webnovel

Obsesi

Hari ini untuk mengawali rutinitas kerjanya, Rafael menghadiri janji temu dengan salah satu klien di luar perusahaan. Dia hanya mengikuti jadwal dan petunjuk yang telah dibuat oleh sekretarisnya. Namun saat akhirnya dia menapakkan kakinya di lokasi pertemuan, pria itu sadar akan fakta yang cukup menarik.

Gedung hotel di mana dia akan bertemu klien ternyata berada tak jauh dari kafe 'Dear Moon'. Bahkan dari halaman hotel, saat dia melihat ke arah timur, dia dapat langsung menemukan bangunan yang sering menarik rasa penasarannya setiap kali melewati jalan besar di depan.

'Jangan pikirkan. Abaikan dan jalani hidupmu.'

Itulah yang pria itu katakan seraya memasuki lobi hotel. Menemui klien yang ingin dia temui di restoran yang terletak di dalam lingkungan gedung hotel.

Seperti biasanya, tak peduli betapa kadang pemikirannya berat karena permasalahan ini, pria itu tetap dapat fokus pada pekerjaan. Terbukti bagaimana dia dapat berpartisipasi dalam perundingan itu selama sekitar satu jam. Hingga akhirnya dia dan perwakilan dari salah satu perusahaan kolega yang berasal dari luar kota itu pun menemukan titik kesepakatan.

"Senang dapat berdiskusi dan berbincang dengan Anda, Pak. Kami tunggu kedatangan Anda di Makasar."

Rafael masih sempat melakukan basa-basi singkat, sebelum akhirnya mereka berpisah lagi di lobi hotel. Klien yang berasal dari luar kota itu memandang kepergian Rafael dan rombongannya yang berjalan keluar dari gedung hotel tersebut.

"Selanjutnya kita ke mana, Pak? Apa langsung ke kantor?" tanya sekretarisnya begitu mereka kembali mendekati tempat mobil terparkir.

Namun Rafael tak bisa langsung menyahut. Terlebih karena dari posisinya sekarang, matanya kembali dapat menemukan bangunan yang terpisah dengan dua gedung dari hotel tempatnya berdiri. Di mana kesibukan belum terlalu terlihat di sana. Karena kafe memang lebih ramai di jam-jam pulang kerja hingga malam.

Kaki Rafael serasa ingin bergerak ke sana, sehingga berat baginya untuk memasuki mobil. Hatinya juga condong ingin singgah ke sana sejenak, mungkin sekadar melihat apa yang terjadi di dalam ataupun melihat wajah yang dirindukannya barang sejenak. Namun otaknya terus melarangnya untuk melakukan hal itu.

'Let's see.'

Akhirnya mengabaikan berontakan dari ruang pikirnya, dia mengikuti tubuh serta hati ini. Dia meminta sopir dan sekretarisnya untuk menunggu sejenak, sementara dia akhirnya berjalan ke arah timur. Hanya dalam beberapa menit saja sudah berada di dalam pekarangan kafe dengan ide tampilan bulan sebagai konsep dekorasinya.

'Kenapa aku ada di sini? Apa yang hendak kulakukan?'

Meski hatinya bertanya-tanya, tapi langkahnya tak berhenti. Terus dia memasuki tempat itu. Tenang dan sedikit mengendap-endap bak maling.

'Ngapain sih aku begini? Sungguh, ini tak seharusnya dan hanya membuang waktu.'

Baru saja terlintas di benaknya hal itu, telinganya menangkap suara tawa yang familier. Hal yang tanpa sadar membuatnya mempercepat langkahnya menaiki tangga-tangga di beranda kafe. Sehingga akhirnya dia berada tepat di depan pintu masuknya.

"Nggak ada istimewanya kok. Rasanya sama seperti biji kopi lainnya, cuman ini memang lebih pahit dari yang kukira." Suara Luna yang berkata sambil tertawa terdengar. Melirik pria bertubuh tinggi yang berdiri di sampingnya. "Argh, kenapa kamu menyuruhku minum ini sih? Sudah tahu aku nggak suka kopi."

"Pemilik coffee shop kok nggak suka kopi? Bagaimana caranya merekemondasikan menu kepada pelanggan ketika nggak tahu dengan produk sendiri. Aku juga nggak suka kopi, tapi demi usaha kita aku mencicipi semuanya agar bisa lebih tahu dengan keadaan di kafe kita ini," kata Gino riang. Senyum keceriaan terlihat di wajahnya.

"Kurasa nggak ada hubungannya jadi pemilik kafe dengan kecenderunganku dalam memilih minuman. Lagipula kamu kan sudah mencicipinya, jadi kamu telah mengetahuinya. Nantinya saat aku bingung aku hanya perlu bertanya padamu sebagai manajer merangkap perwakilan."

"Jadi kamu hanya mau melakukan bare minimum, begitu?" Gino meladeni sambil menyentil dahi Luna.

"Aw, sakit, Gino!" Luna memasang wajah cemberut sambil terus melawan Gino bicara. "Ya. Kalau aku memang hanya akan melakukan itu, memang kenapa? Aku kan bos di kantor ini. SEORANG PEMILIK DAN CEO. Jadi aku berhak melakukan apapun yang aku suka."

"Dasar."

Tawa dan keceriaan mereka pecah. Mereka terlihat sangat menikmati kebersamaan mereka. Sehingga tak heran wajah-wajah itu terlihat cerah, secerah hari yang hendak beranjak siang ini. Sementara hal itu sangat berbanding terbalik dengan wajah seseorang yang sempat mengamati kebersamaan mereka dari pintu kafe. Seseorang yang kini akhirnya memilih untuk berbalik, lalu dengan cepat meninggalkan tempat itu sebelum kehadirannya disadari oleh kedua anak manusia yang di matanya terlihat tengah bermesraan di dalam.

'What a good life. Setelah mereka dengan seenaknya mengacaukan kehidupanku dan memeras keluargaku, mereka mampu bersenang-senang seperti itu. Mereka mampu tetap saling berpacaran dan mungkin melakukan seks setiap malam sambil menertawakan kehidupanku yang suram. Dasar manusia-manusia tidak tahu diri.'

***

"Nggak bisakah kamu berhenti mengganggu kami, Serra? Belum jugakah kamu menerima kenyataan kalau hubungan kita sudah berakhir? Kalau Rafael telah membatalkan pertunangan kalian."

Bertha mengatakan itu dengan ekspresi sangat bosan. Melirik wanita muda yang kini duduk di seberang meja restoran yang dia duduki.

"Aku nggak bisa menerima ini, Tante." Serra menyahut cepat. "Ini nggak adil dan nggak seharusnya begini."

"Nggak adil bagaimana? Rafael sendiri yang telah mengakhiri semuanya, bahkan tepat saat ada orang tua kamu di sana. Lagipula bukan seperti kamu diputuskan dengan tanpa bersalah. Rafael akhirnya memilih hal itu karena diri kamu sendiri."

"Ini yang nggak masuk akal, Tante. Kenapa kalian terus membahas soal kejadian di Batam waktu itu? Memang aku akui kalau aku salah, tapi Rafael sendiri juga nggak bersih. Dia berselingkuh dan meniduri wanita lain juga saat kami masih bertunangan. Jadi nggak masuk akal namanya kalau hanya aku yang dicap jahat di sini, ketika aku selalu setia terhadapnya." Serra berkata dengan berapi-api. "Lagipula alasanku melakukan semua itu selalu kuat. Aku melakukannya karena tak tahan dan cemburu semenjak Tante mendekatkannya lagi dengan cinta pertamanya itu. Aku korban terbesar di dalam hal ini."

Bertha mendesah malas. Dia akui kalau memang salahnya untuk membawa Luna ke dalam kehidupan Rafael lagi, namun dia tidak pernah menyesali hal itu karena nyatanya sekarang putranya telah pulih. Lagipula dari awal semuanya akan baik-baik saja di bawah pengawasannya. Hingga kecemburuan Serra akhirnya mengacaukan segalanya.

"Dia tidak pernah mencintaimu, Serra. Belum jugakah kamu sadar? Tante tahu ini menyakitkan, tapi memang inilah faktanya. Alasan kamu tersingkir karena kamu tak pernah ada harapan di hatinya. Jadi daripada bertele-tele, bisakah kita hentikan semua ini? Toh keluarga kami sudah membayar kompensasi kepada keluargamu dengan suntikan investasi untuk proyek—"

"Tidak. Aku nggak peduli dengan itu. Masa bodoh dengan semuanya, yang kupikirkan hanyalah Rafael. Aku hanya menginginkan Rafael. Jadi jangan pernah menyamakan semua itu dengan perasaanku terhadap Rafael!"

***