webnovel

BAB 1. Permintaan

"Zi, Mba boleh nggak bicara sama kamu," ucap Hasna Ayudia pada adik sepupu yang memang sangat dekat dengannya. Maklum saja, kedua orang tua Ziana Almaira memang sudah tiada dan keluarganya lah yang mengurus gadis ini sedari kecil.

"Bicara apa, Mba?" tanya Ziana tidak mengerti, ini adalah kali pertamanya menginjakan kaki di tanah air tempatnya dibesarkan setelah sepuluh tahun lamanya menetap di luar negeri, ia memang kuliah di Inggris sekaligus menetap disana begitu mendapat pekerjaan. Ia yang mendapat kabar bahwa kondisi Hasna memburuk segera pulang.

Ziana duduk pada kursi yang berada tepat disamping ranjang pasien tempat Hasna duduk dan bersandar pada bantal yang ditata sedemikian rupa.

"Kamu cantik banget ya, Mba sampai iri," kata Hasna dengan senyum getir, ia menahan tangis.

Ziana menggenggam erat tangan seseorang yang sangat ia sayangi ini, "Mba lebih cantik dari Zizi, dulu saja aku sampai iri karena semua orang sibuk ngejar Mba Hasna," ucap Ziana yang membuat Hasna tersenyum karena mengingat kejadian dimasa lalu, "Masih ingat nggak Mba, waktu ada cowok yang datang ke rumah untuk ngelamar Mba secara tiba-tiba terus Mba Hasna malah kabur lewat jendela. Eh, ibun sama ayah malah nyuruh aku gantiin Mba Hasna terus cowok itu pergi karena nggak mau sama aku yang buluk ini."

Hasna tertawa singkat mengingat hal konyol itu, tapi tatapannya kembali sendu, "Kamu sudah bukan Ziana yang dulu lagi, kamu sudah berubah menjadi wanita yang anggun dan juga cantik. Aku dengar dari Ibun bahwa banyak orang yang ngejar kamu sekarang."

"Halah, itu akal-akalan Ibun saja biar orang pikir aku laku." Ziana terkekeh karena ucapannya sendiri, "Aku ini suka kebebasan dan aku masih ingin sendiri."

"Zi, kamu tau, 'kan? Kalau kamu itu seseorang yang sangat berharga bagi Mba." Hasna menatap Ziana lekat, raut wajahnya berubah serius sekarang.

"He-em." entah mengapa, Ziana enggan untuk menghadapi situasi semacam ini, situasi yang terasa sangat menyakitkan sehingga ia ingin menangis.

"Zi, kamu tau kalau Mas Liam dan Sheza, mereka juga orang-orang yang sangat berharga juga bagiku, kan?" air mata turun dari mata kiri Hasna, ia menghela napas berat.

Ziana mengangguk pelan, ia tahu kemana arah pembicaraan Hasna, " Mba Hasna pasti sembuh, aku yakin itu. Mba Hasna ..."

"Ziana." Hasna memotong perkataan adiknya, ia melepas perlahan genggaman tangan Ziana dan mengusap lembut puncak kepala gadis yang hanya dua tahun lebih muda darinya ini, "Mba ini menderita kanker darah stadium akhir, kamu tahu itu, 'kan? Mba sudah lakukan segala cara hingga berobat ke luar negeri hingga menjalani donor sumsum tulang belakang. Tapi, obat-obatan yang Mba konsumsi selama ini sudah menyebabkan komplikasi. Dokter mengatakan jika umur m

Mba sudah tidak banyak, Mba harus mempersiapkan diri."

"Itu kan kata Dokter, dia itu bukan Tuhan!" Ziana menangis sejadi-jadinya, ia menutup wajah dengan kedua tangan, kesedihan sudah mendera batinnya.

"Dokter memang bukan Tuhan. Tapi, mengingat kondisi Mba yang seperti ini, rasanya siapapun akan setuju dengan perkataan Dokter," ucap Hasna, ia mengusap air mata yang luruh dengan tangan kiri sedang tangan kanannya masih mengusap lembut puncak kepala sang adik.

Ziana tidak mampu berkata-kata, ia hanya menggelengkan kepalanya.

Hasna diam sesaat, menunggu Ziana untuk tenang sebelum ia melanjutkan pembicaraannya.

Cukup lama menangis, perasaan Ziana sudah mulai sedikit membaik walau dirinya tidak akan pernah baik-baik saja dalam menghadapi kenyataan.

"Zi." Hasna menunjukan senyum simpulnya, "Dunia akan terus berputar, kehilangan itu sangat menyakitkan. Tapi, Mba sadar bahwa dunia dan waktu akan terus berjalan, mereka tidak akan bersedih, menangis, atau meratap bersama denganmu. Jadi, sekalipun Mba sudah tiada, teruslah melangkah maju dan lanjutkan hidup dengan baik."

"Mba ..." Ziana hendak protes. Namun, suaranya tercekat oleh rasa sesak yang bergerumul dalam dada.

"Tidak hanya yang ditinggalkan, yang meninggalkan pun merasa sangat sedih, Zi." Hasna meraih tangan Ziana dan mengusapnya lembut, "Jadi, Mba hanya mau berpesan sama kamu, jika Mba pergi tolong jaga Mas Liam dan Sheza untuk Mba ya."

Ziana menghela napas berat, ia meminta kakaknya ini untuk tidak berbicara demikian melalui tatapan matanya.

"Mas Liam itu sudah tidak punya orang tua, keluarga yang dia miliki hanya ibu tiri serta adik tirinya, tidak ada yang mengurus dia setelah aku pergi, Zi," ucapnya dengan nada sendu, "Mba hanya ingin kamu menjaga dia dengan baik, mengurus dan merawat Mas Liam. Dan juga, Sheza itu masih kecil, dia butuh sosok seorang ibu yang bisa menjadi contoh. Mba nggak percaya pada siapapun selain kamu, Zi. Menikahlah dengan Mas Liam dan jadilah istri yang sempurna untuknya, hal yang tidak bisa aku berikan, kamu pasti bisa memberikannya."

"Mba ..." meski sulit, Ziana tetap mencoba untuk menyuarakan pendapatnya, "Soal Sheza tidak usah khawatir, aku pasti akan menjaga dan mendidiknya dengan baik. Untuk urusan Mas Liam, aku juga akan sering menanyakan kabarnya. Tapi, aku tidak bisa menikah dengan dia, Mba."

"Kenapa?" tanya Hasna tidak mengerti.

"Karena Mas Liam itu sangat mencintai Mba Hasna. Terlebih, kami ini sudah seperti kakak adik yang tidak mungkin untuk bersama." entah mendapat kekuatan dari mana, Ziana berani menyuarakan isi hatinya.

"Meskipun ini adalah permintaan terakhir Mba, kamu masih enggan untuk melakukannya?" tanya Hasna dengan suara lemah.

"Mba ..." Ziana sudah kehabisan kata-kata untuk menjelaskan segalanya pada Hasna.

"Mba tidak mau Sheza jauh dari ayah dan ibun, Zi." Hasna mengalihkan pandangannya keatas langit-langit ruangan tempatnya dirawat, "Jika suatu saat nanti Mas Liam menikah lagi, apakah wanita itu akan menyayangi Sheza seperti anaknya sendiri? Apakah wanita itu akan menjaga anakku dengan baik? Hanya kamu yang bisa mba percaya, Zi, bukan orang lain."

"Semua ini terlalu berat untukku, Mba." Ziana mengusap air matanya, menikah dengan Liam adalah hal yang tidak pernah Ziana bayangkan sebelumnya, bahkan terlintas dipikirannya saja tidak pernah.

"Mba tau, Zi," ucap Hasna pada akhirnya, "Maaf jika mba terlalu memaksa. Tapi, mba mohon agar kamu memikirkannya baik-baik, ya."

Ziana mengangguk pelan, tidak mungkin ia katakan tidak pada seseorang yang menaruh harapan besar padanya ini.

"Terima kasih untuk makanannya ya, Zi, Sheza suka masakan kamu." Hasna tersenyum simpul.

Ziana hanya mengangguk pelan, ia masih tidak sanggup untuk menjawab.

"Kamu boleh pulang sekarang, Ibun tidak datang kesini karena sakit, pasti Ibun lelah menjagaku setiap hari, tanyakan keadaannya ya."

"Iya, Mba," jawab Ziana dengan suara parau.

"Ayah sering sakit punggung, sesekali belikan beliau obat ya."

"He-em." Ziana mengangguk pelan, pandangannya kabur karena lagi dan lagi, air mata kembali menggenang.

"Malam ini, Mas Liam akan menjagaku. Jadi, kamu tidak perlu khawatir."

"Baik, Mba. Aku pulang setelah Mas Liam datang, aku tidak ingin meninggalkan Mba Hasna sendirian."

"Dari dulu kamu itu seseorang yang paling baik buat aku, Zi, terima kasih ya."

"Aku yang seharusnya berterima kasih, mba."