webnovel

Gara-gara Tetangga Julid

Berawal dari sebuah statusku yang sudah bergelar janda dua kali, membuat ibuku mulai risih.

Apa lagi dengan ucapan para tetangga, yang pastinya setiap hari membicarakanku karena sering pulang malam.

Padahal pulang malam itu karena aku bekerja di sebuah resto yang memiliki jam tutup hingga pukul 22:00malam.

Hal itu pun mengusik ibuku yang sebelumnya tenang-tenang saja, namun akhir-akhir ini ia selalu mencecarku dengan banyak pertanyaan.

Kenapa pulang harus larut malam, kenapa tidak memilih shift pagi saja. Begitulah ocehannya setiap aku pulang kerja, sehingga aku pun mulai risih dan tidak nyaman ketika di kejar banyak pertanyaan oleh orang tuaku sendiri.

Padahal aku bekerja dengan pekerjaan yang halal, bukan kupu-kupu malam yang menjajakan tubuhnya hingga pulang pagi.

Di pagi hari ini seperti biasanya, aku bangun cukup siang karena aku masuk kerja itu pukul jam 10:00siang.

Aku berfikir masih cukup santai menunggu waktu, untuk jam berangkat kerja ke restoran.

Namun berbeda pemikiran ibuku, yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamar dan menyibakkan selimut yang menutupi seluruh tubuh ini.

"Tyas, bangun udah siang nanti rejekinya di patok ayam!" omel ibu sambil menepuk-nepuk pipiku.

Aku langsung beranjak dan menghela nafasnya secara perlahan.

"Ada apa sih Bu, biasanya juga aman-aman aja Ibu nggak pernah cerewet dan nggak pernah ribut sepagi ini?" Aku pun mendengus kesal.

"Ibu hanya sedang kesal, kau tahu di luar sana banyak sekali yang membicarakanmu. Tentang statusmu yang janda dua kali, dan juga sering pulang malam diantar lelaki yang berbeda-beda."

Ibuku mulai mengoceh seperti burung beo, tentu saja membuat aku kesal namun diri ini hanya menyikapinya dengan tenang dan masa bodo.

"Kenapa harus diambil pusing sih, Bu!! Toh juga aku pulang malam itu karena bekerja di resto Bu, tutupnya itu jam sepuluh malam."

"Kalau untuk yang mengantarku itu semua teman-teman satu kerjaan, aku kan juga tidak punya kendaraan lumayan kan untuk menghemat uang!" sahutku lagi menimpali ibu yang tidak paham-paham dengan penjelasanku.

Tidak ada henti-hentinya aku untuk memberi pengertian pada ibu, namun tetap saja beliau ini orang yang sangat ngeyel dan juga sangat keras kepala.

"Masalahnya status kamu itu janda, coba kamu menikah pasti mereka tidak akan membicarakan jelek seperti ini kepadamu!" balas Ibuku, yang membuatku semakin pusing.

Inilah kata-kata yang membuat aku muak itu adalah menikah!!

Memang apa salahnya dengan status janda, yang terpenting aku bukan pelakor yang merebut suami-suami orang di luar sana pikirku.

Aku pun mengingat, semua masa laluku yang masih menari-nari di pelupuk mata ini.

Pertama kali, aku menikah dengan seorang kekasih yang sangat aku cinta. Namun tidak di sangka, dia berhianat dengan adik sepupuku di malam pertama kami.

Pernikahan kedua, calon suamiku kabur karena pernikahan kami di landasi dengan sebuah perjodohan dan akhirnya aku menjanda dua kali.

Itu makanya aku menolak garis keras, untuk menikah lagi dan masih pikir-pikir seratus kali untuk berumah tangga.

"Lalu ibu mau aku bagaimana, mencari pacar lalu menikah? Apa Ibu pikir gampang, aku tidak mau Bu untuk gagal kesekian kalinya lagi. Sudah cukup dua kali aku gagal menikah, jangan sampai untuk yang ketiga kalinya!" ucapku dengan penuh penekanan.

Terlihat ibuku langsung memasang wajah yang berbeda, mungkin ia merasa tidak enak hati ketika secara tidak langsung memaksaku untuk menikah.

Meski aku merasa khawatir dan kasihan, aku tahu betul ibuku sangat menginginkan cucu karena usiaku juga sudah tidak muda lagi.

Mungkin bagi orang di luar sana, wanita karir yang memiliki usia 30tahun itu hal yang wajar. Tapi berbeda di tempatku ini, yang masih kental dengan budaya adat zaman dahulu.

Yang di katakan tidak lakulah, dan juga terlalu milih pasanganlah.

Aku mengusap wajah ini dengan kasar, dan langsung meninggalkan ibu yang masih terpaku duduk di ranjang tempat tidur.

Rasanya kepala ini terasa lelah, bukan hanya menghadapi sikap ibu tapi pastinya juga tetangga sekitar.

"Tyas ...."

Tok-tok-tok!!

Kudengar Ibu mengetuk pintu kamar mandi di luar sana, namun aku mengabaikannya.

Aku cukup malas membahas tentang pernikahan, bahkan aku tidak peduli dengan semua tetangga yang mengatakan ini dan itu tentang diriku.

Rasanya kalau ketahuan, ibu cabe rawit mana yang mengosipkan aku pasti akan aku hih!!

Setelah selesai aku melaksanakan ritual mandi tiba-tiba, aku sudah tidak mendengar suara beliau.

"Ke mana Ibu?" gumamku saat ini.

Aku langsung mencari pakaian ganti, dan mengenakannya untuk bersiap pergi bekerja. Kemudian aku mendengar suara, suara ramai di luar itu pun terdengar jelas sehingga mengusik Indra pendengaranku, aku merasa penasaran ada apa sebenarnya di luar sana.

Dengan mengenakan tas selempang, dan juga rambut yang di ikat cepol ke atas. Aku keluar untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar, hingga begitu terdengar ramai hingga ke kamarku.

Terlihat ada seorang wanita dan pria paruh baya membawa beberapa bingkisan berada di ruang tamu.

"Begini kedatangan saya Jeng Nita, Jeng Nita kan punya anak perempuan. Bagaimana kalau kita nikahkan saja, anak saya sudah 35 tahun tapi belum mendapatkan jodoh!" ujarnya sambil menatap ibuku.

DEG!!

Tubuh ini langsung gemetar, ketika mendengar penuturan wanita paruh baya itu mengatakan bahwa ia meminta ibuku untuk menjodohkan aku dengan anaknya.

"Walah betulan sekali, anak saya sudah 30tahun belum menikah juga!" ucap ibuku menimpali kata-kata wanita paruh baya itu.

Akupun menautkan kedua alisku, bisa-bisanya ibuku mengatakan usiaku pada orang-orang. Kan aku jadi malu seakan-akan sudah tidak laku saja, hingga di beberkan umur yang sudah 30 tahun keatas.

"Wah ... kebetulan dong. Gimana kalau kita jodohkan saja, lagian aku sudah cukup kepepet kepengen punya cucu!" ujarnya lagi kepada ibuku sambil tersenyum renyah.

Lalu ibuku pun tampak gembira dengan kedatangan wanita paruh baya itu yang memiliki niat tentang perjodohan ini.

"Anak Jeng Esih, yang waktu itu kuliah di Kairo kan ya?" tanya ibuku dengan antusias, seketika membuat aku geram yang mendengarnya.

"Iya Jeng, sampai saat ini belum ada tanda-tanda memiliki seorang kekasih. Kan saya jadi khawatir, apalagi ia sudah cukup matang untuk berumah tangga."

"Tapi anak saya janda dua kali, apa Jeng Esih tidak keberatan memiliki menantu seorang janda?"

Lagi-lagi ibuku membuka kekuranganku, meskipun faktanya itu memang benar aku telah menjanda dua kali tapi kenapa hatiku terasa sakit begini ketika mendengarnya.

Aku merasa tidak terima karena menurutku, Aku tidak ingin menikah buru-buru aku ingin mencari jodohku dengan pilihanku sendiri dan tidak ingin kejadian masa lalu terulang kembali.

Aku langsung melangkahkan kaki ini menghampiri mereka, tentu saja ibuku langsung menyambutnya dengan sumringah.

"Nah ini, namanya Tyas!! Sini duduk dulu, ada temen Ibu dari solo kasih salam dong!"

Tampaknya ibuku memaksa untuk mengenalkan diri di hadapan wanita dan pria paruh baya itu.

"Walah Tyas ini yang dulu pernah ke rumah toh?"

"Iya, cantik kan meskipun usianya sudah 30tahun dan sudah sangat matang, tapi tetap cantik."

Aku langsung membeliakkan kedua mataku kepada ibu, bisa-bisanya dia mengatakan itu pada anaknya sendiri.

"Ayo salaman dulu Tyas," tutur ibu padaku.

Lagi-lagi ibuku bersikap menyebalkan, dan seakan-akan ingin sekali aku membungkam mulut ibuku sendiri yang asal ceplas-ceplos.

"Om, Tante saya Tyas!" ujarku memperkenalkan diri, terpaksa aku duduk di tengah-tengah mereka padahal aku sudah tidak nyaman mendengar cerita yang sebelumnya kudengar mereka akan menjodohkanku dengan anaknya.

"Cantik ya Tyas, padahal dulu masih ingusan!" ujar lelaki paruh baya itu, mengatakan saat dulu aku masih ingusan, benar-benar menyebalkan.

"Iya padahal dulu kalau pakai baju aja dimasukin, sampai tenggelam tubuhnya!" istrinya menimpali pria paruh baya itu lagi.

Memang kenyataannya memang benar, tapi itu tak seharusnya juga membuka kejelekanku di saat kecil itu. Dasar orang tua jaman sekarang, taunya hanya menilai dulu tidak pernah menilai sekarang.

"Tapi beda kan sekarang Jeng Esih, sekarang sudah putih, tinggi, cantik seksi mulus lagi," tambah ibuku sehingga membuat mereka tertawa.

"Ibu apaan sih," bisikku.

"Tapi memang bener Jeng, Tyas kamu sekarang cantik kayak model go internasional!" ujarnya dengan suara medok khas Jawa.

Aku hanya tersenyum tipis, sebenarnya aku sudah ingin sekali pergi dan kabur dari hadapan mereka.

Tapi mau tidak mau sepertinya aku harus menghargai mereka untuk sementara waktu, lalu menolak perjodohan yang hendak mereka rencanakan saat ini.

"Begini Tyas, kedatangan Om dan Tante mau menjodohkanmu dengan anak Tante. Lagian kamu kan juga sudah memasuki usia dewasa, anak Tante juga sudah 35tahun sepertinya sangat cocok."

Aku tersenyum kecil menatap wanita paruh baya itu yang tak lain adalah Tante Esih. "Begini Tante, sepertinya aku belum ingin menikah!" jawabku, sehingga membuat ibuku yang di samping langsung mencubit pahaku dengan keras.

Aaaaa!! Aku meringis menahan sakit saat dicubit oleh ibuku, benar-benar tidak punya perasaan orang tua zaman sekarang.

"Maksud Tyas, dia belum siap sekarang. Bagaimana kalau kita bicarakan lagi nanti, kalau perlu nanti Jeng Esih datang ke sini untuk melamar!" ibuku menimpalinya.

Apa katanya, langsung lamar?

Aku pun langsung memasang wajah protes, dan keberatan. Bahkan aku belum tahu seperti apa calon suamiku nanti, aku tidak mau seperti beli kucing dalam karung.

Bahkan aku berpikir apa jangan-jangan dia sudah tua secara usianya 35tahun, beda lima tahun sih tapi aku merasa ragu jangan-jangan dia sangat jelek sehingga usia 35tahun belum menikah.

"Hah, iya betul Tante, Om maaf!" ucapku sedikit gugup.

Aku benar-benar tidak menyangka, ibu benar-benar sangat antusias ingin menjodohkan aku dengan anak temennya ini.

Entah aku bisa lari dari masalah ini atau tidak, sepertinya aku harus mencari ide untuk menggagalkan keinginan ibu yang sangat antusias.

'Huh, benar-benar sial!! Mimpi apa aku semalam, bisa-bisa ada orang datang melamar!' rurukku dalam hati.