Beberapa bulan sudah Cempaka berada di rumahnya Kardiman. Tepatnya di rumah uwanya Kardiman.
Karena, entah mengapa dia tidak membawanya ke rumahnya atau ke rumah orangtuanya Kardiman atau mertuanya Cempaka.
Waktu pindahan itu, dia membawa rombongan kami ke rumah uwanya. Dengan alasan, uwanya tidak punya anak dan meminta supaya Kardiman dan Cempaka menemaninya karena dia hidup sendirian.
Cempaka tak banyak tanya, dia kira benar adanya semua yang di katakan oleh Kardiman.
Keesokkan harinya, orangtuanya Kardiman datang mengunjunginya. Bukan dia sebagai menantu yang datang mengunjungi mertuanya. Ini malah sebaliknya.
"Harusnya aku yang ke sana bu" Cempaka sungkan dengan perlakuan mertuanya.
"Tidak apa-apa, nanti kapan-kapan kamu ke rumah ibu" Jawabannya itu seperti yang sedikit ragu.
Dan... Sa'at itu Cempaka tidak mempermasalahkannya.
Tapi, waktu Cempaka mengajak Kardiman untuk menemui mertuanya atau orangtuanya. Kardiman menolaknya kembali dengan berbagai alasan yang tak jelas.
" Aku mau tahu rumah mertuaku dan aku juga ingin mengenal lebih dekat lagi dengan beliau, kapan kau akan mengajakku ke sana?" Suatu sore ucap Cempaka. Waktu itu mereka tengah duduk santai di teras belakang.
"Nanti lain kali saja. Kan ibu sudah datang ke sini beberapa waktu yang lalu. Ngapain pula kita ke sana?... Kamu ini kayak kurang kerjaan saja" Perkataannya itu membuat Cempaka merasa curiga. Sepertinya ada yang di sembunyikan oleh suaminya itu.
"Kenapa begitu?... Memangnya salah kalau seorang menantu ingin mengunjungi mertuanya?" Sergah Cempaka dengan heran.
Dia menatap mata suaminya dengan tajam. Dia tidak suka dengan sikapnya itu. Yang sepertinya hendak membuat jarak diantara dia dan mertuanya.
Kardiman membuang mukanya seakan tak ingin matanya bersirobok dengan bola mata Isterinya.
"Ada yang mencurigakan" Batin Cempaka.
"Ayo jawab!... Kenapa aku tidak boleh bertandang ke rumah mertuaku?" Tanya Cempaka lagi.
"Iya nanti!... Nunggu waktu yang tepat" Sungguh tak masuk akal jawabannya itu.
"Katanya hanya beda desa, tapi kenapa mesti menunggu waktu yang tepat?... Ada apa sebenarnya ini?... Apa aku cari tahu saja sendiri yang menjadi alasan Kardiman enggan mengajakku berkunjung ke rumah kedua Orangtuanya itu?...Iya benar aku berangkat sendiri saja" Batin Cempaka menceracau, dengan berbagai pertanyaan di benaknya.
Cempaka adalah perempuan yang terbilang cerdik dan pintar. Diapun diam tak bertanya lagi. Namun, di otaknya sudah di atur beberapa rencana.
"Kalau begitu ya enggak apa-apa lah, gimana baiknya saja" Cempaka pura-pura menuruti perkataannya Kardiman.
Keesokkan harinya, sore itu Kardiman pulang dengan wajah yang murung, kusut tak sedap dipandang mata.
"Assalamualaikum..." Salamnya terdengar sangat hambar.
"Waalaikumsalam..." Cempaka membalasnya sambil meletakan sapu lidi di sudut rumah. Waktu itu dia tengah menyapu halaman depan yang lumayan luas itu.
"Ada apa mas?... Sepertinya kamu nampak kebingungan begitu?" Cempaka menyelidik, sambil menaruh secangkir teh manis hangat di atas meja yang berada di teras.
Kardiman tidak menjawabnya, dia mengambil gagang cangkir itu dan segera menyeruput teh hangat yang ada di dalamnya.
Kemudian menyimpannya kembali. Dan, tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kerjanya.
Sebuah Amplop panjang berwarna putih bersih. Di sodorkannya sepucuk surat ii kepada Cempaka.
"Apa ini?... " Cempaka meraihnya lalu membukanya.
Selembar kertas putih di keluarkannya dari dalam amplop itu.
Tertulis di atas kertas itu... Bang BRI...
Cabang Trisi. Tempat kerjanya Kardiman.
Mata Cempaka melotot tak berkedip untuk beberapa detik setelah membaca sebaris kalimat di barisan tengah surat itu. " Pemecatan Sementara"
"Apa?... Pemecatan Sementara?... Apa maksudnya ini?" Teriak Cempaka kaget luar biasa. Hingga uwa Karmi yang tengah berada di dapur pun bergegas menghampirinya.
"Ada apa neng?" Tanyanya lembut. Perempuan paruh baya itu memang lemah lembut kalau bicara.
"Diman di pecat wa" Kardiman yang menjawabnya sambil tertunduk lesu.
"Kenapa bisa?" Uwa Karmi pun tak kalah kagetnya setelah mendengar jawaban dari Kardiman.
"Oooh... Jadi kamu ini bagian lapangan di bang bri nya itu?... Dan, para nasabah yang meminjam uang dengan perantara kamu itu tidak beres bayarnya, lalu kamu yang di tuntut sekarang, begitu rupanya. Kok!... Aneh juga ya peraturannya" Cempaka tak mengerti.
"Memang begitu nok, Aturannya. Kalau sampai akhir bulan ini tak di bayar, ya terpaksa aku jadi pengangguran deh... Sebab aku tak punya uang sebanyak itu" Keluh Kardiman seakan-akan di tujukan kepada Cempaka.
"Aturannya sekarang beda lagi?" Sela uwa Karmi.
"Memang begitu uwa aturannya, tidak ada yang berubah" Kardiman melotot ke arah uwa Karmi seakan hendak menutupi hal yang sebenarnya dari Cempaka. Itu terlihat dari caranya Kardiman memandang uwa Karmi.
Uwa Karmi diam dalam kebingungan.
Cempaka nampak penasaran jadinya.
"Bagaimana ini neng, kalau aku nganggur?" Kardiman setengah merengek kepada Cempaka.
"Kenapa enggak minta kebijakan dulu kepada pimpinannya?" Cempaka mencoba mencarikan solusi.
"Sebenarnya ini surat sudah dari kemarin aku pegang. Aku minta kebijakan dulu pimpinan sebelum menyampaikannya kepadamu. Tapi, tidak bisa di ganggu gugat katanya" Sahut Kardiman galau.
"Satu juta enam ratus?... Uang sebanyak itu aku juga tidak punya" Cempaka memang tidak mempunyai uang sebanyak itu.
Di sa'at itu, di tahun 1990, uang satu juta enam ratus sangatlah besar sekali.
"Ini aku cuma ada dua ratus ribu, uang dari bapak. Tadi aku minta tolong kepadanya. Dan bapak cuma ngasih segini, berarti kurang satu juta empat ratus lagi. Uang dari mana??" Mata Kardiman melirik dua buah cin-cin yang terselip di jarinya Cempaka.
Itu Cin-cin hasil kerja kerasnya Cempaka sebelum dia menikah dengan Kardiman.
Sedangkan Cin-cin bu Tini yang di pinjam Kardiman untuk mas kawin pernikahannya, sudah dia kembalikan lagi kepada ibunya.
Berarti sampai sa'at itu Kardiman belum memberinya mas kawin sebagai mahar pernikahannya.
Melihat mata Kardiman melirik Cin-cin di jari tangannya. Cempaka segera menyembunyikan tangannya di kolong meja.
"Apa maksudmu?" Cempaka bertanya curiga.
"Bagaimana kalau aku pinjam Cin-cinnya dulu, nanti di ganti lagi" Rayunya memelas.
"Mas kawin juga belum kau penuhi sudah mau minjam Cin-cin hasil usahaku juga. Kamu ini bagaimana sih?"
Cempaka tidak setuju.
"Aku nanti di pecat neng. Aku bisa nganggur!... Tolonglah kau kan isteriku?
Masa kamu tega melihat suamimu di pecat?" Kardiman menghiba.
Akhirnya hati Cempaka luluh juga.
"Baiklah kalau begitu, supaya kamu tidak di pecat aku rela deh untuk menjual cin-cin ini"
"Terimakasih neng, kamu memang isteriku yang paling baik" Ujar Kardiman dengan bahagia.
Sementara itu uwa Karmi nampak kebingungan sendiri. Beliau seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, Kardiman terlihat menempelkan telunjuk di bibirnya. Seakan memberi isyarat supaya diam kepada uwa Karmi.
"Tapi, cin-cinku juga tidak akan cukup untuk bisa menutupi kekurangannya" Cempaka khawatir.
"Cin-cinmu itu semuanya ada berapa gram?" Kardiman sepertinya baru tersadar.
"Cuma empat gram, kali dua ratus tujuh puluh... Berarti cuma lima ratus empat puluh ribu. Masih kurang satu jutaan lagi " Ujar Cempaka.
"Bagaimana kalau kau pinjam saja kepada orangtuamu dan saudaramu?"
Berbinar mata Kardiman karena terlihat ada peluang.
"Akan ku coba" Cempaka setuju.
"Besok aku akan pulang dulu, aku akan berusaha untuk mendapatkan kekurangannya. Semoga saja mereka punya uang sebanyak itu" Ujar Cempaka merencanakan.
Kardiman tersenyum lebar, tertawa bahagia, kesulitannya akan segera teratasi.
Siasat liciknya belum di ketahui oleh Cempaka yang baik hati dan polos itu.
Keesokkan harinya, Cempaka dan Kardiman berangkat menuju ke Bandung, ke tempat dimana kedua Orangtuanya Cempaka berada.
Dengan tujuan hendak meminjam uang sebesar satu juta rupiah kepada kedua orangtuanya Cempaka dan juga kepada saudara Cempaka.
Juga tak lupa hendak menjual dua buah cin-cin milik Cempaka, di toko di mana Cempaka membelinya dulu.
Sedikitpun Cempaka tidak menyadari kalau dirinya tengah di perdaya oleh seorang Kardiman, suaminya sendiri.
Cempaka tidak tahu sama sekali, kalau Kardiman dengan kakak sulungnya itu tengah merencanakan sesuatu terhadap dirinya.
Semua rencana itu tersusun apik dalam rencana perjodohannya. Tak seorangpun yang mengetahuinya. Dan...
Kini rencana jahatnya itu sudah mulai di jalankan nya.
Rencana pertama telah berhasil dengan baik, yaitu Kardiman telah menikahi Cempaka gadis yang cantik jelita.
Kini, tinggal Yati yang masih menunggu bayaran dari Kardiman, berupa sejumlah uang. Karena dia telah memberikan Cempaka kepada Kardiman melalui pernikahannya yang tak mengeluarkan uang sepeserpun.
Karena berkat mulut dan jampi-jampi dari guru spiritualnya Yati, Cempaka mau menikahi Kardiman.
Dengan mas kawin serta ipekahnya semuanya pinjam dulu dari ibunya dan dari dirinya sendiri.
Kini... Untuk membayar jasanya Yati, Kardiman mengelabui Cempaka pula.
Membohonginya, menipunya untuk yang kedua kalinya.
Diri dan kehormatannya telah di berikannya karena telah syah menjadi istrinya. Kini, harta bendanya akan di kurasnya juga. Astaghfirulahaladziiim...