webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
16 Chs

Duize Levui Du (Aku Cinta Kamu)

Keesokan paginya Pak Hartono kembali memberikan komando seluruh petugas untuk menyebar ke seluruh wilayah Alas Purwo untuk berjaga-jaga kemungkinan satwa yang terusik. Aku ikut mendampingi petugas ke wilayah timur.

Ibu Jane dan Andin dibantu Lido berkeliling kembali mengumpulkan semua bibit pohon. Hari itu semua bekerja keras untuk menyelamatkan Alas Purwo. Aku baru sadar bahwa inilah perjuangan pak Hartono dan timnya selama ini.

Wilayah timur cukup jauh, kami menempuh perjalanan sekitar dua jam untuk mencapai daerah itu. Medan menuju timur cukup terjal dan sulit di tempuh. Kami harus berjalan kaki melanjutkan patroli kami hingga sampai di ujung pulau. Setelah merasa cukup melakukan pantauan dan dirasa aman, kami memutuskan kembali.

Di tengah perjalanan kami melihat berduyun-duyun rusa dan kijang berlompatan menyeberang jalan. Salah seorang petugas meminta kami berhenti.

Tapi rasa penasaran mengelitikku. Ini pertama kalinya aku merambah wilayah timur dan naluriku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

"Petroski, weis du gerde?" teriakku. (kijang, kenapa kau lari?) Seekor kijang kecil berhenti, dan berjalan mendekatiku.

"Quentiva, diaz mer kolektika et fur foteska" jawabnya dengan kerjapan mata yang indah. Kedua petugas yang bersamaku gemetar ketakutan. (sang pelindung, kami harus berkumpul di tengah hutan)

"Mirei verde Petroski, duize kier bing du," pintaku. (terima kasih kijang, aku mau ikut kamu)

"Vui .." jawabnya riang sambal melompat gembira (ayo/mari). Aku menyentuh tanah dan mengucapkan nama Balu.

Sayup-sayup terdengar derapan Balu yang menggetarkan tanah yang kami pijak.

Balu muncul dari balik semak dan mengangkat kaki depannya dengan gagah.

Aku berpamitan pada kedua rekanku yang masih mematung, tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhku melompat bersama Balu menuju ke tengah alas rimba.

Di tengah rimba sudah berkumpul hewan dari berbagai jenis. Bea duduk di tengah mereka. Merin tua bersama mereka.

Saat aku tiba Bea menatapku dari kejauhan. Ada sesuatu yang berubah darinya. Rambutnya tidak lagi berwarna hitam kemerahan, tapi merah menyala.

Penampilan Bea menambah kewibawaan wajahnya.

Gadis yang menguncang jagat batinku. Meluluhkan hati kerasku. Menumbuhkan cinta yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Kemudian, dia goreskan sembilu di hatiku dengan kejujuran yang menyakitkan.

Bea, apa yang kau mau dariku?

Betulkah gadis itu memiliki perasaan sebagai wanita?

Aku melangkah pelan mendekati Merin dan Bea.

"Quentiva ...," sapa Merin. Suaranya laksana alunan musik bergaung. Seluruh satwa bersuara sahut menyahut menyambutku.

Bea menyibakkan rambut, dan aku baru menyadari, baju yang dikenakan gadis itu sama seperti baju dari kulit yang dikenakan pertama kali bertemu. Debaran kembali kurasakan. Bea bagaikan dewi kahyangan ditengah taman surga.

Setelah jarak kami hanya tinggal empat langkah. Bunga-bunga kecil bermunculan di sekeliling kami. Merin terkekeh bahagia.

"Hmm ... Cinta bersemi, tapi ada keraguan. Mendekatlah Quentiva. Luahkan hati pahitmu," seru Merin. Bea menyentuh bunga, melirik dan menungguku berucap.

"Kenapa kamu memilihku, Sien Lingurn?" kataku lantang masih berdiri.

Bea mengendong tupai dan mengelitiknya,

"Saat kau lahir, sebuah bintang membelah diri. Belahan pertama jatuh ke bumi di hari kau mengambil napas pertamamu.

Belahan yang kedua jatuh di saat mama melahirkanku. Bintang itu adalah rasi bintang timur. Asal muasal kedua pasangan yang ditakdirkan untuk bertemu dan berdampingan atau mungkin ... saling menghancurkan." Bea mengucapkan dengan pelan dan jernih.

Aku belum puas.

"Kenapa kau beritahu ayahku?"

Bea kali ini menatapku dengan pandangan tajam.

"Jika ayahmu berhasil mengubahmu menjadi pemusnah Alas Purwo, tidak akan ada lagi pulau Jawa. Jangan keraskan hatimu seperti manusia yang menuntut keadilan tanpa tahu mana yang benar!" Ucapan Bea tajam dan menusuk.

"Kau pikir pemerintah negeri ini bijak? Aku dan seluruh yang ada di sini harus berjuang sendiri selama bertahun-tahun. Demi siapa?!!! Apa yang kami terima? Berhentilah menangisi diri sendiri dan orang egois yang tidak layak kau bela, tempatkan dirimu sebagai Quentiva yang agung!" Suara Bea bergema lantang.

Aku bagaikan tertampar. Bea menghujamkan kata-kata tanpa ampun.

"Quentiva, hilangkan kecewamu. Apa yang harus terjadi tidak bisa dihindari," Merin melambaikan tangan rantingnya kepadaku. Aku tidak ada pilihan. Kujatuhkan diriku di sampingnya.

"Sebelum Bea memilihmu, takdirmu adalah sebagai penghancur. Sien langurna yang menentukan pilihan terbaiknya. Jika dia tidak memilihmu, maka tidak akan ada Quentiva. Kalian berdua akan berhadapan sebagai seteru.

Bintang yang terbelah menjadi Sien Lingurna (sang penjaga) dan Sien Destrodus (sang penghancur)," Merin menggerakkan tubuh kayunya.

"Sudah hampir tiba saatnya. Pertarungan akan terjadi. Bersiaplah. Quentiva tidak seharusnya engkau hancur, jika kau gunakan hatimu." Merin menyentuh dadaku dengan rantingnya.

"Ingatlah itu ...." bisiknya.

Aku tidak mengerti pesan terakhir Merin!

Kami berdua masih terdiam. Bea duduk di sampingku bermain dengan kelinci dan tupai. Aku tidak yakin akan perasaanku, tapi hatiku menjadi tenang.

"Bea," panggilku. Dia terdiam. Tidak menjawab tapi tangannya berhenti bermain dengan hewan kecilnya. Bahasa tubuhnya menunggu ucapanku berikutnya.

"Kupikir aku dewasa, tapi ternyata usiaku masih jauh dari matang. Mungkin sulit ...," Bea membalikkan badannya dan menutup mulutku dengan ciuman yang lembut dan penuh perasaan.

"Duize levui du," bisiknya penuh mesra (aku cinta kamu). Tatapan matanya teduh dan penuh cinta. Aku terpana dan gugup.

"Harusnya aku yang bilang itu," kataku salah tingkah. Bea tertawa kecil dan mengecup hidungku. Aku tersipu.

Kami berpelukan. Aku tertawa sekaligus menangis. Hidupku jungkir balik penuh drama. Menerima atau pun tidak, biarlah luka itu terbalut sendiri.

♧♧♧

Bersambung