webnovel

The Final Question

"Benda... benda apa itu...?" Songjin menatap Ash dengan kedua mata penuh dengan teror dan rasa kagum di saat yang bersamaan.

Tanpa kusangka, Ash mampu menjawab, bahkan dalam Bahasa Korea! "Secara teknis, aku adalah robot medis yang sudah dimodifikasi oleh Nona Foxie. Sekarang aku tidak hanya bisa melakukan prosedur medis, tetapi aku juga bisa—"

"Itu cukup!" potongku cepat-cepat. "Maaf, Ash, tetapi aku ingin kau kembali ke mode nonaktif."

"Dimengerti, Nona Erisha. Senang dapat berbincang denganmu."

Kemudian, Ash perlahan-lahan memijak tanah. Tubuhnya berbentuk kapsul itu tidak lagi melayang di atas tanah, yang menandakan bahwa ia sudah benar-benar nonaktif. Pendarnya yang kebiruan pun perlahan memudar. Jika kulihat sekarang, Ash jadi terlihat seperti kapsul obat raksasa yang bisa berdiri tegak meskipun bagian bawah tubuhnya itu tumpul.

"Jadi... benda itu... adalah robot...?" tanya Songjin kembali setelah terdiam selama beberapa saat.

Aku menghela napas. "Itu benar," jawabku singkat.

"Apa benda seperti itu ada?" Songjin bertanya-tanya. "Maksudku, aku hanya pernah melihat robot seperti itu di film-film fiksi ilmiah."

"Tentu, tentu robot seperti itu ada," kataku, berusaha terdengar meyakinkan. "Di Amerika, kami sedang mengembangkan robot medis seperti ini. Mungkin Korea masih belum melakukan hal yang sama."

"Tetapi, tetap saja, apa yang kalian lakukan pada Jaeha?" Songjin menatapku, penuh selidik. "Operasi bersifat preventif apa yang kalian maksud? Operasi macam apa itu?"

Aku kembali memutar otak. Mengapa lelaki ini tidak bisa berhenti mengajukan pertanyaan yang tidak bisa kujawab?!

"Itu... itu di luar kehendak kami," jawabku. "Aku di sini hanya melaksanakan perintah. Aku tidak punya hak untuk menjelaskan operasi apa yang sudah aku jalankan jika pihak pasien sendiri tidak memberitahumu mengenai prosedur ini."

"Tetapi, aku ini teman dekat Jaeha," sangkal Songjin.

"Maaf, tetapi aku tidak bisa melanggar kode etikku sebagai dokter," jawabku.

Tiba-tiba Foxie bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekat. "Meskipun begitu, kami bisa menjamin bahwa Jaeha akan baik-baik saja," katanya. "Yang perlu kau lakukan adalah menutup mulut. Jangan pernah beritahu siapa pun mengenai hal ini."

Songjin langsung melipat dahi. "Apa-apaan itu?" ujarnya. "Kau berkata bahwa Jaeha telah menjalani operasi, lantas mengapa aku tidak diperbolehkan untuk membahas hal ini dengan orang lain?"

Aku dan Foxie terdiam. Kami saling berpandang-pandangan, tak tahu harus menjawab apa.

"Lagipula, mengapa Jaeha menjalani operasi ini di apartemennya sendiri? Dan mengapa dia melibatkan orang aneh seperti kalian berdua? Aku bahkan mulai berpikir jika ada sesuatu yang salah di sini," ujar Songjin, tepat sasaran.

"Jika kau mau bekerja sama dengan kami dengan cara berpura-pura bahwa semua ini tidak pernah terjadi..., percayalah, dunia akan berhutang budi padamu," ujar Foxie.

Songjin menatap wanita itu skeptikal. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," jawabnya. "Yang jelas, setelah aku keluar dari sini, aku tidak akan membiarkan kalian lolos begitu saja."

Aku mengangkat kedua alisku. "Kau benar-benar berpikir kami akan membiarkanmu keluar dengan mudah?"

"Oh, jadi itu rencana kalian? Kalian akan menyekapku dan tidak akan membiarkanku keluar sampai aku berjanji aku tidak akan membocorkan hal ini ke publik?" Songjin mengangkat satu alis.

"Memang itu apa yang akan kami lakukan," jawabku.

"Silakan saja," lelaki itu menjawab. "Aku tidak peduli dengan apa yang akan kalian lakukan. Yang jelas, jika orang-orang menyadari bahwa aku hilang, mereka tidak akan tinggal diam. Mereka mungkin menuju ke sini. Kalian bisa membawaku keluar dari apartemen ini, tetapi, ingatlah ada kamera keamanan. Apa yang akan terjadi jika kamera itu merekam bahwa aku terakhir kali dilihat dengan dua wanita kulit putih yang lagaknya mencurigakan?"

Hal itu seketika mampu membungkam mulutku dan Foxie.

"Kalian yakin kalian sudah berpikiran sejauh itu untuk menjadikanku sandera?" Songjin tersenyum miring. "Aku bahkan tidak yakin jika kalian bisa menjadikanku tawanan untuk lebih dari 48 jam ke depan."

Sialan! Lelak ini benar-benar sudah memancing amarahku. "Bolehkah aku menghajar lelaki ini sekarang juga?" geramku. Aku maju selangkah dan bersiap melayangkan tinjuku. "Tidak, itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan. Aku akan mematahkan tulang belakangmu sekarang—"

"Erisha." Foxie meraih lenganku. "Tenangkan dirimu. Kekerasan tidak akan menyelesaikan apa pun saat ini. Jadi, tolong kendalikan emosimu."

Dengan enggan, aku pun kembali melangkah mundur. Dapat kurasakan saat ini darah berdenyut-denyut dalam tubuhku. Kini aku sibuk mengatur napasku yang naik-turun sebab aku sedang berusaha keras untuk mengendalikan amarahku yang sudah siap meledak-ledak.

Apa yang Foxie katakan itu benar. Amarah tidak akan membantu kami menyelesaikan apa-apa. Aku harus berpikir dengan kepala dingin.

"Oke... baiklah," ujarku selagi menggelengkan kepala, berusaha untuk tetap berpikir jernih. "Apa yang harus kami lakukan agar kau mau tutup mulut?"

"Bagaimana dengan uang tebusan?" sahut Foxie. "Kami bisa memberikanmu berapa pun yang kau mau. Kau hanya tinggal sebut angka."

Entah mengapa, Songjin langsung tertawa sarkastik mendengar usulan itu. "Kau serius?" balasnya. "Kau pikir aku kekurangan uang? Maaf, tetapi aku ini adalah seorang idol. Aku tidak butuh uang sepeser pun dari kalian."

"Oke, kurasa itu bukan ide bagus," gumam Foxie.

"Lalu apa yang bisa membuatmu tutup mulut?" tanyaku, jengkel.

"Satu-satunya hal yang perlu kau lakukan adalah memberitahuku apa yang sebenarnya sedang terjadi," jawab Songjin.

"Jika kami melakukan itu, apa kau berjanji akan tutup mulut?" tanya Foxie.

"Itu tergantung," balas Songjin dengan mudahnya. "Apakah aku mau untuk tutup mulut atau tidak itu tergantung pada informasi apa yang hendak kalian beritahu padaku."

"Itu artinya sama sekali tidak ada jaminan bahwa kau akan tutup mulut," ujar Foxie.

Songjin mengidikkan bahu. "Itu benar," katanya. "Tetapi, kurasa ini adalah satu-satunya kesempatan yang kalian punya, bukan begitu? Sepakat, atau tidak sama sekali."

Aku dan Foxie saling bertatapan. Bahkan, Foxie yang biasanya terlihat tenang kini pun juga tampak gentar. Namun, mau bagaimanapun, kami harus mencari jalan keluar. Tidak akan kubiarkan lelaki sialan ini mengacaukan misi yang sudah susah payah kami buat.

"Matikan Receiver-mu," perintahku pada Foxie.

Wanita berkacamata itu langsung menyernyit. "Kau mau apa?"

"Lakukan saja," jawabku. Aku mematikan Receiver milikku dan mengajak Foxie untuk menepi ke sudut ruang, tempat di mana Songjin tidak bisa mendengar kami, kuharap begitu. Lantas, kini aku dan Foxie sudah bercakap dalam bahasa ibu kami.

"Jadi, apa yang hendak kau lakukan?" tanyanya.

Ah, rasanya lama tak mendengar Bahasa Inggris. Aku menjawab, "Kita tidak punya pilihan lain."

"Lalu, apa yang menurutmu yang harus kita lakukan?" Foxie menatapku resah.

"Kau tadi bilang, kita harus bernegosiasi, bukan?"

Ia mengangguk. "Itu benar."

"Songjin bilang, dia adalah teman dekat Jaeha, bukan begitu?" tanyaku lagi.

"Ya, dia tadi bilang begitu," balas Foxie.

"Jika begitu, bukankah kita—kita dan Songjin—memiliki tujuan yang sama?" Aku memandang Foxie lurus-lurus.

Wanita yang kutatap hanya sanggup membalasku dengan sorot mata tak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Jika Songjin adalah teman dekat Jaeha, lelaki ini pasti juga tidak ingin melihat Jaeha bunuh diri, bukan?" jawabku, tak sabaran. "Itu artinya, tujuan kita semua sama, yakni melindungi Jaeha."

Foxie mendesah resah. "Apa sebenarnya rencanamu?"

"Aku tahu kau akan menganggapku gila, tetapi aku rasa apa yang Songjin bilang itu benar," kataku. "Kita sama sekali tidak punya pilihan lain."

Mengabaikan tatapan Foxie yang melekat padaku, aku kembali berjalan mendekati tawanan kami. Kuaktifkan kembali Receiver, kemudian aku menjengukkan wajahku ke arahnya.

"Kita buat kesepatakan," ujarku. "Aku akan memberitahumu apa tujuan kami sebenarnya. Kemudian, kau bisa mempertimbangkan apa kau ingin menyimpan rahasia ini atau malah menyebarkannya ke publik. Itu kesepakatan yang kita punya, kan?"

Songjin mengangguk. "Memang begitu yang aku bilang."

"Percayalah, sebenarnya kita memiliki tujuan yang sama," ucapku. "Kau tentu tidak ingin hal buruk terjadi pada Jaeha, bukan?"

Songjin menjawab, "Tentu saja tidak."

Aku pun menghela napas dalam-dalam. Bersiap untuk membeberkan satu fakta yang selama ini selalu berhasil kusimpam rapat-rapat dalam setiap misi yang kujalankan. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan pernah mengatakan ini pada orang yang berasal dari masa lalu.

Kemudian, dengan keyakinan penuh, aku berkata, "Apa yang kau pikirkan jika aku bilang padamu bahwa kami berasal dari masa depan?"

*