webnovel

Part 5

"Anak-anak semuanya, minta waktu kalian sebentar!! Hari ini ibu membawa murid pindahan, tolong kalian perhaatikan ya. Silahkan perkenalkan nama kamu nak," perintah Bu Ranti, wali kelas 11-D atau 2-D.

"Ada spidol nggak bu?" tanya gue sama Bu Ranti.

"Ada, ini." Bu Ranti memberikan spidol yang berwana hitam ke Vino.

Gue mengambil spidol yang diberikan oleh Bu Ranti dengan senyuman di wajah dan membalikan badan gue menghadap ke papan tulis untuk menuliskan biodata gue. Gue membalikan badan gue dan menggembalikan spidol Bu Ranti masih dengan senyuman.

"Maaf ya, saya lagi malas untuk berbicara panjang lebar. Jadi itu adalah nama saya, mohon untuk diingat ya," kepala gue menunduk setengah. "Kalau begitu Bu, saya duduk dimana ya?" tanya gue ke Bu Ranti.

"Silahkan duduk di sebelah Febby ya." Bu Ranti menunjuk ke arah anak yang bernama Febby.

Gue melihat tangan tulunjuk Bu Ranti, "Hooo.. dia yang kemarin bukan? Menarik," batin gue. "Baik bu," tunduk gue.

Gue berjalan ke arah tempat duduk Febby. Gue menatap Febby dengan tatapan dingin, dari ujung badan sampai ujung kakinya bergetar hebat, seperti orang yang berhasil tertangkap oleh buronan penjahat kelas kakap. Gue menghela nafas dan meletakkan tas di atas meja dan duduk diam di sebelah Febby dengan memberikan senyuman manis yang nggak ikhlas sama sekali.

"Oke anak-anak, perhatikan buku cetak sejarah kalian dan buka halaman lima sampai halaman sepuluh. Pelajari semua itu karena besok kita akan mengambil quiz bla, bla, bla."

"Pinjem buku lo dong, gue belum punya buku. Lagian gue juga masih anak baru disini," ujar bisik gue ke Febby.

Tanpa berpikir panjang, Febby langsung memberikan buku cetaknya ke tengah-tengah perbatasan meja, gue yang melirik Febby dengan badan yang masih bergetar daritadi, mengambil sebuah pena di dalam tas dan mencoret sesuatu di buku cetak Febby.

"Hei, kacang… mau sampai kapan lo gemeter terus? Nggak lemes apa badan lo kayak gitu?" tulis gue.

"E-eh, ganggu ya? Maaf, maaf." Febby menulis di buku-nya dan langsung memberhentikan getaran dari tubuhnya.

"Minta tangan lo dong."

Febby memiringkan kepalanya seperti anak kelinci yang melihat wortel dari sang majikan, dia memberikan tangan sebelah kirinya tanpa ragu. Gue mengeluarkan sebuah permen coklat dari kantong saku baju seragam gue dan memberikan kepada telapak tangan Febby. Gue tersenyum kecil ke arah Febby.

"Konon, katanya kalau lo makan coklat, masalah lo yang numpuk di otak bakal hilang. Ya gue nggak terlalu ngerti sih cerita zaman dulu, tapi coba lo makan aja dulu, mana tau bisa hilangin masalah lo."

Febby mengangguk iya dan berterima kasih.

"Soal kejadian yang kemarin, lupain aja. Gue udah nggak terlalu peduli soal itu. Gue juga mau minta maaf soal kemarin, mungkin aja gue capek terus suasana-nya juga mendukung untuk gue emosi disana.. jadi gue kayak gitu deh," gue memberikan senyuman dan menggambarkan kelinci imut di buku cetak sejarah milik Febby.

"Yang seharusnya minta maaf itu kan aku," tulisnya.

"Lo nggak salah apa-apa, yang seharusnya salah itu kan teman-temen lo," balas gue. "BTW, lo kalau sama gue jangan terlalu pakai bahasa formal. Pakai bahasa informal aja," bisik gue.

"Ya aku kan juga harus," tegas Febby. "Oke," bisik Febby.

"Lo tuh emang teman yang baik ya, jangan terlalu baik sama orang-orang, gue nggak pengen lo kayak anjing yang disuruh-suruh sama majikannya walaupun demi kebaikan sih anjing juga sih."

Febby tetawa kecil, "Masa lo ngatain gue anjing sih?"

"Hahahhaha, bukannya lo imut ya?" tulis gue dengan emot anjing.

"Hmmm, iya deh, terserah Vino aja lah." Febby tersenyum malu.

"Pakai bahasa informal sama gue, barusan gue kasih tau lo deh."

"Eh, lupa lupa. Maaf maaf," tulisnya dengan cepat,

"Pftt, nggak apa-apa kok." Gue mengelus kepala Febby dan tersenyum.

***

"Akhirnya bel istirahat juga." Vino mengangkat tangannya ke atas dan melirik Febby. "Lo itu unik ya, beda banget sama teman-teman lo yang kemarin," lanjutnya sambil tersenyum.

"A-ah, nggak kok!! Gue cuman takut aja sama lo, gara-gara soal kemarin, makanya gue kayak gini sama lo." Febby menggerakan jari tanngannya.

"BTW, lo nggak apa-apa kan tadi kena marah sama Bu Ratna?" tanya Vino penuh khawatir.

"Nggak apa-apa kok, gue udah biasa kalau dimarahin sama Bu Ratna."

"Beneran gpp?"

"Iya."

Beberapa jam yang lalu sebelum bel istirahat berbunyi, Vino yang mengelus kepala Febby menarik perhatian kelas dibandingkan pelajaran sejarah Bu Ratna. Alhasil Vino dan Febby mendapatkan hukuman berdiri selama jam pelajaran Bu Ratna selesai.

"Tapi gue minta maa-,"

"FEBBY, AYO GAS KANTIN!!" teriak salah satu seseorang yang ada diluar pintu. "Eh, lo?" orang itu berjalan ke meja Vino dan juga Febby yang bersebelahan dengan jari telunjuk yang mengarah ke Vino.

"Jangan nunjuk-nunjuk orang, nggak sopan." Vino menurunkan jari telunjuk perempuan itu.

"Bodo amat, wlekk." Orang itu menjulurkan lidahnya keluar.

"Lo yang kemarin kan? Siapa nama lo?" tanya Vino cuek.

"Gue? Nama gue Tasya Anastia," ujar perempuan itu.

"Oh, Tasya? Nama lo bagus tapi sayang aja kelakuan lo aneh," ucap Vino jujur.

"L-lo mau ngajak duel disini? Kalau mau jangan disini lah, kita ke lapangan aja," ujar Tasya penuh dengam emosi-nya.

"Nggak usah, makasih. Gue nggak main kasar sama cewek."

"Siapa nama lo?" Tasya mencoba untuk mengontrol emosi-nya yang daritadi naik dan turun.

"Vino Lee. Lo bisa panggil gue dengan Vino," jawabnya dengan senyum yang sangat misterius. Kita nggak tau dibalik senyuman itu, bisa jadi itu senyuman baik atau bisa jadi bakalan ada sesuatu buruk yang terjadi dengan Tasya.

"Gue bakal ingat nama lo," kata Tasya sambil menarik kerah baju seragam Vino. "Udah ah Feb, sini hawa-nya panas, kantin yuk." Tasya melepaskan tarikannya dari Vino.

"Hari ini baju gue ditarik dua kali sama orang yang berbeda, kelar udah baju gue," batin gue melirik kerah baju gue yang berantakan.

"A-anu… Tasya, kayaknya waktu jam istirahatnya tinggal 6 menit lagi, jadi mending lo balik ke kelas aja deh. Kasian juga Kak Sakura daritadi nungguin lo kelamaan di luar kelas tuh." Febby mengusir Tasya secara halus dan mempersilahkan keluar dari kelasnya.

"Ck!! Nenek lampirnya kelaparan tuh," gumam Vino.

Tasya menatap Vino dengan tatapan yang mengisyaratkan "Gara-gara lo, gue nggak jadi ke kantin. Siap-siap aja lo, akan gue gantung lo sampai kehabisan nafas." Vino menatap balik Tasya seakan-akan tidak ada dosa dan senyuman mematikan yang masih berbekas daritadi.

"Tau ah! Gue balik aja deh ke kelas," ujar Tasya dengan muka BT.

"Tunggu dulu," Vino bangkit dari kursi dan menarik lengan Tasya lumayan kencang, sehingga membuat Tasya jatuh ke pelukan Vino.

"…"

Keheningan selama beberapa menit, anak-anak yang masih di kelas melihat Vino untuk kedua kali, seakan-akan melihat skandal baru di sosmed. Vino melirik Tasya yang mukanya ditutupi oleh rambut dan badannya menghadap ke tubuhnya Vino, secara reflex mendorong Tasya dengan pelan.

"Bentar, lo makan permen susu aja nih, daripada lo mati kelaparan. Kan nggak lucu kalau tiba-tiba lo pingsan di kelas nanti." Vino memberikan permen susu dan meletakannya ke telapak tangan Tasya dengan wajah yang seperti merah tomat.

"Apaan sih lo, nggak jelas banget," ujar Tasya sambil membenarkan rambutnya yang berantakan.

"Udah sana lo pergi dari kelas gue." Vino membuang muka merahnya dengan menutupi mulutnya menggunakan punggung tangannya dan nafas yang terengah-engah daritadi.

"Anak gila." Tasya mengkibaskan rambutnya dan berjalan keluar dari kelas Vino sambil menggandeng lengan Kak Sakura.

"Orang yang aneh, tapi lucu juga kalau dia marah," batin Vino. "Tapi kalau gue perhatiin juga, dia itu mirip banget sama orang yang gue temuin di taman bermain sewaktu gue kecil. Apa mungkin dia orang yang selama ini gue cari?" Vino meraih kursi-nya dan berpikir dengan serius walau muka-nya masih merah.

Setelah Tasya keluar dari kelas, Febby melihat Vino yang melamun dengan mukanya sudah kayak kepiting rebus sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Febby menepuk bahu Vino dengan pelan untuk memecahkan lamunan-nya.

"Lo nggak apa-apa Vin?" tanya Febby dengan curiga.

"A-ah, iya gue nggak apa-apa." Vino.

"Ooh."

"Eh Feb, teman lo yang tadi anak kelas mana sih?" tanya Vino penasaran.

"Maksud lo Tasya? Dia anak kelas 2-C," ujar Febby.

"Sekelas sama Ken rupanya," gumam Vino.

"Apa jangan-jangan Vino suka sama Tasya?" batin Febby yang daritadi memperhatikan gerak-gerik dan tingkah laku Vino saat bersama Tasya. "Ah, mana mungkin Vino suka sama Tasya, toh mereka juga baru pertama kali ketemu, masa Vino langsung jatuh cinta sama Tasya." Febby menggeleng-gelengkan kepalanya dan membatin.

"Lo nggak apa-apa? Leher lo ada masalah?" tanya Vino yang melihat Febby menggelengkan kepalanya.

"Ng, itu leher gue agak sakit," jawab Febby dengan malu.

"Mau gue pijitin nggak leher lo?"

"Nggak usah kok, nggak apa-apa."

"Oh, oke." Vino memperbaiki kerah baju yang berantakan yang disebabkan oleh Tasya tadi.

***

"Vin, jangan tidur di jam pelajaran, nanti kalau gurunya ngeliat lo bisa kena marah sama gurunya lho." Febby membisikan ke kupig gue.

"Heeh, bawel ah lo."

"Vin, burua-,"

"VINO, KAMU TIDUR DI JAM MATA PELAJARAN SAYA?" tanya Bu Lisa dengan nada yang lumayan tinggi, melebihi suara teriakan Ranger tadi pagi.

"Nggak kok bu, kepala saya cuman letak di meja aja kok bu. Kalau bahasa pemahamannya adalah rebahan gitu bu," jawab gue dengan kepala yang langsung terangkat ke atas dan memperhatikan wajah Bu Lisa.

"Kalau kamu emang perhatiin apa yang saya omong. Coba kamu jelasin apa arti dari indeks harga!!" tanya Bu Lisa tegas.

"Indeks harga bu?" tanya gue sambil berdiri dari kursi. "Jadi, indeks harga itu adalah merupakan suatu ukuran statistik untuk menyatakan perubahan-perubahan harga yang terjadi dari suatu period eke periode lainnya. Sudah saya jelasin bu, apa ada yang salah dari perkataan saya barusan?" balas gue tentang pertanyaan Bu Lisa dan juga bertanya.

Anak-anak di kelas melihat gue dengan tatapan yang berbinar-binar, hal yang sama juga dengan Febby yang di sebelah gue ikut terpakau melihat gue. Untuk sesaat gue mengedipkan mata sebelah kanan kanan gue ke Febby.

"Bu, kebetulan kaki saya pegal. Apa saya udah diizinkan untuk duduk?" tanya gue memegang kaki yang pegal.

"Iya, silahkan duduk. Lain kali jangan tidur kamu," jawab Bu Lisa yang mempersilahkan gue untuk duduk.

"Baik bu," kata gue sambil menggeluarkan jempol atau ibu jari.

"Oke, anak-anak perhatikan semuanya!! Buka buka kalian halaman 23 kerjakan soal-soal latihan nya dan kumpulkan di pertemuan berikutnya, paham semuanya?" lanjut Bu Lisa sambil menghentakan penggaris ke meja guru.

"Paham bu,' jawab kompak seisi kelas.

"Baik. Kerjakan dan kumpulkan tepat waktu, ibu nggak mau denger ada alasan yang nggak kerjain. Ya sudah kelas sampai disini, kalian boleh pulang semua."

"Makasih bu," jawaban dari anak-anak kelas terlihat lebih bersemangat dibandingkan memberi salam.

Gue mengambil tas di lantai dan memasukan barang-barang yang berantakan di meja gue ke dalam tas, gue melirik heran ke arah Febby yang daritadi masih belum membereskan barang-barang miliknya berantakan di mejanya dan mata yang masih terfokus ke buku Ekonomi miliknya.

"Lo nggak mau pulang?" tanya gue menepuk pundak Febby yang tegang dan juga kaku.

"A-ah, belum. Gue masih mau belajar dulu. Vino kalau mau pulang, pulang aja duluan," jawabnya terbata-bata.

"Lo kenapa? Masih grogi sama gue?" gue menaikan satu alis gue.

"Nggak kok. Gue cuman k-kagum aja sama lo," ucap Febby dengan wajah yang menutup dengan buku.

"Oh ya? Lo kenapa kagum sama gue? Apa karna gue bisa jawab pertanyaan dari Bu Lisa?"

Febby mengangguk dan menurunkan buku dari wajahnya.

"Hmm, apa cuman itu aja?" tanya gue.

Febby menelan ludah dan menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya masih ada. Lo yang bikin gue termotivasi untuk belajar giat lagi, supaya gue nggak ketinggalan di belakang terus."

Gue sedikit kaget dengan perkataan Febby dan tersenyum. "Lain kali, kalau mau bicara sama orang lain, tatap mata orang nya. Jangan tatap lantai atau ke yang lain, itu sama aja lo nggak sopan."

Febbby yang mukanya memerah, mendadak bangkit dari kursinya dan lari pergi meninggalkan gue dan tasnya secara bersamaan. Gue yang kaget Febby pergi begitu saja, langsung diam beku sementara dan membulatkan kedua bola mata gue.

"Apa gue salah ngomong ya?" ujar gue. "Terus ini tas sama barang-barangnya gimana?" lanjut gue sambil memegang barangnya Febby.

***

Bersambung~