webnovel

The Drak Side

Ini bukan kisah hayalan semata. Namun--kisah nyata yang tak pernah aku duga sebelumnya. Di saat aku terlalu acuh pada sekitarku, aku tak pernah berpikir jika ada orang yang memiliki sisi buruk. Sampai, pesan itu terbaca oleh mataku.

Annelysme · Teenager
Zu wenig Bewertungen
2 Chs

Meyra Amanda Deylia

Meyra, tidak banyak orang mengenal nama itu. Yah, dia hanya gadis biasa yang dianggap ada saat dibutuhkan.

Gadis itu begitu pendiam, tak banyak bicara--namun, jika sudah dekat dengan seseorang mulutnya tidak bisa direm.

Banyak bermimpi namun tak punya usaha untuk meraih mimpi itu. Bercita-cita tinggi, tetapi diam saja.

Dia memang unik, banyak yang berkata seperti itu. Banyak orang berpikir dia terlihat sombong saat pertama kali bertemu, aslinya--dia tidak seperti itu.

Karena terlalu cuek pada lingkungan sekitarnya, ia buta dan menganggap pembicaraan orang itu tidak pernah terjadi.

Dia memang munafik.

"Mey, besok kamu masuk apa?"

Meyra yang tadinya sibuk membaca sebuah buku menoleh, "pagi, memangnya kenapa?" seingatnya, jadwalnya besok adalah pagi.

Tiara Allysa--gadis yang bertanya mengangguk mengerti, "yah, kita tidak satu jadwal."

"Tidak apa-apa. Bukannya, ini bukan yang pertama kalinya, kan?" Meyra ingat, sudah berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu mereka tidak satu jadwal. Dan itu, tidak bermasalah.

"Tapi," Tiara mendesah kecewa, "aku kan ingin berangkat bersama dan pulang bersama dengan kamu. Kita kan satu kos, masa tiap hari pulang dan berangkatnya beda?"

"Menggelikan," bahu Meyra bergidik ngeri, "kita masih bisa bertemu malamnya, Ti. Kamu kayak nggak pernah ketemu Rian aja."

Rian adalah kekasih Tiara, sudah tiga bulan mereka menjalin asmara.

"Jangan bawa-bawa, Rian. Dia itu pacar aku tahu," gerutu Tiara, "awas aja kalau kamu jadi pelakor hubungan aku!"

Meyra tertawa, bahkan umurnya saja belum cukup 17 tahun. Kenapa sampai dikhawatirkan seperti itu? Ia juga tidak mempunyai bakat merebut kekasih orang.

"Enggak mungkin," tolak Meyra. "Lihat aku, emang kelihatan kayak pelakor?"

Tiara memandang Meyra dalam, ia menggeleng. Wajah polos Meyra sungguh tidak cocok menjadi pelakor, apalagi kenyataan yang ia tahu--Meyra begitu polos.

"Enggak, 'kan? Jadi, nggak usah takut aku rebut Rian dari kamu."

"Ya, tapi aku harus waspada. Orang yang kelihatan polos, bisa aja jadi pelakor. Nggak ada yang tahu, kan?"

Ucapan Tiara begitu mengena, dan akan menyakitkan jika orang yang disinggung mendengarnya.

"Ingat, Ti. Umur kita belum dewasa, udah bahas pelakor-pelakor aja." Meyra mengingatkan hal itu, yang nyata.

"Rian itu bakal jadi suami masa depan aku. Aku harus waspada."

Meyra menggeleng-gelengkan kepalanya, mereka masih kelas dua SMA awal tapi bahas-bahas pelakor mulu.

"Kamu sendiri?"

"Aku?" Meyra menunjuk dirinya bingung.

"Iya, siapa lagi?"

"Emangnya, kenapa?" tanya Meyra bingung.

"Kamu sama Calvian masih sama-sama?"

Calvian, ya?

Bahkan, Meyra melupakan nama itu beberapa hari ini. "Masih," balas Meyra enteng.

Ia mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, ia sudah beberapa hari tidak online di salah satu aplikasi berbalas pesan.

"Hubungan kalian itu--abu-abu," celetuk Tiara.

"Hm," Meyra menyetujui, hubungannya dengan Calvian masih terlalu wajar. Tidak seperti pasangan muda yang terlalu over menurutnya.

"Aku rasa, Calvian itu buta."

Kepala Meyra menoleh, setahunya mata Calvian masih sehat terakhir kali mereka berjumpa. "Buta, dia masih bisa lihat kok."

Tiara memukul pelan kepala Meyra, "buta dalam arti kiasan." Koreksi Tiara, "dia bahkan masih pertahanin kamu, saat tahu kamu cueknya di atas ambang batas."

"Ya, aku juga nggak tahu--kenapa Iyan masih mau sama aku?" jujur, selama ini dia tidak tahu kenapa Calvian mau menjalin hubungan dengannya.

Padahal, kenyataannya. Meyra tidak cukup baik dalam menjalin hubungan seperti itu. Bahkan, Calvian menjadi satu-satunya laki-laki pertama yang menjalin hubungan dengannya.

Sebenarnya, aneh.

"Dia cinta apa cuma manfaatin kamu aja, sebenarnya?"

Memanfaatkan dirinya? Terasa tidak mungkin--selama ini, Calvian cukup baik padanya. Dan tidak terlihat memanfaatkannya.

"Enggak ah!"

"Kamu itu bodoh apa lugu? Percaya kok sepenuh hati sama cowok?" kesal Tiara.

Meyra hanya menggeleng, "aku nggak tahu. Tapi, aku harus percaya pada Iyan--untuk saat ini."

Meyra kembali menatap ponselnya, berbgai pesan singkat mulai muncul di notifikasinya.

Meyra membuka bagian paling atas pesan yang masuk di sana ada nama Calvian Heru Pramana.

••• Calvian Heru. P : Dey, ke mana kamu? Aku chat nggak dibalas-balas?

••• Calvian Heru. P : Dey!

••• Calvian Heru. P : Meyra Amanda Deylia! 

••• Calvian Heru. P : aku khawatir sama kamu, aku ke kosan kamu, ya?

••• Calvian Heru. P : Dey, Sayang!

Masih banyak spam chat yang Calvian tuliskan padanya, membuat Meyra tak kuasa menahan tawa.

Omong-omong, Dey adalah panggilan khusus Calvian padanya.

"Kenapa, Mey?" tanya Tiara bingung melihat Meyra yang mesem-mesem.

Meyra menggeleng, menyembunyikan ponselnya. Ia malu kalau Tiara tahu, jika sekarang dia tertawa karena pesan dari Calvian.

"Sama aku aja malu-malu, dari Calvian ya?"

"Ehm, iya." Balasnya cepat, "kamu jangan baca!" larang Meyra yang beralih duduk di atas sofa.

"Pelit amat, aku chat-an sama Rian aja selalu aku tunjukin ke kamu." Dengus Tiara.

"Kali ini--belum boleh. Nanti aja," sekarang Meyra masih ingin membaca pesan-pesan Calvian untuk dirinya sendiri.

"Terserah,"

Meyra terkekeh, "jangan marah, nanti aku kasih tahu kok."

Tiara hanya memutar bola matanya malas, kalau tidak diberi tahu dia juga akan memaksa lagi.

Beralih pada Meyra yang tak bosan membaca pesan dari Calvian. Kali ini, Meyra membalasnya.

•••Meyra Amanda. D : aku di rumah, Iyan. Kamu nggak usah khawatir. Jangan datang ke sini, sudah malam.

Balasan cukup panjang itu menurut Meyra sudah pasa untuk membalas pesan Calvian yang begitu banyak padanya.

Kling!

Calvian langsung membalas pesannya. Cepat sekali,

••• Calvian Heru. P : kamu ke mana aja, Dey? Udah dua hari nggak balas chat aku.

••• Meyra Amanda. D : aku sibuk, Yan. Dua hari ini jadwal aku nggak tentu, jadinya nggak sempet buka hape.

••• Meyra Amanda. D : maaf, ya?

Meyra merasa bersalah pada Calvian, pasti laki-laki itu benar-benar khawatir padanya.

••• Calvian Heru. P : lain kali, kamu harus kasih kabar. Ada orang yang khawatir kalau kamu nggak bisa dihubungi.

••• Calvian Heru. P : itu... Aku.

Meyra terkekeh, dengan senyum lebar. Bisa saja Calvian menggodanya.

••• Meyra Amanda. D : iya, aku janji. Lagi pula, bukan cuma kamu yang khawatirin aku juga.

••• Calvian Heru. P : siapa? Simpanan kamu?

••• Meyra Amanda. D : bukan! Orang tuaku sama Tiara.

••• Meyra Amanda. D : jangankan simpanan, laki-laki lain yang mau sama aku selain kamu aja nggak ada.

Ya, itu kenyataannya.

°°°

Menjadi murid SMK itu melelahkan, kalau ada yang bilang menyenangkan--itu bohong.

Apalagi kalau sudah kelas sebelas. Itu menyebalkan, di saat harus belajar mereka juga harus praktek kerja.

Yap, di saat bersamaan mereka harus bekerja dan juga belajar di saat yang bersamaan.

Yang menyebalkan lagi itu--semua guru itu memberikan tugas di saat bersamaan, kalau cuma satu dua masih oke-oke saja. Namun, kalau enam bab lebih--apa itu masih biasa saja? Apalagi jika tenggat waktunya cuma sebentar, dan tidak hanya satu guru.

Pusing nggak tuh?

Sebenarnya, kalau mengumpulkan telat masih nggak papa--karena, teman yang lain pun sama.

Pasalnya, masalahnya yang Meyra hadapi bukan itu. Tapi, ayahnya yang selalu menuntutnya menjadi juara di kelas. Itu tambah memusingkan, kalau Meyra mengumpulkannya telat--alamak, nilainya.

Mengeluh pun percuma, itu tidak menyelelasaikan bebannya--Meyra tahu itu. Sebisa mungkin, Meyra mengurangi keluhannya.

Harus pokoknya!

"Mey, ojek kamu udah nyampe tuh." Panggil Tiara yang baru keluar dari kamar mandi.

"Aku nggak pesan ojek," jawab Meyra yang sibuk membenarkan jilbabnya.

Tiara mendekati Meyra, mendekatkan mulutnya di telinga Meyra. "Ojek spesial, yang biasa panggil kamu--Dey Sayang."

Duk!

Meyra menyikut perut Tiara kesal, terdengar begitu menggelikan jika Tiara yang mengucapkannya.

"Akhh!" Tiara menjerit, "Meyra!"

Meyra mengerucutkan bibirnya, "maaf, kamu usil soalnya."

"Itu kenyataannya, Mey. Si Iyan-Iyan kamu itu, kalau nggak panggil Dey Sayang apalagi? Dia alergi manggil kamu Meyra tuh." Sindir Tiara kesal.

Tiara akui, hubungan kedua memang aneh. Mereka itu cuek satu sama lain, tapi anehnya--cara mereka memanggil satu sama lain itu agak lebay--dan terkesan alay. Tidak mencerminkan hubungan mereka.

"Tapi jangan begitu, malu tahu."

"Itu kenyataannya, Mey." Tiara naik ke atas ranjang. "Udah sana, ditungguin Iyan tuh."

Suara decakan terdengar dari mulut Meyra, Meyra mengambil tasnya begitu saja. "Aku berangkat!" ucapnya dengan nada kesal.

"Hm," balas Tiara cuek.

Meyra mendengkus, membanting pintu kos-kosannya. Dasar Tiara! Bisa saja membangkitkan emosinya.

"Sekali-kali gangguin anak orang, seru juga."

°°°

"Pagi, Mey!" Mbak Ranti yang ngekos di depan kamarnya menyapa Meyra ramah.

"Pagi juga Mbak. Mau berangkat kerja ya?" balasnya santun dengan senyum manis.

"Iya, Mey." Mbak Ranti tersenyum, melingkarkan tangannya di lengan Meyra. "Ke depan bareng, yuk."

Menolak pun sama saja, tangannya saja digandeng erat.

"Kamu naik apa ke sana?" tanya Mbak Ranti basa-basi.

"Dijemput, Mbak." Balasnya malu-malu, memang memalukan kalau ada yang tahu jika kekasihnya menjemputnya.

"Sama siapa? Bang Ojol, ya? Wih, sama. Mbak juga pesen ojol tadi,"

Meyra menggeleng, masa Calvian yang keren disamakan sama ojek online yang nggak semuanya keren. Nggak terima Meyra! Soalnya, Calvian itu ehm--pacarnya.

"Kalau bukan ojol siapa? Temen kamu, Ayah kamu?" tanya Mbak Ranti bingung.

"Bukan, Mbak." Kenapa Mbak Ranti tidak menyebut pacar saja? Itu lebih memudahkan Meyra mengiyakannya.

"Dey!"

Tak terasa mereka sudah sampai di depan rumah, Calvian pun sudah menyapa Meyra.

Mbak Ranti menengok ke arah suara, ia tampak bingung saat melihat seorang laki-laki cukup tampan di depan kos-kosan mereka. Dan apa tadi? Memanggil, Dey?

Mbak Ranti mendekat pada laki-laki itu, "Mas-nya, cari siapa?"

Calvian tersenyum tipis, "saya mencari Dey, Mbak." Ia menoleh pada Meyra yang menunduk malu, memang kebiasaan Meyra seperti itu. "Dey ayo berangkat,"

Mbak Ranti menoleh pada Meyra, matanya melotot. Dey adalah Meyra?

Hah?!