan berarti dia takut dan mundur. Adrenalinnya terpacu melihat ketujuh player masuk ke lapangan tembak. Mereka memakai pakaian santai, bertopi, dan pastinya membawa senjata laras pendek dan panjang di punggung. Seorang instruktur yang memandu naik podium. Dia bernama Jade, sudah tua, beruban, tinggi besar, dan wajah seriusnya selaras dengan suara yang dikeluarkan pada microphone.
Jade bilang, dengan senjata laras pendek maupun panjang mereka harus mampu membidik 7 titik vital target berbentuk papan manusia, persis seperti yang Phillip bilang semalam. Ada 1) Dahi 2) Leher 3) Hidung 4) Ulu hati 5) Bahu 6) Perut bawah, dan 7) Kemaluan. Semua diatur dalam jarak 20-60 meter, yang artinya ada 10 papan yang akan harus ditaklukkan.
Ujiannya pun tidak satu-satu, melainkan langsung dilakukan 8 orang. Setiap papan akan diatur dengan mesin otomatis yang ditata di ujung lapangan Kastil Gilberte. Dengan setting-an tertentu, benda itu akan berpindah begitu mendeteksi 7 peluru menembus bidang. Tidak ada tambahan atau pengurangan amunisi untuk peserta, yang artinya setiap tembakan harus dilakukan dengan serius.
Tidak ada sesi percobaan untuk mereka. Sebab kandidat calon ratu dinilai sudah mumpuni semua.
Apo perhatikan banyak player yang berkeringat sejak disuruh berdiri di belakang garis masing-masing. Mereka cemas, mungkin karena di dunia nyata tak pernah merasakan seberapa berat pistol asli di genggaman tangan. Namun Apo yakin setiap player memiliki skill bawaan masing-masing, tinggal punya nyali atau tidak saat melakukannya dalam lapangan.
Apo sendiri tidak mau kalah lagi hanya karena tak fokus, atau sedih dan menangis ingin pulang. Sudah cukup yang terakhir dia dipermalukan di balairung Istana Pusat. Jangan sampai orangtuanya dipanggil kembali hanya karena hal itu.
"BERSIAP!!" teriak Jade yang mengomando di kiri lapangan. Dia membawa Bendera Inggris, sementara kedelapan player membuat kuda-kuda tertentu. Perlahan namun pasti, semuanya mulai mengangkat senjata dengan kedua lengan yang lurus. Mata fokus ke papan versi 20 meter yang berdiri tegak. Challenge pertama diawali dengan senjata laras pendek dahulu. Apo pun memicingkan satu mata untuk membuat pandangan tajam. "Tiga ...."
Telunjuk Apo mulai bergerak mengusap halusnya pelatuk.
"Dua ...."
Dia bisa mendengar suara degub jantung dan napasnya sendiri.
"Satu .... SEKARANG!"
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
Tembakan beruntun pun terdengar dari kedelapan garis. Para penonton menahan napas sangking tegangnya melihat hasil yang tercetak pada masing-masing papan. Kata Phillip peluru pertama memang paling menentukan. Karena apabila sejak awal Apo gagal fokus, maka berikutnya akan melenceng semua. Terbukti di sesi ini Victoria, Magnolia, Delio, dan Gavin zonk parah. Mereka berempat tampak kesal saat papan kedua naik menggantikan.
Oh, ternyata sainganku hari ini adalah Raymond, Sia, dan Nicholas, huh?
Apo langsung memasukkan serentengan peluru berikutnya untuk melanjutkan persaingan. Dalam challenge mereka memang diwajibkan memakai senjata yang tradisional. Ini tak seperti yang Apo lihat di film aksi ala James Bond. Senjata di tengan mereka harus diputar dulu sebelum pelurunya mantap tertata. Keterampilan jari dan kepercayaan diri sangat menentukan dalam permainan. Apo harap dia tidak berkeringat banyak hanya karena meluncurkan peluru.
[Skor tertinggi Tangga 1: Sia, Nattarylie, Raymond, Nicholas, Victoria, Magnolia, Delio, dan Gavin]
"Cih ...."
Si manis tidak mau melirik kondisi lawannya. Namun dia kurang puas berada dalam urutan ke-2.
"TANGGA 2, BERSIAP!"
Jade tiba-tiba berseru lagi.
"Tiga ....!!"
Apo memicingkan mata lebih dalam kali ini.
"Dua ...."
Dia belajar mengatur napas agar tremor di pelatuk aman.
"Satu .... LEPASKAN!!"
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
[Skor tertinggi Tangga 2: Raymond, Nattarylie, Sia, Gavin, Magnolia, Victoria, Nicholas, dan Delio]
"Anjir, tidak meningkat juga rupanya. Tapi lumayan ...." desah Apo, seraya mengulang kewajibannya mengisi pistol. Raymond benar-benar harus diawasi pada challenge kali ini. Kemungkinan besar pasti punya ayah atau kerabat yang dari militer seperti Apo. Terbukti tangga tersebut diakhiri setelah 5 kali lapis uji. Benar saja skor terakhir dimenangkan oleh Raymond dengan perbedaan cukup tipis.
[Data-data Pemenang Sementara]
[Raymond: 30/35]
[Nattarylie: 28/35]
[Sia: 26/35]
[Nicholas: 21/35]
[Gavin: 16/35]
[Victoria: 12/35]
[Delio: 9/35]
[Magnolia: 8/35]
Apo pun menghela napas panjang. Dia mengusap kening kesal, padahal tak terlalu berkeringat. Rasanya ingin mengamuk ke suatu tempat, tapi harus bertahan karena setelah ini menggunakan senjata laras panjang. Kedelapan player diberikan jeda 10 menit untuk mengatur emosi. Guna berganti perlengkapan mereka pun ke pos masing-masing dengan beberapa dayang siap membantu.
"Ayah, doakan aku lebih baik lagi," batin Apo sambil melirik Phillip di tempatnya. Sang Ayah tetap kaku sebagaimana mode kerjanya setiap hari. Lelaki itu tak merubah posisi sedikit pun, melainkan konsisten bersedekap hingga kini. "Habis ini akan kubantai mereka semua. Lihat saja."
"AYOOOOOO!! TIDAK ADA PENAMBAHAN WAKTU! KUHITUNG SAMPAI 10 HARUS KE POSISI SEMULA! HAAARRRGHHH!" teriak Jade sambil menembakkan tiga peluru ke langit biru. Suaranya memekakkan telinga. Namun karena dinilai sakral, penonton mana pun tidak berani berisik melainkan menyimak baik-baik jalannya ujian tersebut.
Semua player auto lari ke lapangan. Dengan gugup mereka mengatur posisi sambil menenangkan diri.
"DIAWALI JARAK 20 METER! SIAGA!" teriak Jade sambil mengibarkan bendera di genggamannya. Apo sadar laras panjang lebih sulit karena senjata tersebut berat. Dia seperti menggendong bayi, karena hampir 3 kilo belum dengan peluru yang dimasukkan. "Tiga ...."
"Shit!" maki Apo dalam hati. "Kenapa yang semalam tak seberat ini? Andai aku dominan pasti punya lengan lebih kuat. Anjing ya, aku yakin para cewek keok duluan dengan beban yang ditanggung mereka."
"Dua ...."
Apo manyun-manyun tanpa sadar memikirkan betapa rumit isi kepalanya.
"Satu!! LUNCURKAN!"
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
Saat itulah Apo tak menyangka bidikannya kena semua. Seniat itu dia ingin sang Ayah kagum dengan pencapaian yang bisa diraih. Lamat-lamat Apo pun mendengar tepuk tangan dari jauh. Dia menjerit, "Yes! Sip! Ha ha ha ...." tapi justru salah kira.
Bukan Phillip, yang Apo temukan adalah Raja Millerius. Sang dominan baru muncul setelah puluhan menit challenge berlalu di tempat itu. Dia mengenakan pakaian megah seperti kemarin malam. Bedanya warna hitam, tapi juga bermahkota. Sang raja tampan menyembul diantara para pengawas. Entah untuk Apo, atau memang kebetulan dia ingin memberikan apresiasi untuk semua calon istrinya.
Oh, fuck! Ganteng banget?!
Apo buru-buru buang muka sebelum fokusnya tercecer. Dia merona, tapi batin merutuk tak henti-henti. Bahkan Jade si Tua mendadak tampan setelah Apo melihat Raja Millerius. Tanpa sadar dia pun grasak-grusuk salah tingkah pada tingkat berikutnya.
"TANGGA 2, HITUNG MUNDUR ....!!"
Aku harus menang hari ini! Harus!
"DENGAN JARAK 30 METER, SIAPKAN!"
Aku ingin pamer kepadanya! Mau ... dipuji!
"Tiga ...."
Pokoknya harus fokus padaku!! BEDEBAH!
Awas matamu melihat yang lain. Kucolok nanti pakai jari tengah!
"Dua ...."
Brengsek banget Millerius! Kenapa tidak muncul dari tadi? Bukannya semangat aku malah jadi kaget! Asuuu! Asuuuu!
"Satu ... SEKARANG!!!!"
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!
Entah karena terjebak halu atau daya khayal memusingkan, pemandangan di depan pun berubah melambat ala slow motion dramatis. Apo bisa menotis setiap peluru yang muntah dari senjatanya. Mereka menancap satu per satu dan bergantian ke setiap titik vital.
Si manis senyum penuh kebanggaan seolah menunjukkan rapot sekolahnya. Dia terus mengulangi kesuksesan itu hingga "tangga" yang terakhir.
[Data-data Pemenang Sementara]
[Nattarylie: 33/35]
[Raymond: 27/35]
[Nicholas: 26/35]
[Sia: 20/35]
[Gavin: 19/35]
[Delio: 17/35]
[Magnolia: 16/35]
[Victoria: 15/35]
______________
[HASIL AKHIR]
1) Nattarylie 61/70 || 2) Raymond 57/70 || 3) Nicholas 47/70 || 4) Sia 46/70 || 5) Gavin 35/70 || 6) Victoria: 27/70 || 7) Delio 26/70 || 8) Magnolia: 24/70
Angka-angka itu pun muncul bertahap di layar sebesar baliho. Semua agar penonton tahu siapa pemenang yang sesungguhnya.
Apo sendiri langsung lari menyerbu sang Ibu. Dia malu wajah belianya dipajang begitu lebar karena sang raja pasti melihat. Phelipe pun berdiri untuk menyambutnya.
Mau tak mau Apo harus puas, padahal dalam hati ingin menghambur kepada sang Ayah. Apo berhasrat untuk tahu betapa puasnya raut Phillip, tapi gugup sekali karena Raja Millerius berada di sana juga.
[Congratulations, Tuan Nattarylie]
"Selamat ya, Cantik ...."
"Lagiii!" tuntut Apo sambil menggelendot di leher Phelipe. "Wakili Ayah, Bu! Ayah belum bilang selamat padaku! Ayoooo!"
"Ha ha ha ha, selamat dari Ayah juga, Bayiii. Sayang Natta ...."
"Terima kasiiih!" kata Apo, yang terkikik senang mendapat kecupan pipi Phelipe. Dia masih maju lagi, biar dapat kanan kiri. Keduanya tidak tahu Raja Millerius pergi sambil diikuti Phillip setelah itu.
"Ada apa, Yang Mulia?" tanya Phillip penasaran. Dia baru membuka suara setelah tiba di lobi yang sepi. Tampaknya sayap ini sudah steril karena tidak ada satu pun prajurit berjaga.
"Hanya ingin memastikan ulang tahun Natta?" kata Raja Millerius. "Acaranya bulan ini kan? Sudah dekat. Kuharap 24 Februari dalam data tak keliru."
"Oh ...." Phillip pun mengangguk pelan. "Iya, Yang Mulia. Tinggal 7 hari lagi."
"Bagus."
Raja Millerius diam-diam mengulum senyum tipis. Dominan itu kembali menatap depan agar Phillip tidak tahu seperti apa ekspresinya.
"...."
"Terus semisal kau mengizinkan, aku ingin mengajaknya pergi hari itu. Ke mana pun lah. Sekiranya Natta suka saja," tegas Raja Millerius. "Jika iya, aku akan selesaikan tugas sebelum hari H, dan ... aku benar-benar senang dia lahir ke dunia."
"...."
"Terima kasih ...."
"...."
"Kau dan Phelipe betul-betul sudah menjadi orangtua yang baik untuknya."