webnovel

Part 8

Vino dan Nathan duduk dikursi taman setelah mengantri gulali yang sangat panjang dan sangat melelahkan bagi Vino yang berdiri daritadi. Kursi taman yang sudah diterangi oleh cahaya jalan dan juga kunang-kunang yang berterbangan kesana kemari. Nathan asik memakan gulali, sementara Vino masih lemas memikirkan pertanyaan dari Nathan.

Untuk sesaat Vino menarik nafas kasar dan memikirkan momen-momen dirinya bersama kakeknya, saat Nathan berbicara soal kakeknya dengan suara yang sanagt mirip dengan suara orang yang dia sayangi. Vino masih belum bisa melupakan momen-momen bahagia bersama kakeknya, masih berat rasanya untuk melupakan kenangan indah bersama kakeknya, walaupun Vino berusaha sekeras mungkin untuk melupakan kakeknya.

Kakeknya Vino atau bisa disebut dengan Papanya Rudy sering di panggil dengan nama William Hendreson lee, fotografi terkenal di dunia dan sudah menghasilkan karya-karya indah dan bersejarah pada masanya. William sendiri juga memiliki gallery foto-nya yang terletak di Amerika Serikat, Brooklyn, NYC.

Gallery yang ada di AS (Brookyln-NYC) dikasih nama dengan Gallery Of William Photo atau bisa di singkat dengan GOWP, sudah banyak dikunjungi oleh masyarakat NYC umumnya untuk melihat hasil foto yang diambil oleh William sendiri. Museum ini sekarang sudah berdiri 2 tahun sebelum William benar-benar tewas di AS (Brookyln-NYC) sendiri.

"Vino mau gulali nggak? Kakek mau banget beliin gulali untuk cucu kesayangan kakek nih," ujar orang itu dan merangkul lengan Vino

"Beneran kek? Mau, mau, mau," ujar Vino bersemangat.

"Vino mau warna apa? Apa mau warna kesukaan Vino?" tanya William dengan senyum hangat.

"Emang ada gulali warna hitam kek?" tanya polos Vino.

"Pftt, hahaha." William tidak bisa menahan tawanya saat Vino bertanya dengan muka polosnya dan juga dihiasi dengan senyuman gigi kelinci. "Aduh cucu kakek ini. Apa Vino mau warna kesukaan kakek aja?" lanjutnya.

"Emang warna kesukaan kakek warna apa?" Vino mengedipkan kedua matanya dan muka yang memiring.

"Warna kesukaan kakek kuning."

William yang bisa dibilang mempunyai muka tidak terlalu tua dengan umurnya itu, mengeluskan rambut Vino sampai berantakan. Vino hanya menundukkan kepalanya sambil memejamkan mata imutnya, saat kakeknya mengeluskan rambut yang sudah tidak tau arah style apa yang ada di kepala Vino.

"Emang kenapa kakek suka sama warna kuning?" tanya Vino penasaran.

"Karna warna kuning itu bisa memberikan kehangatan dan juga kenyamanan bagi kakek, mungkin bukan untuk kakek.. tapi untuk pecinta warna kuning di dunia ini."

Ucapan kakeknya membuat hati Vino merasa tenang dan perlahan membuat hati Vino menyukai warna kuning, dan juga untuk mengikuti jejak kakeknya. Tetapi semua itu hanya sementara, perlahan membuat jejak yang Vino buat hancur seketika saat kakeknya meninggal dunia. Vino sudah tidak ingin mengenal dengan warna banyak, cukup warna hitam dan putih saja yang ia ingin kenal.

"Haa, seharusnya gue bisa ngelupain peristiwa itu, kenapa gue harus kepikiran sama kakek yang bahkan bukan kakek kandung gue sendiri? Apa udah terlalu lama gue tinggal dan hidup di keluarga Lee, sampai-sampai gue dibutakan sama keluarga ini?" Vino bertanya di dalam hatinya.

Nathan melihat Vino yang kepalanya sudah menunduk sekurang dari 10 menitan, Nathan merasa khawatir terhadap Vino mendekat dan mencoba untuk memberikan gulalinya di hadapan Vino. Vino yang mengetahui adiknya mengintipnya dari bawah itu, langsung menaikan kepalanya dan membaurkan senyuaman palsu di wajahnya.

"Makasih Nathan," ucap Vino dengan suara isak.

"No problem daddy."

"Kakek lihatlah cucu imut dan pintar kakek yang kakek tinggalkan ini. Vino masih belum sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya ke Nathan, Vino takut buat Nathan benci dan sedih ke Vino. Apa mungkin Vino bisa bertahan dari semua ini, dengan semua kebohongan yang kakek dan keluarga kakek sembunyikan? Vino udah nggak kuat dengan semua ini, apa Nathan bakal benci sama Vino sama halnya dengan nenek ketika Nathan tau bahwa Vino yang menyebabkan kakek meninggal? Bantu Vino kek, untuk menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikiran Vino." Gue menjatuhkan air mata di depan Nathan.

Nathan memeluk Vino dengan erat dan mengusap air mata Vino yang mengalir di pipinya. Hari yang panjang bagi Vino sudah selesai, entah akan jadi apa di hari esoknya dan seterusnya. Cahaya dan cuaca akankah sama dengan hari ini atau hari sebelumnya? Atau akankah ada petunjuk untuk melihat apa yang bakal terjadi besok? Sayangnya itu masih menjadi rencana tuhan dan kita sebagai manusia hanya bisa menjalankan saja.

***

"Apaan nih?" tanya gue ke Tasya.

"Lo nggak bisa baca apa yang ada dikertas itu? Kan ada tulisannya," ucap perempuan itu.

"Kontrak pacaran?" baca gue. "Terus lo mau gue ngapain sama kontrak ini?" tanya gue sambil melempar kertas ke meja.

"Gue mau lo jadi pacar kontrak gue selama satu bulan." Tasya mendekat ke Vino dan mengelurkan jari telunjuknya untuk menunjuk dada Vino.

"Heh! Lo kalau masih punya urat malu dijaga, lo tuh masih belum minta maaf sama gue dan sekarang lo tiba-tiba ngajak pacaran kontrak! Dan satu lagi, gue ogah pacaran lo," tolak gue mentah-mentah.

"Lo apaan sih, ini kan cuman pura-pura doang bukan beneran. Terus kejadian kemarin kan udah lewat juga, siapa suruh lo yang dingin banget!"

"Mau ini pacaran pura-pura kek atau pacaran beneran, ogah gue kalau emang ceweknya yang nggak punya sopan santun kayak lo."

"…"

"Oke gue minta maaf sama lo, jad-,"

Gue bangkit dan menatap tajam ke Tasya. Gue sama sekali nggak terpengaruh sama muka imut yang dikeluarkan oleh Tasya, bukan gue nggak mau untuk pacaran, cuman gue sama sekali belum bisa membuka hati gue. Mungkin karena gue dulu pernah buka hati gue untuk seseorang, tapi akhirnya hati gue dicampakkan oleh orang yang gue sayang.

"Sorry ya Tasya, gue sama sekali nggak ada niatan untuk pacaran sama orang apalagi sama lo," jawab gue dingin.

Gue mengambil jaket jeans yang tergantung di kursi dan tas yang tergeletak di atas meja, pergi meninggalkan Tasya mematung di meja kantin. Gue pengen banget untuk ngebuka hati gue, tapi ketika gue ingin ngebuka hati gue pasti ada perasaan yang dulu muncul di ingatan gue.

Muka dan ekspresi dari Tasya sebelum gue meninggalkan dia sendirian di kantin, membuat gue teringat dengan seseorang yang ingin gue jumpai sekarang. Gue pengen peluk anak kecil perempuan imut yang pernah gue jumpai di taman saat gue masih kecil. Entah masih ada harapan atau nggak untuk bertemu dengan orang itu, meski dengan harapan yang kecil atau kemungkinan sedikit, gue berharap bisa bertemu dengan anak kecil perempuan imut itu.

Seorang anak menghampiri gue dengan cepat saat gue yang nggak sadar sudah berada di depan pintu kelas, gue nggak sadar karna pikiran gue kemana-mana. Entah itu gue memikirkan pacaran kontrak yang dibuat sama Tasya ataupun anak kecil yang ingin gue jumpai. Anak yang menghampiri gue, memberikan selembar kertas pendaftaran club wajib.

Club wajib adalah suatu organisasi sekolah yang wajib diikuti oleh murid-murid yang ada disekolah ini, club wajib ini bertujuan untuk menambahkan nilai di raport murid dan juga menambahkan nilai sikap. Murid-murid yang tidak mengikuti club wajib ini akan mendapatkan nilai E di raport dan juga sikap.

"A-anu Vin, lo belum masih club kan? Gimana kalau lo masuk club musik? Soalnya kita lagi pengen buat band, cuman kurang vokalis aja," kata seseorang anak lelaki.

"Hmmm, boleh deh."

"Serius?" tanya anak lelaki itu dengan penuh semangat.

Gue mengangguk iya, "Sekalian tambahin gue ke club fotografi. Ngomong-ngomong nama lo siapa?"

"Ok. Nama gue Hans Wangsadhinata, panggil aja Hans. Sorry telat perkenalan nama," ucap Hans sopan.

"Hans ya?" tutur gue. "Salam kenal, semoga bisa jadi teman baik selama gue di SMA ini." Gue mengelurkan tangan dan mengajak berteman yang padahal tidak terbisaa mengeluarkan kata-kata itu.

"Ah, iya." Hans menjabat tangan gue.

Gue tersenyum dan melepaskan jabatan tangan Hans. "Kalau gitu gue ke tempat duduk gue dulu ya."

Hans mengannguk, lalu gue berjalan meninggalkan Hans di belakang. Belum aja gue melemparkan tas ke meja, gue udah melihat ada dua anak cewek yang mungkin dari kelas sebelah menggebrak meja gue dengan keras dan mengganggu Febby.

"Oi!! Meja gue, minggir lo," gue menyela pembicaraan yang serius antara Febby dan dua anak perempuan di depan meja gue.

"E-eh Vino kan?" jawab salah satu dari mereka.

"Oh, lo kenal sama gue?" tanya gue melirik mereka berdua dengan baik-baik.

"Iya. Soalnya kamu itu selalu dibicarain dikelas kita. Sayang yah, padahal kalau kita satu kelas, kita bisa duduk bareng terus."

"Makasih, tapi gue lebih bagus nggak sekelas sama kalian berdua," jawab gue dingin.

"A-ah kalau gitu kita kenalan aja. Aku Shelly dan yang disebelah aku namanya Bella. Semoga kita bisa jadi teman baik ya Vin," ujar Shelly memperkenalkan dirinya.

"Emang gue ada suruh kalian perkenalan diri sama gue?" tanya gue yang tidak mau peduli atau masa bodoh.

Mata mereka berdua membulat secara bersamaan, terlebih lagi Shelly yang sudah mengelurkan tangannya, yang sayangnya gue tolak. Mata terkejut mereka seperti kucing liar yang ketahuan dengan orang-orang memaling ikan di pasar. Gue hanya menekukkan telepak tangan dan menempelkan ke dagu gue, saat bersamaan gue juga tertawa geli kecil ketika ngeliat sikap terkejut mereka berdua.

"Y-ya apa salahnya kita perkenalan Vin? Kan kita nantinya bakalan jadi teman," ucap Shelly.

"Bakalan jadi teman?" tanya gue menyeringai. "Kalian berdua udah pada bangun belum sih dari bunga mimpi kalian? Dengerin gue ya, gue nggak bakalan mau teman sama orang yang sok berkuasa di sekolah ini," jelas gue.

"M-maksud kamu apa Vin? Kok kamu tiba-tiba ngomongnya kayak gitu?" lagi-lagi mereka terkejut, sekalian memberikan senyuman palsu di wajah mereka.

Gue membuat suara kecil di meja menggunakan jari telunjuk gue dan membuang nafas dari mulut. Gue menatap mereka dengan aura mengerikan ke mereka dan memberhentikan jari telunjuk gue, gue merasa puas dengan reaksi mereka yang terkejut tiga kali dan sekujur tubuh mereka merinding, seketika gue terkekeh dengan raut wajah mereka berdua.

"Lo beneran nggak nggak ngerti sama perkataan gue barusan atau lo pura-pura bodoh?" tanya gue.

"Jadi lo nggak mau temenan sama kita berdua Vin?" tanya mereka ragu-ragu, tapi penasaran.

"Gak! Lebih tepatnya gue nggak mau kenal sama kalian berdua," ujar gue singkat.

"Terus, kenapa lo bisa temenan sama Febby? Apa bedanya kita sama Febby coba?" tanya kesal Bella.

"Lo serius mau tau apa bedanya kalian sama Febby?" tanya gue.

Mereka mengangguk iya dengan tatapan yang serius.

"Beda kalian sama Febby itu cuman satu. Hati kalian itu busuk, tapi hatinya Febby baik. Oh ada satu lagi, kalian itu cum-,"

"Udah nggak usah di lanjutin Vin," potong Febby.

"Yah, padahal masih ada satu lagi. Tapi karna Febby minta nggak usah di lanjutin, ya mau gimana lagi." Gue memberikan senyuman sinis ke mereka berdua.

Gue emang daritadi nggak ngeliat Febby sedikitpun, cuman gue bisa ngerasain aura panas membara yang ada di sebelah gue. Mungkin kalau telur yang masih mentah, bisa kali jadi matang disini. Febby yang daritadi diam mencoba menahan emosinya, seketika bangkit dari kursi mengambil air botol minumnya dan menyiram ke badan Shelly dan Bella.

"Ah~ basah deh meja gue." Gue sengaja membuang air yang tergenang sedikit di meja gue ke lalat yang menganggu hari pagi gue.

"Feb, lo kurang ajar banget sih jadi perempuan!"

"Tau nih! Vino juga kok nggak bantuin sih? Malah kasih air yang ada di meja kamu?"

"Gue nggak mau. Mending kalian ke kelas kalian aja deh. Sumpek gue ada kalian disini," usir gue.

Sumpah kalau kalian ada disii nih sekarang, kalian bisa liat muka-muka tikus yang nggak sengaja nyebur ke got dengan bulu-bulu menempel satu sama lain. Kira-kira, kalian juga bisa ngeliat muka kesel mereka yang daritadi bikin gue nahan ketawa.

Bella menggigit bibirnya. "Awas aja lo Febb. Lain kali lo nggak ada ampun sama kita berdua."

"Belum angkat kaki lagi kalian berdua dari kelas gue?

"I-iya, ini juga mau pergi kok dari kelas kamu Vin. Yaudah kalau gitu kita berdua ke kelas dulu ya Vin," ujar mereka seraya meninggalkan kelas 2-D.

"Astaga, hancur sudah mood pagi gue digangguin lalat-lalat yang berisik di telinga gue." Gue berdecak kesal.

"Maaf," satu kata dari Febby.

"Kenapa lo yang minta maaf? Kan lo nggak salah apa-apa," ujar gue menaikan satu alis.

"Gara-gara gue, lo jadi terlibat pertengkaran gue sama Shelly," ucapnya dengan merasa salah dan kata-kata yang ia lontarkan penuh dengan penekanan.

"Hahahaha, santai aja kali. Yang paling dan terpenting itu lo nggak kenapa-napa, kalau lo kenapa-napa kan gue bisa repot." Gue tersenyum sambil menggelap meja dengan tisu.

"Kenapa kalau gue kenapa-napa?" balasnya.

"Yaaaa.. gue nggak bisa gangguin lo lagi ntar. Btw lo keren tadi, gue sampai kagum sama lo."

"M-makasih." Febby membuang pandangannya dari gue, lalu ia melirik buku yang ia lepas tadi.

"Jadi tadi kalian kenapa berantam pagi-pagi gini?" tanya gue serius.

***

Tiga puluh menit kejadian yang kurang mengenakan terjadi sebelum Vino masuk ke kelasnya. Suasana hati Febby emang sudah tidak enak daritadi, apalagi dengan kelas yang terlalu ramai dan berisik membuat hati Febby nggak karuan dan agak sedikit mual di perutnya. Di saat Febby mulai menenangkan hatinya, tiba-tiba ada anaj yang meneriakan namanya di pintu kelas 2-D.

"MANA FEBBY??!!" tanya anak perempuan itu lumayan keras yang membuat anak kelas 2-D terdiam seketika.

"Saya disini," ujar Febby polos melihat dua anak yang ada di depan pintu kelasnya.

"Oh lo? Bisa-bisanya lo deketin pacar orang, nggak sadar diri banget sih lo! Apa lo nggak takut sama gue?" orang itu bertanya dengan murka dan berjalan ke arah Febby.

"Maksud lo apaan ya Shell? Pacar lo? Ngerebut? Lo lagi bicarin Dean?" tanya Febby yang masih belum ngerti dengan perkataan Shelly.

Sepasang mata murid yang ada di kelas sekarang tertuju kepada mereka bertiga, bahkan ada beberapa murid yang terkejut disaat Febby mengatakan nama Dean (Ketua Geng 12 Ghost) dengan santai dan polos di hadapan Shelly dan Bella. Tidak hanya murid-murid yang terkejut, Shelly dan Shelly membulatkan mata mereka berdua ketika Febby menyebut nama Dean.

Adrian Dean Chandra, adalah sosok yang paling ditakuti oleh murid-murid di sekolah, di karenakan rumor yang mengedar bahwa Dean pernah memukul adek kelas di Gudang sekolah, sehingga membuat adek kelas itu meninggal di tempat. Belum diketahui apa alasan Dean memukul adek kelas itu, tapi banyak orang yang berasumsi, Dean cemburu dengan adek kelas ini dan ada juga yang berasumsi bahwa Dean memukul adek kelas ini, karena adek kelas ini berbicara hal yang tidak-tidak tentang geng-nya.

Tak heran, mengapa Shelly dan Dean menjadi bahan pembicaraan di angkatan mereka sekarang. Di saat mereka berpacaran mereka terlihat pasangan yang romantis dan juga saling melengkapi. Murid-murid yang melihat mereka berpacaran, mengira bahwa Dean bisa berubah menjadi orang yang lebih baik ketika berpacaran dengan Shelly.

Shelly yang dijuluki sebagai "Evil Lady," dan Dean dijuluki sebagai "Black Evil Prince." Bukankah dari nama julukan ini mereka sangat cocok? Akan tetapi saat mereka diberikan julukan ini, tidak lama setelah itu mereka putus tanpa sebab dan anehnya setelah mereka putus, mereka benar-benar menjalankan hidupnya masing-masing selayaknya mereka tidak pernah bertemu atau mereka tidak pernah pacaran.

"Dasar brengsek, berani-beraninya lo sebut nama cowok sampah dan bajingan kayak dia itu!" Shelly menggebrak meja Vino dengan keras.

"Sorry ya, gue nggak pernah dekat sama pacar lo itu.. ups sorry, gue lupa kalau kalian udah putus. Maksud gue mantan lo," senyum Febby menyeringai.

"L-lo gila ya? Dasar cewek brengs-,"

"Nah, jadi gitu ceritanya Vin," cerita Febby dari awal hingga akhir. "Terus tiba-tiba lo datang deh," lanjutnya.

"Emang susah ya jadi orang keren dan terkenal kek gue!" Vino menggerutkan keningnya dan berbicara kecil.

Febby yang mendengar perkataan Vino tertawa kecil dengan menutupkan matanya. Tak lama setelah kejadian Shelly dan Febby yang bertengkar lumayan lama, sampai-sampai membuat pandangan semua anak-anak di kelas menjadi melirik ke arah mereka berdua, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kelas 2-D dengan pelan dan lembut.

"Permisi, maaf menganggu. Minta waktu kalian sebentar ya! Perkenalkan nama saya Ranger, ketua kelas 3-B dan juga ketua di club fotografi. Buat kalian yang mengikuti club ini, silahkan datang hari ini jam 3.30 di ruangan club fotografi. Sekian saya ucapkan, terima kasih." Ranger menunduk dan tersenyum, lalu beranjak pergi keluar dari kelas 2-D.

"Cih, apa-apaaan tuh orang? Apa belum bisa nerima kejadian dua hari yang lalu?" Vino berdecak kesal saat melihat muka Ranger.

Dua hari yang lalu, tepat saat Ranger dan Ken datang ke acara makan siang keluarga besar Lee, sedangkan Vino pertama kali untuk ikut ke acara tersebut. Seperti yang Ranger dan Ken tahu, bahwa adeknya ini nggak ada niat sama sekali mengikuti acara makan bersama apalagi secara nggak langsung Vino sudah mengetahui dia bukan keluarga dari Lee.

"Itu kerah baju lo nggak rapi, jangan buat malu kenapa, lo nggak bisa benerin kerah baju lo?" Ranger ingin membenarkan kerah baju Vino, tapi tangannya ditepis oleh Vino dan Vino memberikan tatapan menyengat.

"Nggak usah ngurusin gue! Lagian kalian kan tau, kalau gue nggak ada niat untuk ikut acara makan ini!"

"Haaa.. Vin lo niat nggak niat juga harus pergi. Lo tau kan ini acara penting buat Papa sekalian buat perusahaan Papa. Lo jadi manusia jangan egois dong Vin," ucap Ranger sambil memegang pundak Vino.

Vino membuang pundaknya dari Ranger dan meninggalkan Ranger dan Ken di dalam kamar mandi. Vino memberhentikan langkah kakinya sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan kamar mandi, ia berbalik, tubuhnya mengarah ke Ken dan Ranger yang mengahadap ke kaca kamar mandi.

"Ini kali terakhirnya lo paksa gue. Inget gue ini manusia bukan barang lo! Kalau emang lo belum bisa paham, gue jelasin secara singkat. Gue nggak suka di paksa." Vino berbicara dengan dingin dan kedua bola matanya menatap sinis.

"Tsk, gue udah buang waktu gue disini selama 15 menit, lo tau kan kalau kaki gue gampang pegel dan mulut gue udah banyak ngomong yang nggak penting hari ini." Vino memegang rambutnya dan memeringkan kepalanya. "Oh satu lagi, gue bukan keluarga dari Lee," lanjutnya seraya pergi meninggalkan ruangan kamar mandi.

Ranger yang merasa harga dirinya sudah jatuh dihadapan adeknya, mengepalkan tangannya yang ada diatas meja wastafel kamar mandi. Melihat kakaknya yang sudah kalah telak dari adeknya, Ken hanya bisa memberi semangat dengan cara waktu ia kecil dan menepuk pelan pundak kakaknya.

"Hmmmm, kayaknya skor kita seri ya. Apa ini balasan lo? Karna gue udah ngambil posisi lo dari café?" tanya Vino membatin dan senyum kecil yang menakutkan terurai di wajahnya.

***