webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
16 Chs

Denial

My Bestfriend

Aku menguap berkali-kali. Tidak sedetik pun aku tidur. Setelah menyelamatkan wisatawan yang tersesat dan diculik oleh peri pohon bambu, kami kembali hampir subuh. Sekarang aku harus menunggu pak Hartono untuk menjelaskan.

Ini betul-betul di luar nalar. Kemampuanku berbahasa entah apa namanya, mendadak muncul. Seingatku tidak ada dalam keluargaku yang memiliki kemampuan khusus.

Ibuku yang notabene Dokter Spesialis Anak, tidak pernah percaya yang namanya supranatural. Baginya semua hanya berdasarkan logika. Aku dididik untuk berfikir berdasarkan nalar dan hal yang masuk akal.

Tetapi semua yang kualami hari ini dan beberapa hari terakhir, bertolak belakang dengan yang kuketahui.

Ini edan!

Bea menekuk kedua kakinya dan duduk di ujung teras. Banyak sekali yang ingin kutanyakan, tapi melihat sikapnya yang acuh, akhirnya urung.

Ibu Jane muncul dari balik pintu dengan dua gelas teh hangat dan biskuit.

"Minum dulu, siapkan tenaga kalian untuk menjawab Pak Hartono," ujar Ibu Jane. Bea menunduk.

Aku ingin membela, tapi Bea sudah menceritakan semua terlebih dulu pada kedua orang tuanya. Sebuah mobil jeep memasuki halaman. Pak Hartono pulang dengan Mas Pur, Lido dan Mas Rudi. Wajah mereka terlihat lelah dan aku merasa bersalah.

Pak Hartono duduk di tangga teras. Lido menyusulku ke atas, sedangkan kedua senior kami duduk di tangga bawah.

"Bian," panggil Pak Hartono,

"Ya, Pak," sahutku pelan.

"Bea sudah memberitahu tentang Quentiva. Apa reaksimu?"

"Saya tidak tahu, Pak. Bingung."

"Kamu tau arti Quentiva?" Kali ini beliau memutar badan menghadapku.

Dengan ragu aku mengangguk.

"Kenapa kamu bisa jadi Quentiva tahu?" inilah serangan pertanyaan yang bertubi-tubi harus kami siapkan.

"Tidak sama sekali."

Pak Hartono memberi tanda ke Mas Rudi untuk lanjut sambil menyulut rokok.

"Aku lanjutin ya. Bian, cerita tentang Alas Purwo yang kental dengan hal-hal keangkeran sudah kamu dengar.

Tapi fakta seorang penjaga yang tidak pernah kamu dengar, kini sudah kamu ketahui.

Nah, penjaga ini dipilih setiap seratus tahun. Tugasnya murni untuk menjaga apa yang berada di dalam supaya tidak diganggu dari luar dan sebaliknya. Sang penjaga akan memilih satu pendamping untuk menemaninya selama bertugas.

Pilihan pendamping siapa, hanya sang penjaga yang tau. Dan kamu terpilih.

Sanggupkah kamu memikul tanggung jawab ini?" Mas Rudi memandangku dengan tajam.

Aku mencoba mencerna paparan penjelasan panjang lebar. Tapi logika ini terus bertempur dengan naluriku.

"Kenapa saya? Itu yang gak saya ngerti. Saya ini cuman seorang fresh graduate yang masih nol pengalaman. Ini di luar nalar," jawabku tidak yakin.

"Bukan hanya aku yang memilihmu, tapi Balu sang penguasa utara pun ikut andil," Bea membuka suara

"Hanya manusia yang pantas baginya, yang diijinkan untuk menunggangi dia," Bea bangun dari duduknya dan melompat pagar teras meluncur kebawah dengan ringan. Oh God! Jaraknya sekitar dua meter!

"Akan kutunjukkan kenapa," tangan Bea terulur kepadaku yang masih berdiri di teras panggung.

Mata gadis itu menatapku ke atas dan menunggu dengan tangan terulur. Entah apa yang merasuki pikiranku, mendadak aku mundur dan mengelengkan kepala.

"So-sorry semuanya, saya belum bisa. Masih sulit untuk menerima semuanya. Ini kayak ... kayak dongeng. Khayalan. Sulit dipercaya. A-aku belum bisa." Aku menjatuhkan diri ke kursi.

Bea menatapku dengan mata terluka. Hujan turun rintik-rintik. Pak Hartono menghembuskan napas panjang. Kedua seniorku memalingkan muka mencoba tidak saling berbenturan pandangan.

Lido meremas pundakku dengan keras.

Bea berlari menjauh di antara rintik hujan ke arah Argon dan Balu yang sudah menunggunya.

Aaargh ... libur hari ini dan aku ingin merebahkan tubuhku seharian.

Telepon dari Ibu sedikit menghiburku. Setidaknya mampu mengembalikan pijakan kakiku ke tanah. Baru seminggu kami bertugas, dari seorang mahasiswa yang baru lulus dan tidak berpengalaman, tiba-tiba berubah menjadi seorang pendamping 'Sang Penjaga'.

Beuh ... anugerah atau petaka?

Ibu Jane memanggil kami dari luar, Lido langsung dengan sigap keluar. Pasti radar perutnya berada di titik terendah, alias lapar.

Aku bersyukur, sikap Pak Hartono dan Ibu Jane tidak berubah. Kedua seniorku pun masih bersikap biasa. Hanya Bea yang sedikit menghindar.

Tidak ada lagi ketukan malam hari, atau kejutan untuk mengikuti dia berpetualang.

Yah, apa mau dikata, aku belum siap.

"Bi, Andin dateng!" seru Lido dengan mata berbinar-binar. Aku mengernyitkan dahiku. Andin?

"Hooooi raja kutub dan beruangnya, turun! Sambut dong!" suara Andin melengking dari bawah. Aku tertawa pelan. Sial, ngapain itu cewek jadi-jadian kesini? Kami berlari turun dan memeluk Andin dengan erat.

"Nyampe juga gue kemari. Busyet jahat ya, Loe berdua. Tau tempat seindah gini pergi berdua doang. Ajak-ajak kek," mulutnya terus menyerocos tiada henti.

"Loe, kemari ngapain?" selidik Lido.

"Asisten Ahli Biologi Jane Trevor Rusli. Gue kerja mulai besok cuy," pamer Andin bangga.

"Mo bikin nuklir disini, Loe," sindir Lido.

"Kok tau? Buat ngebom loe berdua pake aroma sigung," Andin meleletkan lidahnya.

(sigung : hewan seperti musang yang mengeluarkan gas yang sangat bau jika terancam)

Kami melepas rindu hingga makan siang. Andin menempati kamar di rumah utama. Bea terlihat sedikit terhibur dengan kehadiran Andin.

Aku menyelinap diam-diam dan masuk ke kamar. Seperti janjiku, hari ini aku ingin total beristirahat.

"Biaaaan!" teriakan melengking Andin mengusik tidur lelapku. Lido tidak ada lagi di kasur. Kemana dia?

"Astaga udah maghrib masih aja molor!" pekik Andin dengan keki.

Aku menarik selimut dengan enggan. Entah kenapa sore itu sangat dingin.

"Bangun, temenin gue nyari barang, yuk," pinta Andin setengah merayu.

"Iiih, nggak di rumah, nggak dirantau, nyusahin mulu!" omelku merasa terganggu. Enak sekali ini makhluk ajaib nyuruh-nyuruh.

"Kalo kamu nggak anter, itu makan malem bakal gagal!" ancam Andin kesal. Dengan setengah hati aku melirik jam di ponsel. Hampir pukul empat sore.

Aku bangkit dan meluncur ke kamar mandi. Air segar mengguyur badanku sementara aku mengeluarkan sumpah serapah dalam hati.

"Besok gue mau libur seharian, kalo Loe masih ganggu, gue bilangin Lido kalo Elo jatuh cinta sampe mati ama dia," ancamku begitu keluar dari kamar mandi. Andin melemparku dengan pulpen.

"Basi! Buruan ayo ganti baju!" teriaknya tanpa iba.

"Keluar dong, masak gue ganti baju di depan loe sih," pekikku tidak kalah keki. Andin baru tersadar dan langsung berdiri dengan cepat menuju pintu.

"Lima menit!" ingatnya lagi sambil menutup pintu.

Aku ingin sekali lepas ikatan dari cewek jadi-jadian itu. Tapi apa daya. Hidup kami selalu terhubung. Andin sebenarnya tergolong cantik. Hanya saja dia terlalu perkasa dan macho untuk ukuran wanita. Bea yang terlihat kuat saja masih memiliki sisi feminin. Tapi Andin? Jangan ditanya.

Rambutnya dia potong gaya pixie dan tubuhnya tegap berotot. Andin jago basket dan pemegang sabuk hitam taekwondo tingkat propinsi. Juara renang dan, sialnya, selalu mengalahkan diriku dalam pertandingan catur. Suara Andin juga merdu dengan corak serak-serak basah ala rocker wanita. Jago menabuh drum dan gitaris yang handal. Paket lengkap, untuk seorang cowok! Sayangnya Andin adalah kaum hawa!

Aku segera melangkah keluar dan memenuhi permintaan nenek lampir yang sudah menunjukkan raut kesal. Sekilas mataku menangkap Bea yang memacu Argon. Hatiku berdesir.

Kenapa sulit bagiku mengatakan iya?

♧♧♧

Bersambung....

Dilema. Biantara mengingkari takdirnya...

Serukah? Semoga berkenan