webnovel

Part 2

Udara malam hari di Jakarta terasa sejuk dan dingin, angina-angin yang berhembusan diluar menusuk ke kulit siapa saja yang keluar di malam hari. Udara di bodor bisa dibilang lebih dingin daripada sebelumnya, gue menatap kolam ikan yang sebelumnya kolam itu memiliki kenangan yang indah dengan kakek gue.

"Vino, makan malam udah selesai," teriak nyokap dari bawah.

"Ya," teriak gue dari kamar.

Gue keluar dari kamar dan mulai menurunin anak tangga satu demi satu, mata gue langsung melihat dingin kearah meja makan. Ada satu orang yang selama ini kalau diajak makan malam bersama susah atau nggak makan malam sama teman-temannya diluar.

Gue duduk disamping Ken dan mengambil sendok dan garpu dimeja. Ken menepuk tangan gue dengan pelan yang seolah-olah memperingati gue untuk tidak mengambil garpu dan sendok. Gue menatap Ken dengan dingin dan menghela nafas dengan kuat.

"Tumben makan malam bareng, biasanya nggak makan malam sama kita. Ada angin apa ya hari ini?" Gue melontarkan pertanyaan yang menusuk buat bokap gue dan menatapnya seakan-akan bokap gue adalah musuh gue sendiri.

Bokap gue senyum kearah gue. "Ada yang mau Papa omongin sama kalian bertiga. Makanya Papa memutuskan makan malam sama kalian, lagian papa juga kangen makan bareng sama kalian."

"Ngomongin soal apa Pah?" tanya Ken.

"Kayaknya ada sesuatu yang penting nih," ujar Ranger.

"Papa mau pindahin kalian dari sekolah," ujar bokap dengan santai.

Gue yang mendengar perkartaan itu, seketika membulatkan mata lebar-lebar dan nafsu makan gue hilang dalam sekejap.

"Lho Pa, emang sekolah yang ini kenapa?" tanya Ken sekali lagi untuk memastikan bahwa bokap nggak lagi bercanda.

"Papa ngerasa Vino masih belum bisa berbaur sama teman-teman yang ada di sekolah ini, makanya papa mau pindahin kalian ke sekolah yang baru," jawab bokap sambil ngeliatin gue.

Gue melihat bokap balik, "Papa nggak usah mikirin aku, terserah aku dong mau punya teman atau nggak. Itu kan urusan aku, ngapain Papa permasalahin?" tegas gue.

"Ini demi kebaikan kamu Vin," ujar bokap.

"Cukup pa, Papa mau suruh aku pindah sekolah itu juga nggak akan ngaruh sama pertemanan Vino pa." jawab gue.

"Vin, jaga omongan lo sama Papa." Ken menatap gue dengan mata sinisnya.

"Terserah Papa, aku nggak peduli dengan sekolah ini. Kalau emang Papa mau mindahin kita kesekolah yang baru, Vino nggak masalah kok." Gue menarik diri dari kursi dan berjalan kearah tangga. "Emang ya cuman Papa sama Nenek yang nggak pernah ngertiin perasaan Vino," batin gue dan bergegas kekamar.

"Vino, woi!!" teriak Ranger dan Ken secara bersamaan.

"Maafin Papa ya, Papa jadi buat keributan kayak gini."

"Nggak kok Pah, emang Vino-nya aja yang sensitif kayak gini." Ken tersenyum kecil.

Bokap, Ranger, Ken, dan Nyokap ngeliatin gue di meja makan. Gue sadar gue salah dan suasana yang ada di meja makan juga kurang mendukung buat gue marah sama bokap, dan suasana juga berbeda daripada sebelumnya. Bukan karna bokap ikut makan malam sama kita cuman emang aneh aja.

Gue masuk kekamar dan menjatuhkan diri ke kasur sambil menatap langit-langit kamar gue. Sekitar lima menit gue ngeliat langit-langit kamar, gue membangunkan diri dari kasur dan menarik kursi belajar gue. Gue mengambil album foto gue membuka halaman pertama dan mengambil selembar foto yang ada di album.

"Ino kangen sama Kakek." Gue melihat foto itu dimana gue masih berumur lima tahun. "Kakek nggak kangen sama Ino?" tanya gue. Tanpa sadar air mata gue jatuh ke kertas foto itu.

Nggak lama dari gue ngeliat foto itu, ada seseorang mengetuk pintu kamar gue dari luar. Awalnya gue nggak mau ngebuka, tapi orang yang mengetuk pintu kamar gue lebih keras daripada sebelumnya. Alhasil gue membuka pintu kamar dan melihat Ranger dan Ken membawa sepiring makanan dan secangkir air putih.

"Mau ngapain lo di depan kamar gue?" tanya gue dengan muka bantal.

"Lo belum makan. Gue sama Ranger bawain keatas." Ken masuk kekamar gue dan melatakan makanan dan minuman yang ia bawakan di meja belajar gue.

"Dari dulu ya Vin, kamar ini nggak ada yang berubah, selalu di penuhi dengan foto yang kakek ambil pakai kamera kakek," celetuk Ranger.

"Lo berdua kalau udah nggak ada keperluan lagi, mending keluar deh dari kamar gue. Gue butuh waktu istirahat gue," ujar gue.

"Vin, gue tau lo marah sama Papa, tapi lo nggak boleh kayak anak kecil gini. Emang Papa secara mendadak mau mindahin kita dari sekolah, cuman lo tau kan Papa ngelakuin ini demi lo, biar lo bisa ngomong atau dekat sama orang lain." Ranger duduk di kasur gue.

"Gue nggak marah sama Papa, lagian gue juga nggak peduli kalau emang papa mau mindahin gue ke sekolah baru. Emang ada gue marah sama Papa?" tanya gue dengan tegas dan mengepalkan kedua tangan gue.

"Lo emang nggak nunjukin marah lo, tapi hati lo pasti lagi marah dan gue yakin hati lo juga penuh dengan keamarahan dan kebencian," ujar Ken bijak sambil mengeluskan kepala gue.

Gue terdiam sesaat, yang dibilang Ranger dan Ken itu benar. Gue memang lagi marah sama bokap gue, dan gue juga kesal sama bokap. Tapi, suasana di meja makan tadi lagi nggak enak, dan entah kenapa emosi gue meluap disana seakan-akan gue mengetahui kejadian ini.

Setelah Kakek gue pergi ninggalin gue di dunia yang kejam dan bagi gue penuh dengan api dimana saat kaki gue berpijak, hati gue langsung mengeras seperti batu. Gue belum bisa memastikan kapan hati gue bisa dipenuhi dengan keindahan dan kebahagian lagi.

"Yaudah, kalau gitu gue sama Ranger keluar dulu. Mungkin lo butuh waktu untuk mikirin ini, jangan lupa makan ya," kata Ken.

"Tapi waktu lo nggak lama, paling nggak sampai jam tujuh pagi," sambung Ranger.

"Selamat malam dan selamat tidur." Ranger dan Ken keluar dari kamar dan menutup pintu kamar gue.

Gue melihat kearah pintu yang sudah tertutup dengan rapat, gue berjalan kearah meja belajar dan duduk sambil menatap makanan yang dibawakan oleh Ranger dan Ken. Gue memikirkan kejadian yang ada di meja makan tadi, gue memikirkan omongan Ranger.

"Apa gue siap untuk besok? Gue harus gimana? Kenapa orang-orang pada egois semua?" kata-kata itu selalu keluar di pikiran gue, dan kata-kata yang selalu melayang diotak gue adalah, "Apakah gue bisa ngelanjutin kehidupan gue tanpa orang yang gue sayangin?"

***

Ranger, Ken, dan Vino duduk di meja makan untuk bersiap-siap sarapan dan bergegas ke sekolah baru-nya. Ranger dan Ken melihat kearah adiknya yang daritadi keliatan tidak bersemangat dan wajahnya pucat kayak abis orang demam, akan tetapi Ranger dan Ken percaya bahwa Vino bisa menerima walau agak susah.

Tak lama suasana keheningan yang terjadi di meja makan, Rudy dan Melinda duduk bersama di meja makan untuk sarapan dengan ketiga anaknya. Rudy melihat Vino yang sudah mengenakan seragam sekolah barunya terlihat senang dan mau pindah ke sekolah baru-nya.

"Jadi keputusan Ino gimana?" tanya Melinda yang mencoba menggantikan suasana di meja makan.

"Keputusan? Keputusan apa?" tanya Vino kembali dengan bingung.

"Kamu mau pindah ke sekolah yang baru? Kayanya kamu udah nerima tuh." Melinda tertawa kecil dan menyipitkan mata.

"Oh, soal itu. Iya, Ino mau ke sekolah yang baru." Vino mengambil selembar roti dan mengoleskan selai strawberry.

Melinda tersenyum kepada Vino walaupun Vino tidak memperhatikan senyuman Melinda. "Yaudah yuk makan, nanti telat loh ke sekolahnya."

Ranger dan Ken mengangguk dan langsung mengambil beberapa roti yang ada di piring, suasana yang tadinya penuh dengan percakapan Melinda dan Vino, sekarang kembali dengan tenang dan hening tanpa adanya suara. Vino menarik kursinya ke belakang dan beranjak ke ruangan tengah sambil memakan roti yang ia oleskan dengan selai.

"Ya ampun tuh anak, udah bagus kayak tadi." Ranger membatin dan melirik langkah Vino.

"Ino, mama harap kamu bisa kayak dulu lagi ya nak. Mama kangen sama kamu yang dulu." Melinda membatin dan menahan tangisan.

***

Gue membuka handphone dan ngeliatin isi whatsapp, tanpa sengaja mata gue tertuju ke kontak Kak Fay. Kak Fay? Dia kakak-kakakan gue, sekarang dia lagi ngelanjutin kuliah-nya di Universitas ternama di Australia, gue nggak heran kalau emang Kak Fay masuk ke Universitas ternama, dan gue juga nggak tau kapan dia pulang ke Jakarta. Gue berharap dia cepat pulang ke Jakarta.

"Apa gue kasih tau Kak Fay ya soal kepindahan sekolah?" tanya gue membatin. "Ah kasih tau aja," gumam gue tanpa berfikir panjang.

Vino : Selamat pagi Kak Fay, apa kabar? Kakak nggak kangen sama kota Jakarta? Emang kakak nggak kangen sama kucing imut kakak ini? Oh iya Kak Fay, Ino sekarang udah pindah ke sekolah yang baru, kakak doain aja kucing imut kakak ini bisa berbaur sama orang-orang di sekolah. Yaudah kalau gitu, Ino pamit ya. Dadah (cepat balik ke Jakarta ya, kangen tau!! (emot kucing telinga kebawah)).

"Vin, yuk turun." Ken memanggil gue.

"Udah sampai ya?" tanya gue sambil mematikan layar handphone.

"Udah lah, yuk. Kasian Papa nanti terlambat masuk kantor," ujar Ken dengan membawa tas-nya.

Gue mengambil tas yang gue taruh dibawah dekat pintu sebalah kiri, lalu menggendong tas dengan setengah badan dan turun dari mobil. Gue menatap bahu Ranger yang sejajar dengan dingin, gue menghela nafas dan jalan kearah gerbang sekolah, gue menatap nama sekolah yang tertulis besar di gedung sekolah.

"Sekolah ini? Kayak gue kenal?" ujar gue. "Garuda Bangsa? Bukannya SMA-nya Kak Fay dulu?" gumam gue.

"Oyy, mau sampai kapan lo bengong disitu?" tanya Ranger sambil membenarkan kerah baju-nya.

"Apa urusan lo kalau gue bengong?" tanya gue dingin.

"Dingin banget sama abang sendiri, kenapa lo?"

"Nggak ada." Gue sengaja menyenggol bahu Ranger lumayan keras.

"Cih anak ini." Ranger menatap gue dengan tatapan kematian.

"Ribut aja terus kalian berdua." Ken mengamati gue dan Ranger daritadi. "Vin, kayaknya kita harus ke ruangan kepala sekolah!!" Ken memerintah ke gue.

"Gue juga tau, jadi nggak usah di kasih tau. Udah berapa kali juga kita di pindahin sama Papa," ujar gue.

"Ya itukan juga gara-gara lo. Coba lo bisa berbaur sama orang lain, kita nggak mungkin di pindahin sama Papa," tegas Ranger.

"Lo diem aja, kalau lo nggak mau pindah bilang aja sama Papa. Ribet amat sih jadi manusia." Gue senyum dengan sinis ke Ranger.

"Udah woi," nada tinggi yang di lontarkan oleh Ken. "Mau sampai kapan kalian berantam terus? Gue pusing liat kalian berantam terus, terutama lo Vin." Ken menunjuk kea rah gue.

Gue cuman bisa membisu dan pasrah ngeliat Ken. "Okay fine, I'm wrong i'm sorry."

"Nyada-"

"NGGAK USAH DITERUSIN," bentak Ken ke Ranger

"Yaudah gue cari kearah sana ya," Ranger menunjuk ke samping kanan dan berlari mencari ruangan kepala sekolah.

Gue berjalan santai sambil menggunakan airpod untuk menghilangkan suasana tadi dan mendengarkan lagu yang santai, belum lama gue memakai airpod, Ken di sebelah gue yang tadinya galak celingak celinguk seakan-akan mencari sesuatu.

"Lo cari apaan?" gue melepas airpod dan menepuk bahu Ken.

"T-O-I-L-E-T" eja Ken satu per satu.

"Tuh di dep-"

Belum selesai gue berbicara, Ken udah berlari menuju ke toilet. Gue melihat Ken yang berlari memikirkan sesuatu, ternyata kalau singa kebelet muka-nya jelek juga ya, seketika gue tersenyum disana dan berdiri mematung.

"Gue pengen ngungkapin apa yang selama ini gue tahan dari kalian, tapi rasa untuk ngungkapain itu sangat sulit untuk di utarakan." Gue membatin.

Gue meninggalkan tempat itu dan mulai mencari dengan pelan ruangan kepala sekolah, gue mengelilingi sekolah ini hampir lima menit tapi belum ada tanda-tanda ruangan kepala sekolah. Gue mencari tempat duduk dan melihat handphone gue dengan muka gue yang penuh dengan keringat.

"Yang bener aja, masa gue ditinggalin disini sendirian?" ujar gue sambil ngeliatin kanan kiri.

Tak lama gue duduk disini, gue tiba-tiba di kepung sama tiga orang cewek yang gue ngerasa itu adalah murid dari SMA Garuda Bangsa. Gue menaikan kepala gue yang tadi nunduk untuk ngeliat handphone dan melihat satu per-satu wajah tiga orang yang ada dihadapan gue sekarang.

"Mau apa?" tanya gue menaikan topi jaket dan melepas salah satu airpod dari telinga gue.

"Anak baru ya?" tanya salah satu diantara mereka.

"Iya," jawab gue dingin.

"Anak baru tapi kelakuannya dingi banget," ujar cewek ditengah. "Nggak bisa lebih ramah lagi apa?" protes cewek itu.

"Sorry nih ya, kalau kalian datang kesini cuman mau ngajak berantam, mending gue cabut aja." Gue berdiri dari tempat duduk itu dan mulai melangkah satu langkah.

"Jadi cowok kok baperan amat sih!! Baru juga diomongin kayak gitu, udah mau main pergi aja."

Gue menghentikan langkah gue yang awalnya gue harus menemui Ken, tapi badan dan kaki gue seakan-akan berjalan memutar ketempat yang tadi. Gue menghentikan langkah kaki gue tepat berhadapan sama cewek yang tengah itu.

"Mau ngapain lo?" tanya cewek dihadapan gue dengan senyuman miringnya.

"Lo punya tata krama nggak?" Gue mengepal tangan kanan gue yang sudah bersedia menonjok sesuatu.

"Kalau emang nggak punya, mending diam dan biar gue ajarin tata krama yang baik dan benar," tangan kanan gue mendarat di dinding secara keras, sampai-sampai membuat cewek itu ketakutan dan sekaligus membuat tangan gue berdarah.

"Ya ampun lo buat kesan pertama gue disekolah ini jadi jelek ya," gue tersenyum menakutkan ke cewek itu. "Sambutan yang bagus." Gue menarik tangan gue yang menempel ditembok daritadi dan meninggalkan cewek itu.

"Lo gpp kan?"

"Parah sih tuh cowok."

Gue memberhentikan langkah kakai gue, bola mata kiri gue ke samping untuk memperhatikan cewek yang ngajak gue ribut tadi. Gue ngerasa gue pernah ketemu sama dia dari awal atau bahkan kita pernah ngomong sebelumnya, tapi entah dimana gue ketemu sama cewek itu.

***

Bersambung

Like it ? Add to library!

Rain_Flamescreators' thoughts