Beberapa bulan sebelum Alfa diserang.
Amy dan Alfa berjalan santai di trotoar. Alfa sibuk bermain lolipop di mulutnya sembari bersiul-siul tak jelas. Mereka biasanya menghabiskan sore hari untuk berjala-jalan di taman dekat apartemen. Banyak orang di sana juga melakukan hal yang sama. Jalan-jalan bersama hewan peliharaan, duduk-duduk santai dan sebagainya. Malam hari juga kadang-kadang ramai terutama di hari minggu.
Itu bagus untuk indra ke enam Amy. Ia menerawang aura-aura unik di sekitar mereka.
Keduanya berjalan dan tiba-tiba berpapasan dengan om-om yang bermain ponsel di tangan kirinya. Om itu duduk di bangku taman dekat pohon besar dan banyak tanaman bunga yang cantik. Ia melihat ponselnya dengan serius lalu air matanya tiba-tiba jatuh, padahal wajahnya sedari tadi datar. Ternyata ia melihat foto putrinya yang masih berusia 5 tahun di galeri ponselnya.
Amy menoleh dan tersenyum. Ketika jaraknya sudah agak jauh, dia berhenti melangkah dan memperhatikan om itu. Alfa yang tadinya asyik sendiri mengikutinya.
"Ada apa? Apa om itu diikuti hantu di bahunya? Di kakinya? Atau di…"
Amy membekap mulutnya dengan cepat. Alfa marah-marah.
"Sialan kau! Cepat katakan! Jangan cuma senyum-senyum saja. Apa dia client kita selanjutnya?"
"Sepertinya dia sudah lelah hidup."
"Apa?"
"Dia kidal dan penyakitan."
"Apa?!"
"Ada jin yang menempel di kepalanya."
"Apa!!"
"Ngomong yang benar, sialan!"
"Jadi…apa kita perlu menolongnya?"
"Entahlah. Menurutmu bagaimana?"
"Ah kau ini? Maksudku apa dia mau bunuh diri atau kenapa?"
"Sepertinya."
"Apa?!! Kita harus segera menolongnya."
Alfa berjalan mendahului Amy dengan bersemangat, ia membuang lolipopnya ke tempat sampah dengan membara. Namun tangannya dicekal.
"Kau gila?"
"Apanya? Kita harus segera menolongnya!"
"Tenanglah. Kau ini amatir sekali sih! Sudah berapa lama kau bersamaku sebenarnya?"
"Lalu bagaimana?"
"Kita bukan Tuhan. Kalau dia mati berarti sudah waktunya meninggalkan dunia ini. Tapi kalau jin itu mempengaruhi kewarasannya, kita perlu bertindak."
"Jadi?"
"Kita tunggu saja."
"Sampai kapan? Sampai kondisinya memburuk?"
"Sialan kau! Bisa diam atau tidak! Aku juga sedang berpikir. Kita tidak pernah menangani ini sebelumnya. Mungkin saja itu jin kuat."
"Tapi kelihatannya kau juga kuat."
"Hemmmm," Amy melipat tangannya di dada, salah satu tangannya menyangga dagu. "Baiklah. Aku punya rencana."
Amy menarik lengan Alfa. Ia mengajaknya berlari mendekati om itu.
"Woi woi. Apa rencanamu?" tubuh Alfa tertarik, mereka lalu berlari kecil.
"Aku akan jatuh di depannya. Kau harus pura-pura menolongku."
"Apa kau yakin rencanamu ini ampuh?"
"Sudahlah ikuti saja skenario luar biasaku ini."
Brak!
"Aww!"
Amy terjatuh atau lebih tepatnya menjatuhkan diri sendiri di depan bangku yang diduduki om itu. Alfa seketika memainkan perannya.
"A…Amy! Kau baik-baik saja?!" paniknya sembari menolongnya. Tapi Amy tak bergerak sama sekali ketika Alfa membantunya. Ia memang menunggu om itu datang dan memakan umpannya.
Dan benar saja, om itu seketika menaruh ponsel di saku kemejanya lalu bergegas menghampiri Amy dan Alfa.
"Astaga, kau tidak apa-apa, Nak?" khawatirnya sembari memegang tangan Amy dan membantunya berdiri.
"T…terima kasih, Om." Alfa kikuk.
Amy menyenggol lengan Alfa pelan. Ia melirik tajam karena ia terdengar gugup dan tidak bisa menjaga ekspresinya.
"Sialan kau! Akting yang benar!"
"Aku sedang berusaha!"
Percakapan mereka dalam hati seolah terdengar keluar.
"Sini duduk dulu, Nak." Om itu membantu Amy duduk di bangku. Alfa juga duduk di sampingnya.
"Mana yang sakit?" tanyanya ramah.
"Kakiku, Om," kata Amy sembari meringis seolah kesakitan.
"Tidak terluka, kan? Sepertinya ini terkilir sedikit, tidak terlalu parah." Om itu melihat pergelangan kaki Amy dan memeriksanya.
"Jadi harus bagaimana? Apa dibawa ke rumah sakit?" usul Alfa.
"Biasanya dikompres saja sudah cukup. Tapi kalau kalian khawatir, bawa saja ke klinik."
"Begitu ya, Om. Terima kasih ya." Alfa tersenyum. Kali ini aktingnya kelihatan lebih natural.
"Kalian kelihatannya masih muda. Apa kalian mahasiswa?" tanya Om itu. Ia mulai tertarik ketika melihat Alfa dan Amy yang tampan dan cantik.
"Tidak, Om. Kami tidak kuliah. Kami bekerja." Amy tiba-tiba menunduk sedih. "Kami tidak mampu kuliah Om sebenarnya."
Alfa memahami bahasa tubuhnya lalu mengikuti skenarionya.
"Kami adalah saudara, Om. Kami bekerja part time di beberapa restoran dan kafe. Meskipun kami berdua bekerja di banyak tempat, gaji kami benar-benar pas-pasan, tapi tidak apa-apa, hehe." Alfa mengengah.
Om itu menghela napas panjang, lalu menatap kosong mega langit sore. Alfa dan Amy saling melirik dan memberi isyarat selanjutnya.
"Tapi hari libur benar-benar menyenangkan, iya kan, Fa. Setidaknya kita masih bisa bernapas seperti orang lain," kata Amy.
"Iya. Lain kali saja kita beli barang-barang yang kita inginkan. Setidaknya kita masih bisa makan," sahut Alfa.
"Malang sekali kalian, Nak. Usia kalian masih muda tapi harus banting tulang," bahu om itu turun. Ia masih mendongak menatap langit.
Amy melihat ada gumpalan hitam di kepalanya. Awalnya kecil seperti manisan kapas anak-anak, namun kini membesar hingga menutupi wajah dan bahu. Lalu kadang-kadang menggosok-gosok wajah om itu. Tidak berbentuk, tak memiliki wajah ataupun tangan, namun gumpalan hitam jahat itu seolah tersenyum puas. Ia menyerap banyak energi om itu.
"Sialan, setan laknat itu!" batin Amy. Ia memberi Alfa isyarat untuk meneruskan akting mereka.
"Apa pekerjaan Om?" tanya Alfa.
"Aku?" om itu berhenti menatap langit dan menoleh ke arah Alfa dan Amy. "Aku cuma pegawai biasa."
Pria malang itu tersenyum namun terlihat pilu. Alisnya tertekuk dan bibirnya dipaksa untuk tersenyum meski kesusahan.
"Tapi sekarang tidak lagi. Aku dipecat bulan lalu. Sudah sebulan ini aku tinggal di apartemen kecil. Uangku menipis, tidak ada pemasukan, aku sering mengeluh dan aku takut jika isteriku menelepon dengan tersenyum lebar. Terutama anakku yang akan masuk sekolah dasar tahun ini. Ia sering meneleponku dengan gembira."
Amy dan Alfa ikut prihatin. Tapi tidak sampai situ masalahnya.
"Kami sangat mengerti Om, karena kita sama-sama pekerja. Jika salah satu kami dipecat, kita juga akan sedih seperti Om," kata Alfa.
"Apa Om tidak berencana mencari pekerjaan baru?" tanya Amy.
"Tidak bisa."
"Kenapa?" Alfa kaget.
"Bos ku telah menandaiku sebagai pegawai tak tahu malu di perusahaan." om itu semakin menunduk dan sedih.
"Apa maksudnya?" Amy mulai curiga.
Ia melihat gumpalan awan jahat di atas kepalanya sekarang mulai membesar dan meninggi. Kini warnanya semakin gelap. Dan tiba-tiba terdengar suara serak aneh khas yang terdengar dari gumpalan itu.
"Jangan ambil mangsaku, fyber sialan!"
"Hah!" Amy tak sadar bangkit dari duduknya. Ia menatap tajam ke arah kepala om itu.
Om itu terkejut karena kaki Amy sehat-sehat saja.
"Sepertinya kau sudah membaik, Nak," ujar Om itu.
Alfa ikut terkejut, ia lalu menarik Amy kembali untuk duduk.
"Wah iya. Sepertinya kakimu sudah sembuh, ha ha." Alfa tertawa garing.
Om itu sadar Amy terus menatap ke arah rambut kepalanya. Ia menjadi salah tingkah.
"Apa ada sesuatu di rambutku?"
"Tidak kok, Om," sahut Alfa cepat. "Woy berhenti menatap om-nya seperti itu. Kau menakutkan tau!" bisiknya pada Amy.
Amy sadar kembali dari lamunannya. Setelah dilihat kembali, gumpalan awan hitam yang berbicara tadi kini telah menghilang sepenuhnya.
"Oh maafkan aku, Om," kata Amy. "Sepertinya kakiku sudah tidak apa-apa, hehe." Amy mengengeh.
"Syukurlah." om tersenyum.
"Kalau begitu kami pamit dulu, ya, Om." Amy menggandeng Alfa lalu berdiri dengan tergesa. "Sepertinya kita harus menjaga kafe malam ini."
"Begitu, ya. Baiklah. Hati-hati di jalan dan selamat bekerja. Jangan sampai kelelahan dan sakit."
"Terima kasih. Kami harap Om juga segera mendapatkan pekerjaan."
Amy dan Alfa kemudian mengangguk sopan lalu berjalan menjauh. Mereka melambaikan tangan. Om itu membalasnya sembari tersenyum. Setelah jarak mereka jauh, Alfa mulai bertanya karena penasaran dengan reaksi Amy tadi yang aneh.
"Kau pasti melihat sesuatu, kan? Apa itu?"
"Sepertinya masalahnya bukan om itu."
"Lalu?"
"Masalahnya adalah… bos dan perusahaan tempat ia bekerja."