Kini cahaya Rembulan berada di tengah awan, mulai bersinar memancarkan cahaya terangnya menemani sang malam. Di saat Mentari mulai tertidur di malam yang gelap, cahaya terangnya lah yang menyinari bumi di malam hari.
Murid-murid keluar dari tenda. Hentakan kaki orang ramai terdengar jelas. Mereka berbondong-bondong berjalan menuju ke satu arah yang sama.
"Vania, Lisa, kayaknya partynya udah mau mulai tuh. Aku kesana dulu ya bestie." ucap Bella dengan nada sok asik.
Bella keluar dari tenda, ia berjalan mengikuti arah yang sama seperti murid-murid yang lain.
"Vania, ke sana yuk," ucap Lisa, ia mengajak Vania agar ikut ke pesta bersama.
"Bentar, aku nyari kacamata ku dulu." Vania berusaha mencari kacamatanya yang sedang tak dikenakannya dan tak dipegangnya.
Lisa menghela nafasnya, mengapa dia bisa memiliki sahabat yang memiliki kepintaran dalam pelajaran, yang bisa dikatakan jenius, tapi juga bego diwaktu yang sama.
Lisa menunjuk ke kacamata yang dia kaitkan di belahan kancing bajunya. "Itu apa?"
Vania menengok ke belahan kancingnya, ia menyengir malu menyadari hal itu. "Hehe, lupa."
Lisa menghela nafasnya.
Vania mengambil kacamata yang ada di sekitar belahan kancingnya, lalu mengenakan kacamatanya.
Vania berdiri. "Okeh," Lalu ia mengajak Lisa, "Ayo Lisa."
Mereka berdua keluar dari tenda, berjalan mengikuti orang-orang ramai yang sedang berjalan menuju ke kobaran api unggun yang menyalak heboh. Murid-murid sedang asik menyanyi-nyanyi, berbicara, dan melakukan kehebohan lain saat sedang memutari api unggun yang membara.
Beberapa kembang api dinyalakan lalu dilontarkan ke arah langit-langit, percikannya menjadi cahaya sekejap yang terlihat indah di langit-langit malam.
"Wuuuhuuu!!!" Max berteriak, menari-nari memutari api unggun. Ia sangat senang akan suasana tersebut. Max memang orang yang sangat senang dengan kemeriahan pesta, ia selalu haus akan keramaian.
Joshua sedang duduk, memangku wanita cantik yang bukan miliknya, ia sedang menggoda wanita tersebut.
"Kamu tau ga? Rasa kangen sama kamu tuh kayak balon hijau meledak," ucap Joshua, fokus menatap mata wanita yang sedang berada di pangkuannya.
"Kok gitu, emangnya kenapa?" tanya wanita tersebut dengan mata yang melebar.
"Bikin, hatiku sangat kacau," lanjut Joshua dengan nada suaranya mengikuti nada asli lagu original itu, ia tersenyum sembari menatap wajah wanita cantik yang sedang berada di pangkuannya.
Kedua pipi wanita itu memerah. "Kamu ah, apaan sihh."
"Josh, jujur, aku tuh udah nyaman banget sama kamu Josh, so please, jangan ghosting aku ya. Aku udah terlanjur sayanggg banget sama kamu, kamu harus tanggung jawab soal ini. Jangan menghilang dan ghosting aku ya."
"Sayang, satu-satunya yang menghilang itu hanyalah keraguan ku untuk memiliki kamu seutuhnya." Joshua mulai mendekatkan hidungnya ke hidung wanita yang sedang digodanya sembari menggerakkan hidungnya ke kanan dan ke kiri setelah saling bersentuhan, Joshua tersenyum simpul dengan matanya yang sedang tertutup. Setelah melakukan itu untuk beberapa detik, Joshua kembali menatap wanita yang sedang berada di pangkuannya dengan senyum khasnya dan dengan alis yang dikerutkan ke atas.
Wanita cantik yang sedang dipangkuannya hanya bisa tersenyum-senyum, senang akan apa yang Joshua lakukan.
Neman berada tak jauh dari Joshua. Neman memandang Joshua, ia berdecih, "Tch, dasar, low value man."
Seorang pria mulai memetik gitarnya, menghasilkan nada-nada yang indah ditemani suaranya yang merdu syahdu. "Pagi ke pagi, ku terjebak di dalam ambisi ...."
"Datanglah kepada kami." Tiba-tiba, Neman mendengar suara lirih yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Ia mendengar bisikan di telinganya, seakan memanggil dirinya.
Neman berdiri panik, menoleh ke kanan dan ke kiri dengan cepat, mencari asal usul suara tersebut.
"Keluarlah, dari, zona nyamann." Nyanyian seorang pemuda, dibarengi dengan nada-nada yang indah dari petikan gitarnya. Murid-murid lain yang berada di sekitarnya ikut meramaikan suasana dengan mengikuti lirik lagu yang sedang dinyanyikan oleh pemuda tersebut.
"Sembiluuu!!! yang dulu!!!" Max berteriak, suara falsnya terdengar menyekat telinga sedang menyambung lagu yang dinyanyikan pemuda tersebut.
"Aghh, di sini berisik banget." Neman kesal karena suara itu menjadi samar akibat kebisingan orang-orang di sekitar, ia pergi dari kerumunan yang berada di dekat api unggun.
Ia berjalan melewati hutan, mencari asal dari suara itu.
"Dunia kami, membutuhkan kekuatan anda." Suara lirih itu kembali terdengar jelas mendekatinya.
Neman merinding, bulu kuduknya berdiri tegak dengan sendirinya. "Apa yang kau inginkan?"
Sesosok makhluk putih menyerupai bayangan muncul entah darimana, melayang-layang dengan gemulai memutari Neman.
Neman merinding, merasa takut dan tak percaya akan apa yang dilihatnya.
"Mengapa kau selalu menggangguku? ... Jelaskan kepada ku!" Neman menatap ke arah atas, berbicara kepada makhluk yang sedang melayang di atasnya.
"Saya, akan membuatkan jalan untuk anda." Makhluk itu terus saja berbicara dengan nada yang lirih menyeramkan dan maksud yang tidak dipahami oleh Neman.
Makhluk itu kemudian terbang dengan cepat ke arah hutan-hutan dengan sangat cepat.
Neman meneguk ludahnya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.
Neman yang semakin takut berlari menuju ke arah sebelumnya untuk kembali.
BLARRR!!!
Suara petir menggelegar sangat keras. Saking kerasnya, suara itu seperti meriam langit yang di lemparkan ke arah bumi. Petir itu menyambar ke arah yang di lalui oleh makhluk tadi.
Semua orang yang berada di hutan itu menutup telinganya dan menutup mata dengan perasaan takut. Semua orang yang berada di dekat pesta api unggun menjadi diam seketika.
Suara petir sudah tidak ada, mereka menjadi tenang setelah itu.
"Buset dah, baru pertama kali ini gue denger suara petir sek ...."
Suara petir kembali menggelegar untuk kedua kalinya, ke arah yang sama seperti petir sebelumnya.
Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Max menjadi diam akibat suara dahsyat dari petir tersebut.
Neman berlari sekencang-kencangnya sambil menutup telinga. Ketakutan menyelimutinya, jantungnya berdetak kencang.
Cahaya kilat kembali terang menyinari asal petir tadi menyambar.
JDARRR!!!
Suara petir menggelegar lebih nyaring dari sebelumnya. Cahaya petir berhenti untuk yang ketiga kalinya.
JRASHH
Tiba-tiba, hujan turun membasahi seluruh hutan dengan sangat lebat.
Murid-murid berlarian compang-camping menuju ke tenda masing-masing. Api unggun yang menyalak terang kini menjadi padam, basah akibat derasnya hujan yang mengguyur tempat itu.
Vania pun ikut berlari, ingin pergi menuju ke tendanya. Vania terus berlari dan tersandung oleh batu.
Terlihat murid-murid sedang berteriak berlarian berusaha untuk kembali ke tenda nya masing-masing, suasana menjadi ricuh. Namun Vania tak mempedulikan itu. Ia berdiri, kemudian lanjut berlari ke arah tendanya.
Vania terus berlari hingga mendekati tenda kemahnya. Di tenda sudah ada Lisa yang sedang menunggu.
"Ayo cepat!" teriak Lisa yang sedang duduk di dekat resleting tenda.
Vania semakin mempercepat larinya. Ia kemudian berhasil masuk ke dalam tenda, lalu Lisa menutup resleting tenda.
Hujan itu bertahan cukup lama. Air hujan yang turun membasahi seluruh hutan itu dan sekitarnya terasa sangat lebat dan deras. Suara yang ada di sekitar menjadi tak terdengar karena suara deras hujan yang lebih bervolume tinggi.
Malam semakin larut. Para murid sudah tertidur, beristirahat di malam hari. Derasnya hujan juga membuat tidur mereka semakin nyenyak.
Di saat temannya, Lisa dan Bella sedang tidur dengan nyaman di dalam tenda, Vania begadang. Ia terjaga, akibat tertidur di siang hari yang membuatnya sulit untuk beristirahat di malam hari.
Waktu terus berjalan, hujan yang deras kini mereda.
Vania menyadari bahwa hujan itu sudah reda, ia kemudian melihat ke arah jam tangan Bella yang berada di tangan kirinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 malam.
Vania yang merasa bosan ingin beranjak keluar. Ia mengambil senter dari tasnya. Memasang sepatunya, kemudian membuka resleting tenda lalu berjalan keluar.
Tanah berumput hijau ruas menjadi becek akibat hujan deras yang tadi membasahi. Suasana di sana sangat sunyi, karena semua orang sedang beristirahat.
Dengan kesunyian hutan malam yang gelap dan menakutkan bagi orang lain, Vania tak mempedulikan itu. Vania bukanlah wanita yang bisa takut akan hal-hal mistis seperti itu. Kemudian ia memilih berjalan-jalan menyusuri hutan.