"Apa kau orang suruhan kakekku?" tanyanya lagi masih dengan gugup.
"Aku tidak ingin pulang! Menyingkirlah dariku!" Tubuh Elyana bergetar karena takut. Pria itu semakin mendekatinya.
"Hem, siapa kakekmu?" tanya David, tidak mengerti dengan ucapannya.
"Apa kau kabur dari rumah?" tebaknya. "Pantas saja, kopermu sangat besar. Barang di dalamnya juga cukup banyak!"
Ada senyum yang terlintas dari wajah tampan itu. Tapi, Elyana sama sekali tidak melihatnya. Bahkan, tidak bisa melihat wajah pria itu dengan jelas.
"Apa yang kau lakukan dengan koperku?" Elyana mendengar pria itu membahas tentang isi di dalam kopernya.
"Kau tidak boleh membuka barang milik orang lain tanpa ijin!" Elyana tidak suka barang pribadi miliknya dibuka oleh orang lain. "Itu namanya 'tidak sopan'."
David mengangkat kedua alisnya. Berkata dengan penuh godaan, "Jika kami tidak membuka kopermu, harus dengan apa mengganti pakaianmu? Di rumah ini tidak ada pakaian untuk wanita. Apa kau mau, memakai pakaianku? Hem?"
"Atau ... kau mau memakai pakaian para pelayan di rumah ini?" godanya lagi.
Mendengar kata "Pelayan" dari mulut David, Elyana jadi teringat sesuatu.
Tadi siang, sebelum menerima telepon dari Daniel, Elyana sedang melihat-lihat lowongan pekerjaan di ponselnya.
'Mengapa tidak mencari pekerjaan sebagai pelayan saja? Dengan begitu, orang suruhan Kakek tidak akan menemukanku!'
Memikirkan tentang hal itu, Elyana merasa lega.
"Di mana pakaian yang tadi siang aku pakai?" Dengan berani ia bertanya tanpa rasa takut dan ragu lagi. Karena ternyata, pria itu bukanlah orang suruhan Yuan Louis.
"Sudah dibuang!"
"Apa ... dibuang? Kemana kau membuang pakaianku?" Elyana menyibak selimut. Ia bangkit berdiri, berniat untuk pergi mencari pakaiannya.
"Tong sampah yang ada di luar rumah!"
"Apa???"
'Brengsek! Dia membuang pakaianku ke tong sampah? Sial!'
Elyana segera berjalan menuju pintu keluar, berniat untuk mengambil pakaiannya. Lebih tepatnya, ia mencari ponsel yang ada di saku celananya.
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Elyana merasakan kakinya teramat sakit. Ia meringis, berjongkok di lantai agar tubuhnya tidak terjatuh.
"Awhhh!"
"Kau kenapa?" David segera menghampirinya. "Kakimu masih cedera karena tertabrak mobil. Dokter bilang, kau harus banyak istirahat. Jangan bergerak dulu."
David segera menggendongnya, membawa tubuh ramping Elyana kembali ke atas tempat tidur.
Elyana merasakan sakit di kakinya. Tanpa sadar, ia memegang leher David dengan kedua tangan.
"Ah, sakit!" ringisnya lagi. Tidak kuat menahan denyutan di tulang kakinya yang terasa semakin menyayat.
Elyana tidak melepaskan ikatan tangannya ketika sudah dibaringkan di atas tempat tidur. Ia terus memeluk leher itu, seolah mencari kenyamanan di sana.
David hanya diam tanpa bergerak. Membiarkan tubuhnya membungkuk ditarik oleh Elyana. Posisi mereka sangat dekat, saling menempel satu sama lain. Hembusan napas dari wanita itu, bisa ia rasakan.
Entah sudah berapa lama posisi seperti ini berlangsung, hingga rasa pegal mulai terasa di pinggang kekar pria itu.
"Kau masih tidak ingin melepaskan aku?" bisiknya di telinga Elyana. Tidak berani melepaskan diri secara paksa.
"Kakiku sakit! Kau tidak bisa merasakannya!" balas Elyana dengan manja.
Ia segera melepaskan tangannya dari leher David. Menatap pria itu sekilas, lalu menarik selimut, menguburkan diri di dalamnya.
Sebagai nona kedua di keluaranya, Elyana memiliki sifat manja. Ia paling tidak bisa menerima rasa sakit di tubuhnya. Luka sedikit saja, akan menjadi sebuah luka besar bagi dirinya.
Biasanya, jika ia sedang terluka, ada ibunya yang akan memeluk dan menenangkannya. Tapi sekarang, ibunya sudah meninggal, dan dirinya berada di rumah orang asing. Elyana tidak bisa bersikap manja lagi seperi di rumahnya sendiri.
Melihat Elyana meringkuk di bawah selimut, David segera menegakkan badannya, memijat pinggang yang terasa pegal, lalu beranjak pergi. Ia menatap sekilas Elyana sebelum menutup pintu kamar.
Di luar kamar, David mengambil ponsel dari saku celananya. Ia menuruni tangga sambil menghubungi seseorang.
Terdengar suara kemarahan dari seberang telepon, "Kau gila, ya? Meminta aku datang ke rumahmu sekarang, hanya untuk memeriksa wanita itu!"
"David! Apa kau tidak tahu ... ini sudah jam berapa, hah? Sekarang, sudah jam dua belas malam, waktunya aku tidur sambil memeluk istriku. Bukan waktunya bekerja sebagai dokter!" ucapnya lagi dengan kesal.
"Tuan Muda David, usiamu sudah menginjak tiga puluh tahun. Sebaiknya, terima saja perjodohan yang dipersiapkan oleh orang tuamu. Nanti, kau bisa tidur nyenyak sambil memeluk istri, tidak perlu merawat wanita yang kau temukan di jalan!" sindirnya dengan nada memprovokasi.
"Hey, mengapa malah mengguruiku? Kau bersedia datang ke rumahku atau tidak?" sergahnya tanpa basa-basi. David tidak butuh omong-kosong dari mulut Felix. Yang ia butuhkan hanyalah dokter untuk memeriksa kondisi Elyana.
"Baiklah ... baiklah! Aku segera ke rumahmu. Puas?" teriak Felix, kesal.
Ia tahu, dirinya tidak ada kekuatan untuk membantah perintah David. Jika Felix berani membantah perintahnya, mungkin besok, David akan memecatnya sebagai kepala rumah sakit milik keluarga Demino. Itu amat mengerikan dari apapun.
"Dua puluh menit! Harus sampai dalam waktu dua puluh menit. Tidak boleh kurang!"
"Apa? Hey, jangan bercanda. Mana bisa dua pul—"
Klik!
David menutup teleponnya. Tidak mau mendengar alasan apapun dari Felix.
Benar saja, dalam waktu tiga puluh menit, Felix sudah tiba di rumah David. Ia datang masih memakai pakaian tidurnya. Terlihat bahwa ia pergi terburu-buru hingga lupa mengganti pakaian.
"Kau telat sepuluh menit!" ucap David dengan sini. Ia duduk di sofa, menunggu kedatangan Felix.
"Hah ...." Felix terkejut mendengarnya. "Dasar pria gila! Hanya sepuluh menit saja, kau begitu perhitungan sekali!"
Mereka berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua—kamar tidur milik David.
"Tadi di jalan, aku membeli ini untuk wanita itu!" Ia mengulurkan tangan, memberikannya pada David.
"Apa ini?" David menerimanya.
"Bubur!" jawab Felix. "Untuk meredakan rasa sakitnya, wanita itu harus makan obat pereda sakit. Sebelum makan obat, dia harus makan dulu, kan? Jadi, aku membawakan ini, untuknya."
Hehe!
Ini adalah cara Felix untuk mendapatkan simpati dari David. Ia tidak ingin, David menyulitkan dirinya di kemudian hari.
Mereka segera masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, Elyana sudah tertidur pulas sambil memeluk erat selimutnya. Wajahnya terlihat sangat tenang , tidak nampak sedikit pun rasa sakit dari raut wajahnya. David tidak tega untuk membangunkan Elyana.
"Jadi???" Felix menatap David dengan tajam. Tangannya terkepal erat. "Aku tidak perlu lagi memeriksa gadis jalanan ini?"
David hanya mengangguk. Tidak berkata apapun pada Felix.
"Sini!" Felix mengambil kantong makanan dari tangan David. "Aku habiskan saja bubur ini sendiri! Aku berbaik hati membawakan bubur hangat ini untuknya, dia malah tidur!"
"Habiskan saja di rumahmu! Kau boleh pergi sekarang!"
"Apa kau mengusirku?"
"Bukan mengusir, aku hanya berbaik hati mengijinkanmu pulang. Bukannya kau masih ingin tidur sambil memeluk istrimu?" David balas menyindirnya.
"Daviiiiiid!"
"Sstttt! Jangan berisik! Kau bisa membangunkan dia!" ucapnya dengan santai sambil melihat Elyana yang sedang tidur.
Tidak ingin terus dipermainkan oleh sahabatnya, Felix segera pergi meninggalkan rumah David.
*
Satu minggu telah berlalu. Kondisi Elyana sudah jauh lebih baik. Kakinya pun tidak terasa sakit lagi. Sudah tidak ada alasan baginya untuk tinggal di rumah ini.
Di meja makan, Elyana menyantap sarapan paginya dengan cepat. Ia sudah tidak sabar ingin segera berbicara serius dengan David, sebelum pria itu pergi ke kantor.
Melihat tingkah laku Elyana yang sedikit aneh, David pun bertanya, "Ada apa? Apa ada sesuatu yang kau inginkan?"
Uhuk! Uhuk!
Elyana tersedak oleh makanannya. Ia segera mengambil air minum untuk melegakan tenggorokan.
Dengan polos ia tertawa, "Hehe, bukan! Aku hanya—"
"Edwin!" David memotong ucapannya dengan memanggil asisten pribadinya. "Berikan ponsel Nona Elyana, sekarang!"
"Baik, Tuan!" Edwin segera memberikan ponsel berwarna merah muda itu pada Elyana.
"Ponselmu baru selesai diperbaiki. Lihatlah ... apa masih ada kerusakan?" ucap David pada Elyana.
Wanita itu jelas terkejut melihat ponselnya ada di atas meja. Padahal, malam itu, Elyana mengira ponselnya sudah dibuang ke tong sampah oleh David
'Ternyata ... dia memperbaiki ponselku!'
Elyana segera melihat ponselnya. Ketika di nyalakan, sudah ada puluhan pesan masuk di sana. Ada banyak pesan dari Yuan Louis, sebagian lagi dari Daniel dan Arani.
Elyana ingat, waktu itu, ia belum sempat memberitahu Arani ketika dirinya pergi dari rumah. Wanita itu pasti khawatir karena Elyana tidak menghubunginya selama satu minggu.
Tidak ingin membuat Arani khawatir, ia segera mengirim pesan singkat pada Arani. Memberitahu dia bahwa dirinya baik-baik saja.
"Apa ponselmu masih ada masalah?" tanya David, ketika melihat Elyana terus memainkan ponselnya.
"Ah, tidak! Semuanya baik!" balasnya. Ia segera menyimpan ponselnya kembali.
"O, iya ...." Elyana mulai serius. Ia berkata, "Karena sekarang aku sudah sembuh, aku akan pergi dari rumah ini. Aku tidak ingin terus merepotkanmu dan juga merepotkan semua orang. Kebaikan kalian semua, sungguh aku berterimakasih!"
"Apa? Pergi?" David yang sedang makan, langsung menyimpan alat makannya di atas piring. Ia tidak senang mendengar Elyana mengatakan hal itu.
"Mengapa harus pergi? Apa kau tidak nyaman tinggal di rumah ini? Apa yang membuatmu tidak nyaman berada di sini?" tanya David dengan nada mengintrogasi.
Ia berpikir sejenak, lalu berkata lagi, "Bukannya waktu itu kau kabur dari rumah? Jika itu benar, tinggallah di rumah ini. Mengapa harus pergi keluar lagi?"
Elyana hanya diam. Tidak menjawab ucapan David.
"Nanti malam, tunggu aku pulang! Kita akan makan malam diluar untuk merayakan kesembuhanmu!"
Setelah mengatakannya, David bangkit berdiri, Ia bersiap pergi ke kantor tanpa menghabiskan sarapannya.
"Edwin, ayo kita berangkat!"
"Baik, Tuan!"