webnovel

Tanda Bahaya

"Ana? Bukankah aku sudah pernah bilang kalau kita harus hidup bersama sampai tua dan mati?" cetus Ares.

Ana menghentikan sendok yang hampir masuk ke mulutnya karena pertanyaan Ares yang tiba-tiba itu.

"Ares, apa kamu mengajak makan siang hanya untuk mengatakan hal itu? Aku sampai terkejut karena kamu mengatakan sesuatu yang tidak ada dalam topik pembahasan kita," balas Ana.

"Jangan mengabaikan pertanyaanku, Ana. Bagiku ini adalah hal yang sangat penting," balas Ares dengan tatapan yang langsung tertuju pada bola mata Ana.

"Baiklah, baiklah," balas Ana sambil meletakkan sendoknya. Ia menyeka mulutnya dengan tisu, kemudian melanjutkan, "Aku masih ingat dengan jelas. Kamu mengatakannya pertama kali sewaktu kita masih TK. Waktu itu kamu sampai hampir melempar mainan kepada seorang pria yang memberikan permen padaku. Kalau aku pikir-pikir, kamu sangat menempel padaku waktu itu. Kamu bahkan menghalau semua pria walau mereka hanya ingin berbicara padaku."

"Bukan hanya waktu itu saja. Sekarang aku masih melakukannya, Ana. Kamu tahu 'kan kalau semua pria itu jahat? Mereka hanya mendekatimu karena ingin mengincar harta," balas Ares.

"Ya, ya, aku tahu," balas Ana sambil mengayunkan tangannya di udara dengan sepele. "Berkat kamu yang selalu menempel padaku, akhirnya semua serangga itu pergi. Aku pun bisa melewati hari-hariku dengan baik dan nyaman," lanjut Ana.

Cara Ana dan Ares dalam menanggapi topik ini sangat berbeda. Ana memiliki hati yang ringan dan menganggap kalau pembicaraan itu hanya percakapan basa-basi. Sebaliknya, Ares sudah mengeraskan rahangnya sejak mulai mengangkat topik itu.

Ares pun menangkap tangan Ana dengan harapan meminta keseriusan Ana. Sambil menatap Ana dengan mata yang menuntut kejelasan, Ares pun bertanya, "Lalu, kenapa kamu mulai melihat seorang pria?"

"Seorang pria? Apa maksudmu?" tanya Ana.

Tepat saat itu, Dewi muncul sambil merapikan rambut setelah sebelumnya izin ke kamar mandi.

"Tunggu! Apa kamu menempatkan mata-mata baru di sebelahku?" cetus Ana sambil menatap ke arah Dewi.

Dewi sampai menghentikan langkahnya otomatis karena tersentak dengan pertanyaan Ana. Dewi langsung merasa kalau mata-mata yang dimaksud adalah dirinya.

"Apa yang kamu maksud dengan mata-mata? Hahaha...," balas Dewi yang diakhiri dengan tawa yang canggung.

"Sekarang kamu pergilah!" cetus Ares untuk memberikan perintah kepada Dewi.

Ana dan Dewi yang tadi saling menatap langsung mengalihkan pandangan mereka pada Ares karena perintah Ares yang begitu tiba-tiba.

"Apa maksudmu Ares?" balas Dewi sambil menggaruk-garuk pipinya. Kebingungan yang Dewi rasakan membuat tangannya mencari-cari pekerjaan untuk menyibukkan diri agar tidak tampak terlalu bodoh.

"Kamu tidak dengar kataku? Aku bilang pergi!" ucap Ares dengan perintah yang diulang.

Perintah Ares yang kedua diucapkan dengan nada yang lebih rendah, tetapi lebih menekan. Ada suasana mencekam yang tidak biasa yang mengalir hanya di sekitar mereka. Padahal mereka berada di restoran yang seharusnya cerah dan hangat, tetapi sikap Ares membuat seakan-akan mereka sedang berada di medan perang.

"Ka-Kalau begitu, aku pergi dulu!" ucap Dewi sambil mengambil tasnya yang terletak di meja dan pergi dengan terburu-buru.

Melihat Dewi melarikan diri, Ana langsung beranjak dari tempatnya untuk mengejar Dewi.

"Hei, Dewi! Kamu masih belum menjelaskan padaku tentang--"

Ucapan Ana itu terhenti karena tubuh yang seharusnya bergerak mengejar Dewi malah tidak bisa bergerak dari tempatnya. Yang menyebabkan itu semua adalah tangan Ana yang masih digenggam erat oleh Ares sejak Ares memegangnya beberapa saat lalu.

"Ares, bisakah kamu melepas tanganku?" tanya Ana dengan posisinya yang masih berdiri tegak.

"Duduklah, Ana. Kamu tidak akan bisa mengejar Dewi," balas Ares.

"Hahh..." Ana menghela nafas frustrasi sambil memegang keningnya sebelum melanjutkan, "Aku akan bisa menangkapnya tadi jika kamu tidak menahanku seperti ini. Lalu, jika kamu melepaskan tanganmu sekarang, aku masih bisa mengejar Dewi yang berlari dengan hak tinggi yang menempel di kakinya."

"Duduklah, Ana. Kita yang lebih dulu berbicara sebelum temanmu itu muncul. Lagi pula...." Ares melirik sekitarnya dan menyeringai, sebelum kemudian melanjutkan ucapannya dengan berkata, "Sekarang semua orang sedang menatap kita."

Ana tersentak. Ia langsung memalingkan mukanya dan melihat ke sekitar untuk memastikan ucapan Ares. Ares benar, sekarang semua orang sudah berbisik sambil mengarahkan tatapan mereka kepada Ana.

"Ck! Sekali lagi orang-orang akan menganggap kita bertengkar sebagai sepasang kekasih," gerutu Ana sambil mengeluarkan decak kesalnya. Ia menurunkan tubuhnya dan kembali duduk dengan hati yang terpaksa.

"Aku tidak keberatan jika kita dianggap seperti itu," ujar Ares.

"Tetapi aku yang keberatan," imbuh Ana sambil menatap tangannya yang masih digenggam Ares. Ia berupaya menarik tangannya itu, tetapi Ares tidak bermurah hati untuk melonggarkan tangannya. Justru, Ares memperkuat cengkeramannya agar tangannya tidak terlepas.

Selama mereka berperang dengan tangan yang saling tarik-menarik, percakapan mereka terus berlanjut.

"Apa kamu tidak menyukaiku, Ana? Atau kamu malu bersamaku?" tanya Ares.

"Bukan begitu, Ares. Jelas aku menyukaimu, karena kamu satu-satunya saudara kembarku. Akan tetapi, walau kita kembar, wajah kita tidak ada mirip-miripnya sama sekali. Jika kita duduk berdua, orang-orang akan mengira kalau kita adalah pasangan. Itu membuatku cukup terganggu," jawab Ana.

"Tetapi aku menyukainya. Aku tidak masalah dengan pandangan orang tentang kita seperti apa, yang penting itu adalah aku dan kamu," balas Ares.

"Inilah sebabnya aku menyuruh kamu untuk mencari teman, Ares. Atau carilah pacar. Kita sudah dewasa. Sampai kapan kamu akan mengajakku pergi keluar hanya untuk makan seperti ini? Sekarang kamu bahkan sampai memanfaatkan temanku. Tolong biarkan setidaknya aku berteman dengan nyaman. Jangan bergabung dengan kami jika kami jalan berdua, dan yang terpenting, jangan paksa Dewi untuk memata-mataiku," ucap Ana dengan nada menggerutu.

Meskipun Ana sedang dalam suasana hati yang buruk, dan tangan kirinya sedang dijaga oleh Ares, Ana masih sempat memanfaatkan tangan kanannya yang bebas untuk memasukkan kentang goreng yang ada di meja untuk masuk ke dalam mulutnya.

"Astaga! Apa perutku tidak bisa diajak kompromi? Bisa-bisanya aku merasa lapar di tengah-tengah kekesalanku," ucap Ana untuk mengutuk perutnya.

"Aku tidak memaksanya. Wanita itu sendiri yang menawarkan dirinya untuk menjadi perantara untukku. Dari yang aku perhatikan, ia tidak tulus berteman denganmu," ucap Ares yang kembali melanjutkan topik bahasan mereka.

Ini adalah kedua kali Ana menghentikan proses makannya karena terkejut. Ana membulatkan matanya karena langsung memahami maksud dari ucapan Ares.

"Jangan bilang ... kalau ia menyukaimu, dan ia mendekatiku karena kamu menyuruhnya semata-mata hanya untuk mendapatkan hatimu?" tanya Ana sambil menunjuk Ares dengan sepotong kentang goreng di tangannya.

"Ya ... tebakanmu benar, tetapi bisakah kamu menurunkan kentang goreng itu? Menurut hukum alam, aku lebih tua. Jadi bersikap sopanlah kepada Kakakmu ini," balas Ares.

"Kakak apaan? Tanggal lahir kita dalam kartu keluarga sama persis. Hanya saja kamu yang lebih dulu mengeluarkan kepalamu dari rahim Mama. Itu pun jaraknya hanya beberapa menit sampai aku kemudian muncul. Sudahlah! Berhenti membicarakan ini. Yang penting kamu harus mencari pacar segera, Ares! Kamu harus segera mencari orang yang kamu sukai dan pergi menghabiskan waktu dengannya. Bukan dengan menempel padaku seperti ini," balas Ana sambil kembali melakukan upaya untuk menarik tangannya.

Kali ini, Ares sempat lengah dan tangan Ana terlepas. Akan tetapi, Ares dengan cepat menangkap kembali tangan Ana sebelum tangan itu kunjung menjauh.

Berbeda dengan sebelumnya, Ares tidak mencengkram tangan Ana, melainkan menautkan jari-jarinya dengan Ana. Yang lebih menggelikan, Ares menggesek-gesek jari jempolnya sehingga membuat tubuh Ana bergidik.

"Tetapi aku hanya menyukaimu, Ana. Aku tidak bisa menyukai wanita lain selain kamu," tegas Ares.