"Aku yang harusnya tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Dokter lain bilang kau tiba tiba membuka mata seolah bangun dari mati suri. Tak merasakan sakit padahal tubuhmu bonyok semua, denyut nadi normal, kadar hemoglobin normal, pokoknya semuanya normal, padahal sebelumnya kau kejang kejang. Kalau kau ingat sesuatu yang terjadi pada tubuhmu, kau bisa menceritakannya padaku. Mungkin ada sesuatu yang mempengaruhimu secara signifikan, jadi kita selanjutnya bisa memanfaatkannya untuk pengobatan pasien lain."
"Itu…sebenarnya…"
Yohan menatapnya, menunggu jawaban.
"Sebenarnya…"
"Sebenarnya apa?"
"Sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu."
"Apa?!"
"Sungguh, Kak. Saat itu aku seperti sedang bermimpi. Badanku bukannya tidak merasakan sakit. Hanya saja aku mendengar Amy menangis dari kejauhan. Dia… memanggil manggil namaku."
"Apa ini? Kenapa malah jadi seperti di film film?" batin Yohan, ia bisa melihat mata Alfa yang kebingungan sendiri dan tidak percaya. Meski begitu ia tidak menanyakannya.
"Kau pasti tidak percaya dengan kata kataku kan?"
"Hanya itu? Kau tidak ingat yang lain?"
Alfa mengangguk.
"Aneh sekali. Aku bahkan mendengar rumor tidak masuk akal di kalangan suster."
"Rumor?"
"Oh itu…" Yohan sadar ia keceplosan. "Tidak ada apa apa."
Alfa menyipitkan mata sembari menatapnya tajam.
"Benar, tidak ada apa apa."
"Rumor apa? Ayo katakan."
Yohan menutup mulutnya. Namun akhirnya ia menghela napas dan bicara karena sudah ketahuan.
"Aku mendengar katanya kau ditumbalkan?"
"APA!"
"Aku tahu itu memang tidak masuk akal, tapi itu yang menyebar di kalangan suster bahkan para dokter."
"Tapi sekarang kan aku sudah sadar, pasti rumor itu akan menghilang sendirinya."
"Justru itu."
"Apa maksudnya?"
"Justru karena kau tiba tiba sadar dengan cara yang tidak wajar, mereka malah makin mencurigai bahwa gosip itu benar."
"Begitu ya."
Alfa diam sembari mencerna informasi itu. Sebenarnya gosip itu bisa disebut fakta juga karena toh dia memang dimantrai oleh sekte segitiga merah. Kemungkinan jika dirinya tidak selamat, dia pasti akan ditumbalkan. Ia kini kembali berpikir bahwa mungkin ada alasan mengapa atasannya melepas segel mantra dalam dirinya. Ia tiba tiba terbesit memikirkannya.
"Kenapa aku tidak memikirkan ini sejak dulu ya? Aku harap si Rataka itu menemuiku segera. Mungkin dia tahu sesuatu. Tapi aku sangat penasaran, sebenarnya siapa yang membuat mereka melepas segel budakku?" batin Alfa.
***
"Tentu saja aku!"
"Apa maksudmu?" tanya Rowlett sembari curiga menatap makanan di hadapannya.
"Kau tadi tanya siapa yang beli makanan itu kan? Tentu saja aku, memang siapa lagi sialan?"
"Kau berencana membunuhku dengan menaruh racun di makanan ini kan?" Rowlett meliriknya sarkas.
"Apa?" Rataka tertawa terbahak. "Woy, kalau aku sudah berniat membunuhmu ngapain aku memberimu kamar yang nyaman dengan ranjang dan selimut hangat yang tiduri itu?" Taka menunjuk kamar Rowlett dengan dagunya.
"Anak kecil," Taka mendekat. "Justru kalau kau tidak makan makanan yang kuberikan, kau akan mati. Kau rela mati sia sia seperti ini?"
"Sia-sia?"
"Kenapa? Kau masih percaya kalau kakakmu akan datang menjemputmu? Di luar sana ada pelindung milikku yang berkali kali lebih sakti dari para kakak sialanmu itu, kau mengerti?"
"Apa untungnya kau menahanku?"
"Tentu saja ada alasannya. Untuk apa aku menahan bayi sepertimu di rumahku. Aishhh sialan, aku bahkan belum pernah merasakan apa itu menikah," Taka murung.
"Kenapa kau memanggilku bayi dari tadi?!" Rowlett marah.
"Bukankah kau memang bayi? Kau 17 tahun kan? Harusnya kau sekolah dengan normal, bukannya dibesarkan di tempat yang salah seperti itu."
Taka membuang muka. Ia menyesal setiap membayangkan bahwa Rowlett mungkin saja bisa menjadi anak normal jika tidak dibesarkan Valen menjadi monster.
"Banyak anggota di sana (sekte) yang tidak mudah menua. Apa kau salah satunya yang seperti itu?"
"Tidak hanya awet muda, aku juga abadi."
"APA?! Kau bercanda?"
"Cepat makan makananmu sialan." Rataka menabok kepala belakang Rowlett dengan pelan. "Sudah untung kukasih makan kau. Kalau kau pulang ke rumahmu, mungkin kau akan berakhir di kurung Ramon dan tidak diberi makan. Aku jadi kepikiran kalau dia akan membuat seorang anak remaja terjangkit stunting."
"Apa itu masuk akal? Dasar," sahut Rowlett dengan pelan, namun masih terdengar Rataka.
"Habiskan makananmu dan kembali ke kamar. Ingat, kau hanya cari mati jika berusaha kabur dari sini." Taka mengacungkan telunjuknya ke wajah Rowlett.
Taka melangkah menuju ruangannya dan meninggalkan Rowlett di meja makan. Ia yakin anak itu akan memakannya. Jadi sengaja, Taka membeli banyak porsi, anak itu memang dalam masa pertumbuhan.
"Aku tidak boleh menyinggung tentang nama Roni padanya, sepertinya anak itu lupa ingatan tentang masa kecilnya," batin Rataka.
***
"Bagaimana? Sudah mendingan? Apa harus ke rumah sakit lagi minggu depan?" tanya Amy pada Alfa di koridor apartemen. Mereka hampir sampai kamar masing masing.
"Kalau sudah mendingan, aku boleh mengoleskan salep sendiri di rumah. Aku juga mendapat beberapa obat. Rekomendasi untuk olahraga, gym dan juga makan makanan sehat bergizi."
Amy manggut manggut.
"Baiklah. Kalau begitu mulai sekarang besok kita nge-gym saja," katanya santai tanpa beban.
"Apa?!"
"Kenapa kaget begitu?"
"Tidak boleh!"
"Kenapa tiba tiba begitu?"
"Pokoknya tidak boleh! Lebih baik kita olahraga di taman seperti biasa saja."
"Itu tidak terlalu banyak membantu. Kau akan pulih lama kalau hanya jogging. Pokoknya kita harus nge-gym. Aku akan minta rekomendasi Dio nanti."
Alfa menganga mendengar keputusan Amy secara sepihak. Padahal dia yang membutuhkan olahraga. Namun Amy ngeyel ikut juga. Ia pun membayangkan Amy akan tergoda dengan pria pria tampan yang lebih berotot darinya. Memikirkannya saja Alfa sudah bergidik ngeri.
"Kalau begitu aku saja yang nge gym, kau jangan ikut."
"Ha? Itu kan tidak adil? Kau ini mau curang ya?!"
"Bukan begitu, aishhh kau mana paham." Alfa menggaruk rambut frustasi.
"Aku akan tetap ikut, meskipun kau melarangku. Wlek!" Amy menjulurkan lidahnya lalu berlari.
"Anak itu benar benar berbahaya, " batinnya. "Tunggu aku! Jangan lari kau!"
Alfa berlari mengejar Amy.
Sesampainya di kamar, tiba tiba Taka sudah ada di kamar Alfa. Ia terkejut.
"Bagaimana kau bisa masuk ke kamarku? Padahal sandinya…" sesaat ia ingat. "Apa kau juga tahu tanggal ulang tahunnya Amy?"
"Aku tidak memerlukan itu."
"Ah sudahlah, aku tidak peduli bagaimana kau bisa masuk. Hanya saja ini mungkin sangat berbahaya bagi kau. Polisi belum selesai menyelidikinya, dan kau sempat tertangkap kamera cctv sedang menggendongku. Jadi apa yang akan terjadi kalau mereka menemukan jejak kau membobol kamarku? Kau pasti akan masuk penjara kak."
"Baguslah. Sepertinya penjara tidak terlalu buruk, setidaknya aku bisa mendapatkan cuti sejenak. Kau tahu pekerjaanku ini lebih berbahaya dari pada tertangkap kamera cctv tahu?"
"Aku bertanya tanya kapan kau akan menemuiku lagi. Ada banyak yang ingin kutanyakan. Apa kau tidak punya ponsel kak?"
"Kau pikir aku akan datang hanya karena kau memanggilku? Dasar ingusan." Taka menabok bahunya yang masih sakit hingga meringis. "Ingat, kita bukan sekutu. Kau ini informanku, paham?"
"Kakak?" panggil Alfa serius.
"Apa?" Taka dingin dan judes menanggapinya.
"Mungkinkah kau yang…"