Sebuah mobil hitam menembus kegelapan malam di jalan kota dengan kecepatan tinggi. Pria yang duduk di dalamnya terlihat tidak sabar memutar roda kemudinya ke kiri dan kanan.
Sebuah pesan singkat dari Felix terus terngiang di kepalanya. Pesan itu berbunyi, ["Suami macam apa, kau? Membiarkan istrimu pingsan di halaman rumah sakit dengan keadaan yang cukup memperihatinkan. Untung saja ada aku, yang membayar ongkos taksinya dan segera membawa dia ke ruangan khusus untuk menerima perawatan. Jika tadi aku tidak ada di halaman rumah sakit, mungkin istrimu sudah mati. Kau tidak bisa lagi memeluknya saat tidur! Hahaha!"]
Masih saja penuh ejekan.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Tadi, bola matanya terlihat merah, wajahnya pun sangat merah, keringat banyak di dahinya. Apakah itu karena dia sangat marah, ingin segera turun dari dalam mobil, atau karena hal lain?"
David terus berpikir. Ia mengingat kembali, dari mulai pertama kali bertemu dengan Elyana, hingga wanita itu menjadi istrinya.
"Bukanlah, di dalam kartu identitasnya tertulis, dia tinggal di kota Lyon? Kabur dari rumah dan takut pada orang suruhan kakeknya? Sekarang, dia menjadi pengantin wanita di acara kemarin? Menjadi putri Alex Danu, dan memiliki tahi lalat di wajahnya. Bukanlah itu tahi lalat yang Elyana buat sendiri? Mengapa ibunya kandungnya sendiri tidak tahu tentang hal itu? Sebenarnya, ada apa dengan semua ini?"
Semakin dipikirkan, malah semakin membingungkan.
Tidak ingin terus menebak-nebak apa yang sebenarnya terjadi, David segera menghubungi Edwin melalui sambungan telepon. Ia memberi perintah pada asistennya.
"Selidiki lagi semua hal tentang keluarga Danu. Termasuk putri tunggal mereka—Elyana! Dari mulai dia kecil, hingga tumbuh dewasa. Jika bisa, selidiki juga, siapa saja mantan pacarnya!" Ia memelankan suaranya ketika mengatakan kalimat yang terlahir.
Siapa mantan pacarnya? Mengapa ia begitu peduli dengan hal itu? David sendiri pun tidak mengerti.
"Yang aku inginkan, semua informasi lengkap dan akurat! Tidak ingin, ada kesalahan informasi sedikit pun!" tambahnya lagi, pada Edwin.
"Baik, Tuan!"
*
Tiba di rumah sakit, David segera turun dari dalam mobil. Ia naik ke lantai atas untuk mencari ruang rawat Elyana.
Gedung tinggi dan besar besar ini merupakan rumah sakit swasta milik keluarga Demino, di mana Felix—bukan hanya sebagai seorang dokter—juga ditunjuk sebagai kepala rumah sakit oleh Darwis.
Sebenarnya, yang seharusnya menjabat sebagai kepala rumah sakit ini adalah Danial—adik laki-laki David—yang berusia dua puluh delapan tahun. Tapi, Danial masih berada di luar negeri, entah kapan akan kembali.
Tok! Tok! Tok!
Sebelum David benar-benar membuka pintu ruang rawat Elyana, ia mengetuk pintu terlebih dahulu. Setelah beberapa detik tidak ada yang menjawab, ia segera membuka pintu dan masuk ke dalam.
Terlihat seorang wanita berbaring dengan lemah di atas tempat tidur mengenakan pakaian pasien. Wajahnya terlihat merah, dengan bintik-bintik di leher dan dadanya.
"Elyana! Kau sudah tidur?" bisiknya tiba-tiba. Ia berdiri di sampingnya, mengelus punggung tangannya dengan pelan.
Bukannya ia ingin membangunkan wanita lemah ini, tapi, David hanya ingin memastikan, Elyana sungguh tidur atau hanya berpura-pura.
Tidak ada respon apapun dari wanita itu, David tidak berbicara lagi. Ia hanya duduk di samping tempat tidur pasien sambil terus menatapnya.
Ada banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Elyana, tapi ia urungkan. Bukan hanya karena wanita ini sedang berbaring lemah di tempat tidur, tapi juga karena ... ini bukan waktu yang tepat untuk membahas tentang hal itu.
Ketika ia masih duduk di samping Elyana, terdengar suara seseorang memegang pegangan pintu, perlahan pintu ruangan terbuka. Terlihat seseorang berdiri di depan pintu, lalu orang itu menutup pintunya kembali ketika melihat di dalam ruang rawat Elyana ada David.
David segera bangkit berdiri. Dengan langkah besar mengejar orang yang tadi membuka pintu.
"Tunggu!" teriaknya ketika sudah ada di lorong rumah sakit.
"Daniel! Apa tawaran yang Edwin berikan kemarin masih kurang?" ucap David, tiba-tiba menghentikan langkah orang itu.
Daniel berdiri di tempat, memunggungi pria yang memanggilnya tanpa menjawab.
David semakin mendekat. Ia berkata kembali, "Aku mendengar kau dan Elyana bertengkar kemarin. Jika Elyana membuatmu tidak puas, kau tinggal bilang saja kepadaku. Sebagai seorang suami, aku akan bertanggung jawab atas semua yang telah dia lakukan terhadapmu."
"Suami?" Tiba-tiba Daniel memutar badannya, berdiri berhadapan dengan David sambil mengerutkan kening. "Kau ... suaminya? Sejak kapan Elyana bersedia untuk menikah?"
Setahu Daniel, Elyana selalu menolak jika kakeknya akan menjodohkan dia dengan seorang pria. Tidak pernah pula ia menerima pernyataan cinta dari teman prianya. Gadis itu selalu menutup hatinya untuk siapa pun. Karena ... ada seseorang yang dia tunggu.
Tapi, sekarang?
Terdengar David menjawab, "Sejak kami menerima perjodohan!"
"Apa??? Jadi, Elyana menerima perjodohan itu?"
'Sial! Setelah apa yang aku dan Arani lakukan, pada akhirnya Elyana menerima perjodohan itu! Jika tahu dari awal akan berakhir seperti ini, aku dan Arani tidak perlu membantunya kabur. Tidak perlu kami masuk rumah sakit karena dihajar oleh orang suruhan kakeknya. Keluargaku juga tidak perlu mengalami kebangkrutan seperti sekarang."
Akhirnya, Daniel memutuskan untuk mengatakan semuanya.
"Baik, karena kau adalah suaminya, aku akan mengatakan semuanya kepadamu!"
*
Di sebuah rumah makan yang buka dua puluh empat jam, Daniel dan David duduk berhadapan. Sesekali menyeruput minuman, sambil berbicara.
"Kemarin, Asisten Edwin sudah menawarkan beberapa hal kepadaku. Termasuk membebaskan semua biasa rawat Arani. Tapi, aku menolaknya. Aku tidak bersedia menceritakan masalahku dengan Elyana pada Asisten Edwin. Tapi sekarang, kau adalah suaminya. Bisa dibilang, kau biang kerok dalam beberapa masalah yang terjadi terhadapku dan juga Arani. Sudah seharusnya kau mempertanggungjawabkan dalam hal ini," jelas Daniel dengan penuh kepuasan. Ia sangat puas bisa menyalahkan pria yang menjadi suami Elyana.
"Apa maksudmu? Mengapa aku jadi terlibat di dalam masalah kalian?" David sama sekali tidak mengerti dengan semua ucapan Daniel.
Dibilang, dirinya adalah biang kerok. Itu sungguh membunuh citra baiknya sebagai pria terhormat.
"Katakan yang jelas. Sebenarnya, apa yang terjadi?" desak David tidak sabar.
"Sebelum aku mengatakan semuanya, kau harus berjanji dulu."
"Berjanji apa? Cepat katakan!"
"Karena ulah dari keluarga Elyana, orang tuaku mengalami kebangkrutan. Aku hanya ingin, kau mempekerjakan ayahku di perusahaanmu. Tentu saja harus di posisi yang bagus."
David mengangkat kedua alisnya. Bergumam dalam hati, 'Perusahaan Alex Danu sudah hampir bangkrut, menjual putri sendiri demi menstabilkan perusahaan mereka. Selain itu, dia masih bisa membuat orang lain bangkrut? Dan sekarang, masih aku yang harus membantu mereka dalam kebangkrutan?'
Jika bukan karena Elyana adalah wanita yang sudah menyentuh titik beku di hatinya, David tidak akan sudi melakukan semua ini. Dimanfaatkan oleh keluarga Danu dan orang-orang disekitarnya!
"Baiklah, aku berjanji. Sekarang, cepat katakan!" ucap David semakin tidak saba.
Mendengar David sudah berjanji, Daniel pun merasa lega. Ia mulai bercerita.