webnovel

The CEO and His First Love

Sebulan sebelumnya.

RAFTECH.

Get along with Technology.

Kalimat itu tercetak dengan ukuran besar di bagian depan gedung dari sebuah bangunan pencakar langit. Di mana kesibukan ala orang kantoran terlihat tengah terjadi di dalamnya.

Di saat itulah sebuah mobil jenis SUV mewah memasuki pekarangan dari tempat itu. Lantas berhenti tepat di depan beranda menuju pintu masuk bangunan.

Hingga….

Tak menunggu waktu lama, sosok yang langsung menarik perhatian turun dari dalamnya. Tak lain merupakan seorang pria dengan tubuh tinggi tegap layaknya seorang model. Dan dengan balutan jas serba mahal berwarna biru dongker di tubuhnya, ia terlihat seakan-akan mengiklankan produk pakaian ala kantoran.

Karena memang tak hanya fisiknya saja. Paras pria itu juga tampak tampan, dengan sepasang mata tajam dan hidung mancung yang menjadi daya tarik utama dari wajahnya. Yang dibingkai sempurna dengan rambut hitam dengan potongan rambut ala undercut yang menghiasi kepalanya.

Kehadiran pria dengan karisma yang kuat itu langsung menarik perhatian semua orang. Mereka langsung memberikan penghormatan mereka saat pria itu melenggang di depan mereka. Pokoknya harus memberikan kesan yang baik, mengingat hidup mereka sangat bergantung dengan pria itu sebagai perusahaannya ini.

"Selamat pagi, Pak Rafael."

Rafael Abraham. Itulah nama dari pria itu. Seorang sosok yang tak terlalu asing, kalau kita melihat ke belakang. Sama seperti bagaimana namanya sudah lumayan tersohor di kota ini terutama di dunia bisnis. Karena dia punya prestasi yang patut dibanggakan di usia yang masih muda, serta fakta kalau dia merupakan calon pewaris dari salah satu grup perusahaan di negara ini.

"Selamat pagi, Pak."

Begitu banyak yang menyapa, namun walau begitu tak satu pun sapaan mereka yang diacuhkan. Pria itu hanya melewati mereka begitu saja, seakan ia tidak melihat mereka sama sekali. Apalagi karena saat ini ia sedang sibuk mengotak-atik ponselnya.

"Tch, kenapa ia terus saja berusaha untuk menghubungiku. Apa dia belum juga bisa menerima kenyataan kalau hubungan kami sudah berakhir? Kalau aku sudah membatalkan status pertunangan di antara kami."

Itulah hal pertama yang akhirnya terdengar dari mulutnya, bersama dengan langkahnya yang terhenti di sebuah lift khusus VIP di tempat itu. Sekali lagi pria itu menolak panggilan yang menunjukkan deretan angka tak dikenal pada layar. Sebelum akhirnya melangkah memasuki kotak besi yang akhirnya terbuka lebar untuknya.

"Sebaiknya kublokir lagi saja. Walau dia pasti akan mengganti nomor lagi dan berusaha menghubungiku lagi. Kuharap akhirnya dia lelah dan melanjutkan hidupnya sendiri."

Masih bergumam pelan pria itu mengotak atik ponselnya untuk menyingkirkan nomor ponsel itu. Sehingga nantinya tidak ada telepon atau bahkan pesan yang bisa menjangkaunya lagi. Sehingga dia tak akan terganggu lagi.

"Kalau dipikir-pikir ini sudah nomor baru yang ke berapa? Mau sampai kapan dia terus menjalani siklus ini? Seperti kurang kerjaan saja."

Setelah omelan itu, hanya butuh beberapa menit sampai dia mencapai lantai yang menjadi tujuannya. Pria itu dengan cepat melenggang ke luar. Lantas menyusuri sebuah lorong yang kembali mempertemukannya dengan kesibukan karyawan. Yang juga mengantarkannya pada sebuah ruangan yang desain luarnya terlihat diistimewakan daripada ruangan yang lain. Terutama dengan adanya tulisan 'CEO Rafael Abraham' yang ditempelkan di daun pintunya.

"Selamat pagi, Pak."

Wanita muda yang menempati meja yang diletakkan di depan ruangan tampak langsung berdiri. Menyambut kedatangan pria itu.

"Selamat pagi, Diana." Rafael menghentikan langkah di depannya. "Kamu tolong hubungi sekretaris dari Pak Julio, lalu suruh beliau segera menghubungi saya. Ada yang perlu saya rundingkan dengannya terkait proyek utama untuk semester kedua tahun ini."

"Baik, Pak."

Rafael akhirnya benar-benar memasuki ruangannya setelah mengatakan itu. Memulai kembali kesehariannya sebagai pimpinan dari perusahaan yang bergerak di bidang IT ini.

***

Sementara itu di sebuah kafe dengan nama 'Dear Moon', juga mulai terlihat kesibukan para karyawan yang mempersiapkan usaha mereka untuk menyambut pelanggan yang akan berdatangan pada hari ini. Di mana di sebuah balkon yang berada di lantai dua, malah terlihat dua wanita yang mengobrol dengan posisi saling berhadapan. Secangkir minuman di tangan masing-masing.

"Wah… Gino manis sekali. Aku benar-benar iri padamu. Bagaimana bisa ada pria sebaik itu di dunia ini, yang selalu memperlakukanmu dengan sebaik itu?" Wanita dengan rambut sebahu berceloteh. Memandang wanita dengan rambut panjang bergelombang yang berdiri di depannya. "Walau sayang sekali… dia terus saja ditolak olehmu, Luna."

Luna. Wanita yang dipanggil begitu tampak hanya bisa tersenyum kecil mendengarnya. Walau kemudian dia langsung membalas ucapan temannya itu.

"Hey, kamu itu wanita yang sudah punya suami, Mia. Bagaimana mungkin kamu memuji pria lain dengan sepenuh hati begitu?" protesnya.

"Sudah punya suami bukan berarti aku harus berhenti mengapresiasi pria tampan dan baik hati lainnya. Apalagi karena kita sedang membicarakan teman kita di sini."

Wanita bernama Mia itu kembali menyahut dengan nada tak mau kalah. Akhirnya membuat Luna mengalah berdebat.

"Tapi… mau sampai kapan sih kamu keras kepala? Mau sampai kapan kamu menolaknya? Padahal apa kurangnya dia?" Mia kembali berceloteh. "Argh, ini membuatku ingat kejadian menyayat hati yang terjadi dua bulan yang lalu. Saat kamu dengan dinginnya, kembali menolak pernyataan cintanya tepat di hari ulang tahunnya. Maksudku, astaga, kenapa kamu bisa setega itu? Itu adalah hari istimewanya di mana dia harusnya bahagia. Tapi lagi-lagi… dia malah menerima kepahitan kegagalan cinta terhadap wanita yang sama."

"Kenapa kamu membahas hal itu lagi. Membuatku nggak nyaman saja." Luna protes dengan cepat. "Lagian kamu kan selalu tahu alasannya. Aku selalu cerita kenapa aku nggak bisa menerimanya… yaitu karena aku tak punya perasaan spesial terhadapnya selain pertemanan. Sudah kubilang kan kalau aku nggak akan memaksakan sesuatu yang nggak kurasakan. Karena itu bukan hanya akan merugikanku, tapi Gino juga. Dia pantas untuk mendapatkan lebih."

"I know. I always know. Tapi tetap saja… menurutku dibanding kamu terus bersikeras menutup hati, sebaiknya kamu tuh mencoba untuk melihat masa depan dengan Gino, Luna. Sekarang mungkin kamu memang nggak punya perasaan terhadapnya serta nggak punya pemikiran untuk berpasangan dengannya, tapi siapa tahu jawaban berbeda akan keluar setelah kamu mencobanya? Karena memang… aku masih berpikiran kalau Gino adalah pria yang paling tepat buat kamu."

Setelah mengatakan itu Mia curi-curi pandang pada sahabatnya itu. Di mana Luna tampak tak terlalu bereaksi terhadap ucapannya itu. Malah sorot matanya sedikit kosong, seakan nyawanya tak berada di sini.

"Kecuali kalau kamu masih saja mengharapkan cinta pertama pertama kamu yang sangat rumit itu. Kalau hati kamu masih saja berharap terhadap Rafael… yang sekarang begitu membenci kamu."

Mia mengatakannya dengan cukup berhati-hati. Namun walau begitu tetap terlihat memberi efek yang besar terhadap Luna. Ekspresi wajah itu tampak lebih muram, dengan kedua mata yang mengeluarkan sorot kesedihan yang mendalam.

'Ah, nama itu lagi. Sampai kapan aku bisa lolos dari perasaan tersiksa setiap kali mengingatnya?'

***