Zalfa sedang makan malam disuapin oleh Delvis. Dewan sih, hanya bisa berpura-pura sibuk dengan kerjaannya saja. Lagian, mana enak makanan rumah sakit.
"Ngapain lirik-lirik begitu? Masih belum kenyang emang?" Zalfa risih, sudah berapa kali dia melihat Dewan selalu menatap ke arahnya. Katanya, lagi sibuk kerja jangan diganggu, tapi dia yang tidak konsentrasi.
"Kenyang. Lagian, makanan rumah sakit mana ada yang enak." Dewan juga pernah makan makanan rumah sakit, ketika sakit dulu, tapi tidak pernah selahap Zalfa. Jadi, pengen beliin restoran buat Zalfa deh, kayak orang kelaparan banget si Zalfa, pikir Dewan.
"Iri mungkin, Pengen disuapin juga kayaknya," ucap Delvis. Delvis selalu dengan ciri khasnya. Jarang ngomong, tapi nyeletuknya bikin ngakak.
"Hahay.. iri bilang bos," ujar Zalfa merasa senang, melihat wajah Dewan yang sedang cemberut itu.
"Siapa juga, ada juga yang ngomong kali yang iri, tadi ngelitin Gue makan, kayak orang kelaparan banget. Untung Gue anaknya baik, pengertian banget. Rela-relain demi teman satu kantor, Gue gak bilang sama dokter, kalau pasiennya itu bandel, dan makan sembarangan." Dewan merembet seperti petasan. Beruntung ganteng.
"Lah, kan tadi bilangnya gak apa-apa," ujar Zalfa. Tidak terima dengan perkataan Dewan, seolah dia yang memohon-mohon padahal kan Dewan yang menyodorkannya.
"Kalian, gak bisa banget ya gak ribut kalau ngobrol tuh, biasa aja bisa gak?" Mendengar suara pawang berbicara, Dewan dan Zalfa hanya bisa adu tatap saja, saling perang tatapan paling tajam.
"Satu suap lagi," ucap Delvis. Dengan menyunggingkan senyumnya yang manis. Lelaki itu merasa lucu, karena awalnya Zalfa menolak keras untuk makan, dengan banyak alasan. Tapi, akhirnya habis juga. Bahkan, sampai ludes.
"Kok abis ya," ucap Zalfa merasa heran. Emang bukan makannya, tapi sama siapa disuapinnya.
"Karena Lo kelaparan," celetuk Dewan, yang sedang menutup sesi bekerjanya. Karena semu tugas sudah selesai dia kerjakan.
"Enak aja, gak selapar itu lah, emang makanannya enak aja, jadi gak kerasa deh habis."
"Bilang aja, seneng disuapin. Jomblo akut sih, makanya baru disuapin aja kegirangan banget." Sewot Dewan, lelaki itu sepertinya tidak terima jika Zalfa bahagia sebentar saja.
"Bang... Aku kayaknya gak bisa deh, kalau yang jagainnya dia, nanti malah tambah pusing kepalaku."
"Laporr 86," ujar Dewan dengan suara yang benar-benar menyebalkan.
Delvis hanya tersenyum. Drama ini sudah sering kali terjadi, padahal jika tidak ada salah satunya pasti mencari.
"Minum obat dulu ya," ucap Delvis dengan lembut. Lelaki itu terlihat sangat menyanyangi Zalfa.
"Siap 86," jawab Zalfa menyindir ucapan Dewan sebelumnya.
"Abang mau di sini malam ini?" tanya Dewan yang sedang rebahan. Beruntung kamar Zalfa itu ada sofa bednya, jadi Dewan tidak khawatir nanti akan sakit badan ketika bangun tidur. Dia juga tidak memerlukan bantal, karena posisi sofa bed tersebut sudah lengkap dengan senderan yang tinggal dia tekan tombolnya.
"Enggak bisa, Saya harus pulang. Karena masih banyak pekerjaan."
Delvis berkata jujur, dia memang masih ada pekerjaan, tapi karena tidak tega pada Zalfa, makanya Delvis ke sini untuk menemani Zalfa sebelum tidur.
"Abang, gak bilang mamah kan? Kalau aku lagi sakit?" Tanya Zalfa was-was. Soalnya yang memiliki kontak orangtua Zalfa hanyalah Delvis.
"Seperti yang Kamu mau, asal Kamu harus janji, jangan keluar masuk rumah sakit terus." Delvis bukan tidak ingin direpotkan, melihat Zalfa terbaring lemah bukan hal yang menyenangkan.
"Dia mah jorok, kuman juga betah. Jadi gitu, dikit-dikit lemah."
"Kalau gak bisa berkata dengan baik, lebih baik diam. Bisa gak?"
Zalfa terlihat marah, dia heran. Dewan selalu mengajak bercanda, padahal Zalfa kan sedang berbicara serius.
"Enggak," ucap Dewan, lalu kemuadian lelaki itu tertawa sembari melihat ke arah Zalfa. Perempuan yang sedang ditatapnya itu mana bisa menahan untuk tidak ikut tertawa juga. Jelas saja, tawa Dewan yang seperti virus itu, menular pada Zalfa. Itu juga lah, yang membuat Zalfa tidak bisa lama marahan dengan Dewan. Lelaki itu, selalu bisa membolak-balikam mood Zalfa.
"Lama-lama Saya berasa punya anak sepasang kalau begini."
Celetukan Delvis, malah membuat ketiganya tertawa bersama. Sampai terdengar keluar, mereak bahkan tidak mendengar suara pintu yang terbuka.
Seseorang melihat ke arah mereka yang sedang bahagia, hatinya terluka sendirian. Harusnya, dia juga ada di sana, menjadi bagaian dari lelucon mereka dan ikut tertawa bersama. Tapi, Figo sadar diri. Lelaki itu menutup kembali pintu ruangan Zalfa dan memilih pergi entah kemana.
"Tunggu, kayak ada suara pintu nutup."
Sontak saja, ketiganya melihat ke arah pintu, yang dimaksud oleh Zalfa.
"Ya emang nutup, orang tadi ditutup sama Bang Delvis, iya kan Bang?"
"Iya, mungkin perasaan Kamu saja, atau itu suster yang tidak jadi masuk."
"Bang, rumah sakit ini gak angker kan?"
"Enggak lah, yang angker kan isi dompet Lo Zal."
"Isi hati Lo kali yang angker." Timpal Zalfa menyahuti ledekan Dewan.
"Enggak. Kan udah ada yang isi."
"Siapa?"
"Kepo!"
"Bilang aja gak ada, gengsian banget. Iagian kelihatan banget Lo cinta banget sama Gue. Sayangnya Gue lebih mencintai Figo."
"Awas aja, kalau nanti malam bangun minta anterin ke kamar mandi, gak akan Gue anter."
Glek
Zalfa diam, mencoba mencari pertolongan, lewat tatapan matanya pada Delvis, tapi lelaki itu menggelengkan kepalanya.
"Jangan berantem terus, katanya pengen cepet sembuh."
"Abang kan lihat sendiri, bukan Aku yang mulai Abang," ucap Zalfa manja.
"Iya, masa Kamu mau ngeladenin Dewan. Kan kamu tau, dia emang gak pernah ada warasnya."
"Tolong, kalau mau ngomongin jangan di depan orangnya langsung bisa kan? Lagian Gue masih waras kok, salah satu bukti kalau gue masih waras adalah."
"Apa?"
Zalfa sebal, tapi dia selalu penasaran dengan yang diucapkan Dewan.
"Mencintai Lo."
Hening seketika. Tidak ada banyak orang yang bersuara. Termasuk Delvis, lelaki itu malah seperti kesulitan berbicara.
"Bhahaha kena prank." Dewan tertawa ngakak sendirian, harusnya kedua orang itu juga tertawa karena ini hanya prank, tapi Delvis dan Zalfa seolah tidak merasakan ada kelucuan tercipta. Karena sejujurnya, nada suara Dewan lah yang membuatnya tidak yakin, buwa yang dikatakan lelaki itu hanya prank. Ada emosi di dalamnya, Zalfa bisa merasakan itu, begitu juga dengan Delvis.
"Cuma bercanda.. maaf bercanda." Dewan menjadi salah tingkah sendiri, ditatap dua manusia tidak asik di depannya, seharusnya Dewan tau, Delvis memang tidak bisa diajak bercanda, jadi Zalfa juga kebawa Delvis.
Suasana meriah itu, menjadi hening. Zalfa berpura-pura tidur sekarang, perempuan itu menginginkan agar Delvis tidak meninggalkannya sampai dia benar-benar tertidur pulas, mungkin karena efek obat yang barusan dia minum, Zalfa cepat sekali tidurnya,
Figo yang gagal masuk ke dalam ruangan Zalfa, memilih untuk mencari udara segar, di sebuah tempat duduk, di dekat parkiran.
Usahanya, untuk segera sampai ke sini, jadi sia-sia, faktanya dia tidak akan bisa menemui Zalfa jika yang menjaga Zalfa adalah Dewan. Figo tidak ingin, Dewan emosi melihatnya, dan mereka kembali berkelahi, karena itu akan membuat Zalfa sedih