webnovel

Pria Bermata Elang

Cantika masih menundukkan kepala, menatap sepatu untuk mengalihkan pandangan ke depan. Namun hal yang membuat sial gadis berkacamata bulat itu, dirinya berdiri tepat di tengah-tengah koridor sekolah dan itu mampu menghalangi lalu lalang anak Famaur.

"Aku bukan anak berani yang menentang mereka. Ya Tuhan, selamatkan aku!"

Cantika berusaha untuk mengerakkan kaki menjauh dari koridor, gadis berkacamata bulat tampak terkejut kala saat melihat ujung sepatu tepat berhenti di depannya.

Napas Cantika mulai tercakat, tubuh mendadak mengeluarkan keringat dingin saat otaknya traveling akan cerita Runy di toilet.

"Apa aku akan jadi korban selanjutnya?" lirih Cantika sambil mengepalkan kedua tangan di sisi kanan dan kiri.

"Lo mau jadi patung pancoran? Mingir!"

Gadis berkacamata bulat dengan pipi chuby tampak mematung, alisnya menukik tajam kala mendengar suara yang tampak familiar di telinganya. Seketika, ia pun mendongak dan melihat wajah Ruby dan satu temannya tengah berdiri di hadapannya.

Tidak lama kemudian, Runy yang sadar akan teman barunya tertingal berbalik arah dan kini tengah berdiri di samping Cantika.

"Lo kenapa diem di sini, ayo!" seru Runy pada Cantika, mengabaikan tatapan dua gadis yang tengah sebal karenanya.

"Setelah kita hempas ke laut, lo jadi temenan sama anak kampung, Run?" tutur Ruby dengan tatapan yang begitu cemooh.

"Memangnya kenapa? Gue bersyukur Tuhan nyadarin gue buat jauh dari lo berdua. Buat apa temenan sama orang toxic kaya kalian!" sahut Runy tanpa ada rasa takut sedikitpun.

Ruby tampak tertawa kecil melihat keberanian Runy. Sedangkan gadis berambut pendek tengah mendengkus sebal.

"Lo udah berani sama gue, Runy?" papar gadis berambut pendek dengan songong.

"Gue nggak mau cari gara-gara sama kalian berdua. Jalan kita udah masing-masing. Percuma gue ladenin lo berdua kalau ujung-ujungnya pacar lo itu ikut campur!" Kini, Runy menarik pergelangan tangan Cantika agar menjauh dari mereka berdua.

Cantika yang tidak tahu menahu tentang permasalahan mereka hanya diam dan nurut saat Runy membawanya menjauh. Dan kini, berada di sebuah koridor anak Ipa, Runy duduk dengan wajah ditekuk masam.

"Kalau mau cerita, sok cerita sama aku, Run. Siapa tahu aku bisa bantu dan masalah kamu bisa selesai. Aku bukannya mau ikut campur." Cantika pun duduk di sebelah Runy sambil menatap wajah teman barunya dengan saksama.

Sebuah senyuman terpampang jelas di bibir Runy kali ini, gadis rambut hitam legam itu tampak menghembuskan napasnya berat. "Sebenarnya gue sama mereka itu sahabataan sejak kelas satu SMP. Sifat mereka yang toxic bikin gue nggak betah dekat sama mereka. Terus gue dituduh selingkuh sama Jafar, pacarnya Ruby si kapten basket. Sebenarnya yang salah itu Jafar, di deketin gue terus sampai chat gue. Tapi si Jafar itu malah nuduh kalau gue genit sama dia!" papar Runy kesal.

"Tapi udah kamu jelasin sama Rubby?"

Runy menggangguk. "Udah berulang kali gue jelasin tapi malah enggak ditangap. Terus ujung-ujungnya gue nggak dianggap sama mereka. Selama satu tahun gue temenan sama Zilo dan yang lain. Biarpun mereka absurd tapi mereka nggak toxic,"

Gadis itu menoleh pada Cantika yang tengah mengganggukkan kepala. Tas ransel masih di pundak serta rompi masih di jinjing terlihat basah.

"Kita ke kelas dulu, lo belum kenalan sama yang lain. Guru lagi pada rapat jadi beberapa murid memilih keluar kelas," ajak Runy sambil berdiri dari tempatnya.

Saat ini, kedua kaki Cantika tengah berada di sebuah ruangan dengan beberapa siswa dan siswi tengah menatapnya dengan berbagai ekspresi wajah. Ada yang terkejut, menahan tawa, lalu menatap cemooh padanya.

"Run, lo bawa badut dari mana, sih?"

"Kek boneka anabel tau nggak?"

"Kacamatanya kek kacamata kuda!"

Berbagai celoteh dari mulut ke mulut selalu Cantika dapatkan. Cantika pun tahu jika penampilannya begitu cupu di banding anak kota yang tentunya sudah berbagai brand mereka pakai.

"Woi, bisa enggak ucapan lo pada di saring sebelum di keluarin! Kalau lo di posisi dia, lo mau?"

Seorang pria dengan wajah ketara kesal dan emosi menatap teman sekelasnya. Cantika ingat betuk jika pria itu adalah Zilo, pria yang membuat wajah dan rompinya terkena kue ulang tahun.

"Apaan sih, Zilo. Nggak usah banyak oceh, lo juga pernah ngomong tanpa di saring juga!" timpal seorang pria dengan tubuh gempal menatap Zilo dengan sengit.

Kali ini Zilo menatap balik pria itu tidak kalah sengitnya. Kedua tangannya sudah berkacak pingang. "Jadi lo nggak terima? Gue balikin fakta! Lo mau di bilang gendut, jelek, item, kek ban tronton. Mau?!" cecar Zilo pada pria itu.

"Ya mana mau gue! Gue nggak seperti itu Gozila!" cecarnya kesal.

"Lah, lo bilang sendiri tronton!"

Dan berdebatan mereka pun tidak ada habisnya. Bahkan, jika bukan Runy meleraikan mereka sudah pasti akan berbuntut pajang kali lebar.

"Kalian berdua itu sama aja! Bisa nggak jangan jadi netizen di kehidupan orang lain? Lo pada nggak tahu kehidupan yang dialami orang yang lo komentarin. Dan lo semua, pasti nggak akan mau di komentarin. Maka dari itu berkaca sebelum ngomong!" sembur Runy dengan begitu tajam yang tentunya membuat semua orang mampu menutup mulutnya.

Tidak lama Runy menyuruh Cantika duduk di salah satu kursi di belakangnya. Hanya kursi itu satu-satunya yang kosong di kelas. Runy menoleh ke belakang, melihat Cantika yang tengah melipat rompinya.

"Rompi lo masih basah, ya? Taruh aja di loker daripada di tas nanti malah buku lo ikutan basah, Tika."

"Tapi aku belum punya loker. Gimana, dong?"

"Ikut gue!" Runy kini sudah berdiri sambil kembali menarik lengan Cantika untuk mengikutinya. Di belakang Zilo mengerutkan kening heran.

"Lo mau kemana?" teriak Zilo dengan suara yang menggema di ruangan.

"Mau jemur rompi Tika!" teriak Runy.

Saat ini mereka berdua tengah berada di atas rooftop yang terlihat sepi. Angin pun tampak kencang di atas rooftop saat pertama kali menginjakkan kaki di lantai atas.

"Wah, jadi seperti ini rasanya di rooftop, Run?" Cantika begitu kagum akan sekolah barunya, biasanya ia hanya membaca dan menonton serial drama tengang anak sekolah di atas rooftop. Sedangkan di sekolah lama hanya lantai tiga dan dua yang tentunya tida ada rooftop, yang ada hanga genting.

"Lo taruh rompi lo di besi itu. Terus, lo ambilnya pas jam istirahat, ya. Dan ingat, jangan masuk ke ruangan itu," ujar Runy sambil menunjuk ke arah pintu berwarna merah di paling ujung rooftop.

"Itu ruangan apa?"

"Itu tempat anak Famaur kalau lagi nongkrong. Tenang aja, mereka nggak bakalan gangu muris yang kaya kita gini, jadi sebisa mungkin hindari lima peraturan sekolah yang gue bilang. Lagian, mereka nggak bakakan ada di jam seperti ini." Cetus Runy yang tengah menautkan kedua tangannya di depan dada.

"Mereka yakin enggak bakalan ke rooftop, Run?" tanya Cantika sedikit takut, bagaimana pun juga ia adalah gadis penakut jika berhadapan dengan orang yang tentunya ditakuti banyak orang.

"Mungkin mereka pada bolos. Gosip yang beredar, mereka lagi jemput ketua mereka Sienggar. Banyak siswa siswi biasa ingin melihat ketua yang mendirikan komunitas Famaur. Cuman ya gitu, dia lebih memilih menutupi diri." Jelas Runy membuat Cantika terkejut atas penjelasannya.

"Jadi selama ini kalian belum liat ketuanya seperti apa?"

"Belum. Yang kami tahu cuman nama dia aja. Hanya anak Famaur yang kenal dengan Sienggar. Jadi penasaran gue pengen liat wajahnya doi." Runy tertawa kecil atas ucapannya sendiri, iris matanya menatap pintu yang masih tertutup rapat.

"Eh, lo udah belum? Gue takut lama-lama di rooftop. Takut anak Famaur tiba-tiba muncul," ujar Runy.

"Udah kok. Yuk turun!"

Mereka berdua pun segera turun, meninggalkan rompi milik Cantika yang sengaja di jemur di atas rooftop. Namun, tanpa mereka berdua tahu, ada satu cctv yang terhubung oleh layar monitor di sebuah ruangan gelap.

Seorang pria tengah duduk di kursi dengan kaki saling bertumpu, iris mata yang begitu tajam, menatap segala gerak-gerik dua orang di monitor.

"Menarik."  Seringai pun menghiasi bibirnya kali ini.