webnovel

Part 6

"Gawat, gawat. Febby pasti udah nungguin gue nih," ujar gue dengan cepat-cepat membereskan barang-barang yang menumpuk di meja.

"Eh Sya, bukannya lo hari ini jadwal lo yang piket?" tanya salah satu teman sekelas sekaligus sepiket.

"Aduh, sorry sorry, lo gantiin gue piket ya atau bikin aja disana absen. Gue buru-buru soalnya," ucap gue sambil berlari keluar kelas.

"Lagi nih?"

"FEBBY, I COM-," teriak gue berhenti setelah ngeliat Vino yang memegang tas Febby dari dalam kelas. "Lo?"

"Hmmm? Oh lo lagi? Kayaknya lo suka juga teriak-teriak, apa nggak putus pita suara lo?" tanya Vino dengan dingin.

"Nggak, lo ngapain masih disini sih?" tanya ketus gue.

"Serah gue lah, emang ini sekolah punya bapak lo?" tanya nyolot Vino.

"Kok lo nyolot sih," kesal gue.

"Haaa, mau cari siapa lo? Nggak liat kelas gue udah kosong gitu?" tanya Vino dengan sok tengil dan juga nafas yang kasar.

"Bukan urusan lo, gue mau kesini atau nggak. BTW, tuh tasnya Febby kenapa ada sama lo?" curiga gue.

"Dari nada lo, gue bisa tau kalau lo lagi curiga sama gue?"

"Iya, kenapa? Masalah sama lo?"

"Haaaa." Vino memegang bagian belakang kepalanya. "Tenang aja, gue nggak apa-apain teman lo kok," ujarnya.

"Kalau lo nggak apa-apain, tuh tas Febby kenapa ada sama lo hah?" tanya gue sedikit teriak.

"Lo tuh bisa nggak sih nggak usah teriak? Gue kasian sama pita suara lo," ketus Vino. "Gue nggak tau teman lo dimana, nih tasnya ketinggalan, lo yang kasih ya. Kalau gitu gue mau cabut. Bye," lanjutnya sambil main pergi aja dan melemparkan tas ke muka gue.

"Gue belum suruh lo angkat kaki kan? Apa lo nggak tau manner?" sahut gue.

"Hmmm?" Vino memberhentikan langkah kakinya dan kemudian berbalik badan menghadap ke gue. "Lo mau apa?"

"Lo nggak mau minta maaf soal kemarin?" tanya gue jutek dan mata gue melihat Vino yang sebenarnya nggak berani melihat Vino di hadapan gue.

Angin barat bertiup kencang sehinggga membuat daun-daun yang berjatuhan di jalanan bertiup ke sana kemari. Mungkin kalian kira gue sama Vino adalah orang yang berpacaran di lorong anak kelas SMA 2 dan juga SMA 3 kayak di drama-drama di TV, tapi ini berbeda. Suasana dan juga perasaan yang ada disini, sangat berbeda dengan gue bersama orang lain saat berantam.

Vino tertawa terbahak-bahak. "Haaaa, yang salah kemarin siapa? Lo kan? Bukan gue," tawa Vino berubah menjadi tatapan dingin yang menusuk ke bulu kuduk gue.

"Ya tetap aja, lo nggak pernah diajarin etika apa sama orang tua lo? Lo nggak tau, kemarin lo tuh hampir mukul cewek," kesel gue.

"Apa lo ada luka?" tanya-nya sesingkat mungkin. "Nggak kan? Yang ada lo bikin gue luka. Apa lo nggak liat tangan gue hampir berdarah gara-gara omongan lo yang nggak dijaga? Hei tuan putri yang gue hormati di sekolah ini, sebenarnya ini bukan perkara etika, tapi ini perkara sopan santun lo. Gimana rasanya lo kalau di usir dari rumah orang lain? Itu perasaan gue kemarin saat lo usik gue," ucap Vino dan berjalan ke arah gue.

"L-lo,"

"Tuan putri, ingat satu hal. Kalau tuan putri baik sama saya, saya akan lebih baik sama tuan putri. Tapi kalau sebaliknya, tuan putri melakukan hal yang di luar nalar kepada saya, saya akan melakukan hal yang di luar nalar kepada tuan putri." Vino memegang bahu gue dan membisikan perkataannya.

"Kalau emang nggak ada lagi yang mau disampaikan, gue pergi dulu. Gue capek debat sama tuan putri kayak lo."

Raut muka Vino yang tadinya dingin, cuek, dan bahkan sama sekali nggak menatap mata gue, berubah dengan raut wajah yang dihiasi dengan senyuman hangat yang memukau. Gue sama sekali nggak bisa nebak apa yang sebenarnya di pikiran oleh cowok di depan gue sekarang.

Gue memegang erat tas milik Febby dan duduk di kursi luar kelas SMA 2-D, sesaat setelah Vino pergi meninggalkan gue sendirian di lorong SMA. Tak lama setelah gue bengong di kursi, tiba-tiba ada seseorang Wanita berteriak nama gue dari kejauhan.

"TASYA, TASYA!!" teriak seseorang.

"Febby?" tanya gue menatap buram wajah orang yang berlari ke arah gue.

"Haaa, m-a-a-f y-a," ujar Febby dengan nafas yang ngos-ngosan.

"Hahahaha, gpp. Nih tas lo," gue memberikan tas miliknya.

"Hehhehe, makasih ya!! Lo emang sahabat terbaik gue." Febby mengambil tasnya dan mencari botol air miliknya.

"Udah yuk, cabut!"

"Yok."

Gue tersenyum ke arah Febby walaupun dada gue menahan rasa sesak saat bersama Vino. Gue menutup rasa sesak itu dengan menggandeng tangan Febby, dan berjalan ke tangga untuk meninggalkan suasana yang tidak menarik bersama Vino tadinya.

"VINO. Nama lo akan gue simpan di hati gue, gue nggak akan kasih lo lepas untuk kali ini, karna lo udah berani-beraninya masuk ke dalam kediaman sang macan," batin gue sambil ngeliatin langit yang mendung.

***

"Han, lo sadar nggak sih.. mukanya Vino sama anaknya Om Eka itu mirip banget?" tanya Fay

"Jadi maksud lo, kalau Vino itu adalah Ethan gitu?" Fa melirik ke arah Fay yang ada di tempat tidur.

"Kalau menurut gue sih gitu." Fay menaikan alisnya keatas.

"Dapat teori dari mana lo?" tanya Farhan yang tidak fokus dengan game yang ia mainkan.

"Lo liat aja warna mata Ranger, Ken, Vino, Nathan. Cuman Vino doang yang warna matanya coklat dan Vino punya tanggal lahir yang sama dengan Ethan. Apa itu nggak nunjukin kalau Vino itu Ethan?" Fay masih bersikeras.

"Udahlah jangan beropini dulu. Kasusnya Ethan juga udah di tutup sama Om Eka," ujar Farhan dengan malas.

"Om Eka buka lagi kasus pencarian Ethan," ucap Fay sambil mengigit kukunya.

"Hah?!"

***

"Nathan belum dijemput ya sama mama?" tanya bibi yang mempunyai tempat penitipan anak.

Badan Nathan gemetaran hebat bukan karena kedinginan terkena angin AC melainkan takut dengan wajah bibi penitipan yang terobsesi dengan wajah lucunya, dan kepala Nathan hanya bisa menunduk sambil menggelenggkan kepala dan mundur selangkah dari bibi penitipan anak tersebut.

"Haa….. Haaa… NATHA-N." Vino membuka pintu penitipan anak dengan terengah-engah dan baju yang basah diguyur oleh air hujan diluar.

"PAPA!!" Nathan berlari kearah Vino sambil loncat-loncat serta kedua tangan Nathan naik keatas. Seakan-akan meminta dipeluk atau digendong.

"Haaa.. Nathan jangan peluk Papa dulu ya, ntar baju Nathan basah terus sakit lagi." Vino memberikan senyuman manis ke Nathan.

"Iiih!!" Muka Nathan tiba-tiba berubah cemberut seperti anak kelinci putih yang terlamabat dikasih makan oleh sang pemiliknya.

Vino melihat adiknya yang sudah mengasih muka cemberut menggemaskan itu hanya bisa menahan tawa. Vino mengambil sweaternya di tas dan memakai-kan ke badan Nathan yang menandakan jika "Boleh peluk kalau Nathan pakai sweaternya." Nathan yang mengerti langsung mengangguk dan memakai sweaternya walau kebesaran.

"Aduh nggak kuat nih jantung saya. Anak siapa sih ini?" tanya Vino mencubit pipi chubby Nathan.

"Anak Papa Vino," jawab polos Nathan.

"Hahaha." Vino menggelengkan kepalanya dan tertawa kecil. "A-ah! Maaf saya telat jemputnya, soalnya bus stop-nya lumayan lama. Sekali lagi saya minta maaf," badan Vino menunduk ke bibi penitipan anak.

"Gpp kok, kamu benar-benar ayah dari Nathan? Kok masih kelihatan muda?" tanya bibi itu dengan penasaran.

Vino tersentak kaget saat mendengarkan pertanyaan dari bibi penitipan anak itu. Ya wajar sih semua orang kalau berada di posisi bibi ini juga akan bingung, ketika Nathan manggil Vino dengan sebutan "Papa". Vino menggarukan kepalanya yang tidak gatal dan wajah yang basah dan mata tertutup rambut akibat basah terkena air hujan.

"B-bukan kok. Saya abangnya, kebetulan Nathan emang sering manggil saya dengan sebutan Papa," jawab Vino dari pertanyaan yang bisa dibilang mematikan juga.

"Ngaku aja, kalau emang kamu itu Papanya Nathan. Saya juga bisa maklumin kok, soalnya banyak juga yang seumuran kamu yang udah nikah dan punya anak," kata bibi dengan nyolot.

Vino terbatuk pelan, lalu melirik ke bibi penitipan anak dengan tatapan yang dingin dan menusuk. "Haaa.. maaf ya bibi yang mungkin nggak bisa dikasih tau dalam sekali. Perkenalkan nama saya Vino Lee, anak dari Pak Rudy yang merekrut anda sebagai tempat penitipan Nathan sementara dan direktur dari perusahaan Lee Group. Anak yang bibi jaga sekarang adalah anak dari Pak Rudy dan saya adalah abangnya, nama dia adalah Nathan Lee."

"Perusahaan Lee Group? Vino Lee? Anda adalah anak ketiga dari anak Direktur Lee, yang artinya anda T-tuan muda ketiga?" tanya bibi penitipan anak dengan mata yang membulat dan melebar.

"Maaf atas keterlambatan perkenalan saya, nama bibi siapa kalau saya boleh?" tanya Vino dengan dingin dan juga perkataan tinggi dan juga rendah.

"S-saya Siti," ucap bibi itu.

"Bi Siti, mulai hari ini dan seterusnya saya akan mencabut rekrutan dari direktur Rudy, yang artinya saya tidak akan pernah mentipkan Nathan kepada orang yang suka berbicara sembarangan. PAHAM?!"

"Saya benar-benar meminta maaf kepada tuan muda ketiga dari perusahaan Lee Group." Bi Siti membungkuk berlutut terhadap Vino dan Nathan.

"Haaa, saya akan memaafkan anda. Tapi sebagai gantinya, anda jangan pernah sesekali menunjukan muka anda ke keluarga Lee lagi. Jika saya sampai melihat muka anda atau batang hidung anda, saya tidak akan segan-segan untuk membakar tempat penitipan anak ini!!" Vino memberikan syarat serta wajah yang menyeringai.

"Jangan tuan muda ketiga, jangan bakar penitipan ini tuan muda. Saya berjanji untuk tidak menampakan muka saya lagi di hadapan keluarga direktur maupun nyonya direketur."

"Saya akan pegang janji kamu." Vino menggendong Nathan dan berjalan keluar dari penitipan.

"Terima kasih banyak tuan muda."

***

Hi, Rain disini. Maaf ya, saya meminta izin untuk hiatus kembali. Perkiraan saya hiatus bisa sampai dua minggu atau lebih.. saya minta maaf *emoticon sad*.

Btw, happy holiday buat kalian ya, semoga liburan kalian menyenangkan xixixi..

Rain_Flamescreators' thoughts