webnovel

THE LEADER OF PSHYCOPATH

Cantika Dahlia Halmahera, gadis 16 tahun yang kabur dari rumah karena tak ingin dinikahkan dengan kakak kelasnya bernama Doni Alvaro. Dampak dari kaburnya tersebut menyebabkan dia harus menempuh hidup baru di kota yang sama sekali belum pernah ia kunjungi. Di sana dia bertemu dua sosok pria tampan yang mempunyai rumah sangat mewah. Satu bernama Farhan Mahardika Sanjaya dan satu lagi Hendri Adelio. Dan di rumah itulah Cantika tinggal atas izin Farhan. Farhan adalah tipe cowok yang formal dan jutek, tapi IQ-nya di atas rata-rata. Selain itu, ada satu hal yang harus dicamkan! Farhan adalah seorang psikopat. ia suka melampiaskan amarah dengan melukai diri sendiri, atau membunuh musuh dengan benda tajam andalannya. Bahkan, Cantika sendiri pun hampir jadi korban hanya karena kesalahan kecil yang diperbuat. Pada intinya, Farhan adalah cowok aneh. Terkadang ia memaafkan kesalahan besar, dan menghakimi kesalahan kecil. Begitupun sebaliknya, menghakimi kesalahan besar, dan memaafkan kesalahan kecil. Ada apa sebenarnya dengan Farhan? Cantika. Meski gadis ini terkesan polos, namun ia mencari tau siapa Farhan sebenarnya secara diam-diam. Ia melanggar perintah Farhan untuk tidak naik ke lantai tiga, dan di sanalah Cantika menemukan titik terang mengenai seorang Farhan Mahardika Sanjaya.

Melvi_twoc · Krieg
Zu wenig Bewertungen
2 Chs

Chapter II. Kesalahan

Mentari pagi masuk melalui celah ventilasi. Cia terbangun dari tidurnya dengan posisi masih memeluk Farhan, begitupun Farhan yang tidur merengkuh pinggang Cia. Merasa sulit bergerak, Cia melirik ke samping kiri, tentu saja dia kaget bukan main.

"Haaa. Mamaaa ...," pekiknya membuat Farhan bangun seketika.

"Heh, kamu siapa? Berani-beraninya meluk Cia sambil tidur?" tuduh Cia dengan menunjuk wajah Farhan.

Merasa kesal, Farhan bangun duduk sambil menumpuk selimut sepenuhnya ke tubuh Cia. "Kau yang memintaku untuk tidur di sebelahmu," ungkapnya dingin.

"Dih. Mimpi. Kamu pasti ngayal, 'kan?" Lagi lagi Cia menganggap Farhan mengada-ada dengan ucapannya.

"Terserah," lirih Farhan. Pria itu memasang sendal dan pergi ke kamar mandi untuk cuci muka.

Cia menatap pria setinggi 183 cm itu dengan intens. Perlahan ia bangun duduk dan menjauhkan selimut dari tubuhnya. "Kalau ditatap dari dekat kayak tadi, tuh cowok ganteng banget," batinnya sambil senyum-senyum.

Plak!

Cia menampar pipinya sendiri. "Ahhss, apaan sih, Ci? Jangan mikir yang aneh-aneh deh."

Akhirnya, Cia menyusul Farhan ke kamar mandi dan berdiri dekat wastafel. Di sebelahnya sosok Farhan tengah menggosok gigi disertai wajah datar tanpa ekspresi. Cia pun tak menghiraukan hal tersebut, dia mulai mengambil pepsodent dan sikat gigi lalu melakukan ritual gosok giginya sampai selesai.

"Nama kamu siapa?" tanya Cia berdiri menghadap sisi kanan Farhan.

Terlebih dulu Farhan kumur-kumur. Kemudian, me-lap mulutnya menggunakan handuk kecil. Saat berbalik ke arah kanan, lebih tepatnya menghadap Cia, ia melihat sisa busa pepsodent yang menempel di sudut bibir gadis itu.

Langsung saja handuk kecil di tangannya me-lap sudut bibir tersebut. Tatapan mereka bertemu dengan jarak sangat dekat, Cia sendiri seolah terhipnotis akan tatapan sayu milik pria di hadapannya.

Farhan kemudian memberikan handuk ke tangan Cia secara asal. "Farhan," jawabnya setelah sekian menit.

*****

Hari ini tepat hari minggu, hari yang diidamkan oleh sebagian siswa karena bisa bangun siang, dan tak ada tugas sekolah.

"Farhaaaan ...," panggil Cia menyusuri rumah bernuansa mewah itu. Dia menatap sekeliling bangunan megah berlantai tiga tersebut.

Saat Cia hendak menaiki lantai tiga, seseorang menghentikan langkahnya. "Jangan ke sana!" tegasnya. Orang itu tak lain adalah Farhan. Dia mendekat dan menarik Cia menuju ruang tamu.

"Wegelasseeeh, udah demen lo ama Cia?" ledek Hendri kala melihat Farhan menggandeng tangan gadis tersebut.

Dengan sikap dinginnya, Farhan berlalu ke meja makan. Sedangkan Cia masih dilanda kebingungan. Sejak pertama datang tak ada seorang pria atau wanita paruh baya di sini. Hanya ada dua pemuda, hal itu membuat Cia penasaran siapa mereka.

"Farhan, kamu pemilik rumah ini?" tanya Cia ragu sambil duduk di kursi. Farhan hanya mengangguk satu kali sebagai jawaban.

Hendri yang kelelahan berdiri pun memutuskan untuk duduk di sebelah temannya. "Lo siapa? Dan kenapa lo bisa nyasar ke sini?" tanya Hendri menginterogasi.

"Namaku Cia--."

"Nama lengkap," potong Farhan.

"Cantika Dahlia Halmahera. Panggil aca Cia," jawabnya.

"Lanjutkan," suruh Farhan.

"Ehmm, iya. Cia kabur dari rumah karena mama mau jodohin Cia sama Doni. Cia gak mau karena Doni itu cowok gak baik. Cia juga udah cerita ke mama tapi dia gak percaya. Akhirnya, ya Cia kabur," jelas gadis berusia 16 tahun tersebut menceritakan kronologi kejadian yang dialaminya.

"Terus, kenapa lo bisa nyasar ke sini?" tanya Hendri lagi.

Cia menggigit bibir bawahnya sambil geleng-geleng kepala. "Cia juga gak tau. Terakhir kali Cia minta turun di persimpangan setelah lebih dari tujuh jam perjalanan. Sebenarnya Cia gak tau arah tujuan, sampai akhirnya hujan turun dan Cia lihat pagar rumah ini terbuka."

"Ooh gitu. Oh ya, kenalin gue Hendri Adelio, teman Farhan. Lo bisa panggil gue atau Farhan kalau butuh sesuatu," ujar Hendri disertai senyum tipis.

"Okey. Oh ya, kalian cuma tinggal berdua di sini?" tanya Cia balik menginterogasi.

"Ya. Tapi sekarang kita bertiga," jawab Hendri. Sedangkan Farhan tak menunjukkan reaksi apapun.

"Emm ... kalau boleh jujur, Cia gak percaya kalau Farhan yang punya rumah ini sendiri. Pasti ini rumah punya kalian berdua, iya 'kan?" tebaknya  secara asal.

Kontan saja Farhan menatap tajam sosok wanita di sampingnya itu.

"Pemilik rumah ini bukan kami berdua, tapi hanya Farhan. Dia yatim-piatu dan rumah ini sudah sepenuhnya jadi miliknya karena dia anak semata wayang." Hendri menjelaskan.

Cia manggut-manggut pertanda paham. "Ooh, iyadeh. Cia percaya. Hihi." Gadis itu tersenyum  menampakkan deretan giginya yang putih.

"Farhan, Cia boleh tinggal di rumah ini nggak? Cia gak kenal seorang pun di sini kecuali kalian berdua. Please, boleh ya," mohon Cia dengan menyatukan kedua telapak tangannya.

Farhan menghela napas pendek lalu membuangnya. "Boleh. Dengan syarat kau harus tidur di kamarku dan jangan pernah naik ke lantai tiga," pesannya.

"Kenapa dengan lantai tiga?"

"Jangan banyak tanya. Setuju atau tidak?" potong Farhan langsung.

Cia mengangguk-anggukan kepala. "I-iya setuju. Makasih ya, Farhan," ucapnya dengan wajah menggemaskan.

*****

Siang ini, Cia menyusul keberadaan Farhan di kolam renang samping rumah. Gadis polos itu langsung duduk di sebelah Farhan yang duduk di tepian kol-ber. Separuh kakinya dimasukkan ke dalam kolam biru tersebut.

"Farhan, kamu masih sekolah?" tanyanya.

Farhan menoleh ke samping kiri. Menurutnya, Cia termasuk orang yang berani bertanya banyak tentang dia. "Masih."

"Kelas berapa?"

"XII-Bahasa Inggris."

"Ooh. Farhan." Seketika Cia bergelayut manja di lengan pria itu. Tentu saja hal tersebut mengejutkan empunya.

"Kenapa?" tanya Farhan dingin.

"Cia mau sekolah juga. Please, bantu Cia buat masuk di sekolah yang sama dengan Farhan," pintanya disertai puppy eyes.

"Sebelumnya duduk di kelas berapa?" tanya Farhan mulai ramah.

"Di kelas sepuluh. Hehe, Cia masih muda, 'kan ya?" ungkapnya disertai senyum tipis.

"Oke. Aku akan urus semuanya," sahut Farhan singkat.

Bola mata Cia membulat sempurna. Senyum lebar tercipta dari bibirnya. "Seriusan? Makasih ya." Langsung saja gadis itu memeluk Farhan dari samping.

"Sekarang, kau siap-siap. Kita ke mall beli baju sekolah," ajak Farhan, tapi Cia malah cemberut.

"Ada apa?" selidik Farhan. Apakah dia ada salah ucap?

"Jangan panggil "kau" dan "aku", Cia gak suka. Pokoknya, Farhan panggil Cia dengan sebutan "Cia" aja. Okeh." Gadis itu menyatukan telunjuk dan jempolnya, sedangkan tiga jari lainnya dibiarkan tegak.

"Oke, Cia." Farhan menurut.

*****

Hari sudah menunjukkan jam 6 pagi, sedangkan Cia sudah terbangun sejak satu jam lalu. Gadis itu kelihatan bersemangat sekali. Selesai mandi ia bersolek sedikit dengan beberapa alat make up yang dibeli semalam sore bersama Farhan.

"Farhaaannn ...," teriak Cia merentangkan kedua tangannya, sedangkan yang dipanggil menoleh ke belakang.

Ketahui saja, Farhan sempat terpana dengan sosok gadis berkepang satu serta poni tipis menutup kening itu, namun secepat mungkin ditepisnya rasa kagum tersebut, Farhan takut Cia kege-eran.

"Sudah siap?" tanya Farhan ketus.

Cia menggangguk-angguk. "Udah. Ayo pergi sekarang, nanti kita telat," rengeknya manja seperti bocah TK.

"Apa katamu? Takut telat? Kita ini memang sudah telat, Cia! Sekolahku masuk jam 6:30 pagi, sedangkan sekarang sudah jam tujuh pas. Ini semua karena dirimu gadis tidak tau diri!" maki Farhan membuat raut wajah Cia berubah cepat. Pria itu terlihat sangat kesal.

Cia menunduk dengan rasa bersalah. "Maafin Cia, Farhan. Cia gak tau kalau peraturan sekolah barunya kayak gini. Besok Cia janji akan siap-siap lebih cepat lagi," pintanya penuh ketulusan, berharap cowok tampan itu mau memberi kesempatan.

"Okay. Sekarang ayo pergi," jawab Farhan diakhiri ajakan pergi bersama. Dia memaafkan kesalahan Cia karena ini kesalahan pertama gadis itu.