Hari pernikahan akhirnya tiba, dan atmosfer di rumah Lord William Harrington dipenuhi dengan kegembiraan dan persiapan yang sibuk. Tamu mulai datang dari berbagai penjuru, mewahnya pesta pernikahan terasa memenuhi udara.
Amelia, mengenakan gaun putih mewah yang mengalir, berdiri di depan cermin dengan ekspresi campur aduk. Di dalam hatinya, dia merasa cemas dengan masa depan yang tak pasti, namun juga berusaha untuk tetap tegar di tengah gemerlapnya acara pernikahan.
Di sampingnya, William tersenyum penuh kepuasan, menikmati sensasi kekuasaan dan kendali atas kehidupan Amelia. Namun, di balik senyumnya yang anggun, tersembunyi niat gelap yang akan menyebabkan penderitaan bagi sang istri.
Jenkins sibuk mengatur segala sesuatu, memastikan bahwa acara berjalan lancar dan sesuai dengan rencana Lord Harrington. Meskipun hatinya tidak tenang dengan arah pernikahan ini, dia melaksanakan tugasnya dengan tekun dan penuh dedikasi.
Saat jantung mereka berdegup kencang dan langkah-langkah menuju altar, Amelia dan William memasuki babak baru dalam kehidupan mereka. Namun, di balik kebahagiaan yang terlihat di permukaan, gelapnya takdir mereka yang terbentuk oleh pernikahan kontrak mulai terungkap perlahan-lahan.
Amelia terkejut melihat banyaknya tamu undangan yang memenuhi ruang pernikahan, bahkan terdapat sejumlah wartawan yang sibuk meliput setiap detil acara tersebut. Hatinya berdebar keras, dan curiga mulai merayap di benaknya. Apa yang seharusnya menjadi hari yang sakral dan intim, kini terasa lebih seperti pertunjukan di depan publik yang lapar gosip.
Melirik William yang berdiri di sampingnya dengan senyum anggunnya, Amelia merasa semakin waspada. Dia bertanya-tanya apakah ini semua bagian dari rencana gelap yang telah dirancang oleh suaminya. Kemarahan dan kekecewaan mulai menggelora di dalam dirinya.
Amelia memandang William dengan pandangan tajam saat mereka duduk bersama di ruang pribadi sebelum upacara pernikahan dimulai. Dengan suara yang tenang namun penuh pertanyaan, dia menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Tuan William, apa maksud dari semua ini? Mengapa begitu banyak tamu undangan dan bahkan wartawan hadir di pernikahan kita?" tanyanya, mencoba menutupi kecurigaannya.
William menatapnya dengan senyum yang terlalu tenang. "Amelia, ini adalah pernikahan mewah yang saya rasa kita layak miliki. Saya ingin semua orang tahu betapa besar pengorbanan yang saya lakukan untuk menyelamatkan keluarga Anda dari malapetaka keuangan."
Namun, Amelia bisa merasakan kebohongan di balik kata-kata manis itu. Hatinya semakin tergelitik, dan kecurigaannya semakin kuat.
"Dengar, Tuan William," ucapnya dengan tegas, "saya tahu ada sesuatu yang tidak beres di sini. Apa yang sebenarnya Anda rencanakan? Saya tidak akan diam jika Anda menyembunyikan sesuatu dari saya."
William terkekeh pelan, mencoba menutupi ketidaknyamanannya. "Amelia, kau terlalu paranoid. Ini adalah pernikahan mewah, seperti yang seharusnya."
Namun, Amelia tidak tergoda oleh senyumnya yang manis. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya, dan dia bertekad untuk mengetahui kebenarannya.
William tersenyum senang melihat reaksi Amelia yang penuh kecurigaan. Dia merasakan kekuatan atas keadaan yang semakin menguntungkan baginya.
"Dengarlah, Amelia," ucapnya dengan nada yang terlalu manis, "Anda tidak perlu khawatir. Semua ini hanyalah bagian dari rencana untuk membuat pernikahan kita terlihat sempurna di mata publik."
Namun, Amelia tidak terkecoh oleh senyum manisnya. Dia merasa semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh William, dan dia tidak akan menyerah begitu saja.
"Demi Tuhan, William," kata Amelia dengan suara yang penuh keputusasaan, "jika Anda memiliki rasa kasih sayang padaku, beritahulah apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini. Saya tidak ingin menjadi bagian dari sesuatu yang saya tidak mengerti."
William menatapnya dengan dingin, tetapi di dalam hatinya, dia merasa tertantang oleh keberanian Amelia. Namun, dia berusaha menutupi emosinya dengan sikap yang tenang dan terkendali.
"Amelia, percayalah padaku," katanya dengan suara yang lembut, "semua ini hanyalah bagian dari rencana untuk memastikan kebahagiaan kita di masa depan. Saya akan menjelaskan semuanya setelah pernikahan kita berlangsung."
Meskipun hatinya masih dipenuhi dengan keraguan, Amelia merasa tidak punya pilihan selain mempercayai kata-kata William.
Upacara pernikahan dimulai dengan gemerlapnya sorotan lampu dan nuansa kegembiraan yang terasa di udara. Lady Amelia Pembroke dan Lord William Harrington berdiri di altar, dihadapkan oleh para tamu undangan yang memenuhi ruangan dengan antusiasme.
Prosesi pernikahan berlangsung dengan lancar, diiringi oleh musik yang megah dan pengumuman resmi dari penghulu. Meskipun semua tampak sempurna di mata tamu-tamu yang hadir, tapi di dalam hati Amelia, keraguan dan kekhawatiran terus mengganggu pikirannya.
Saat saat yang dinanti-nantikan tiba, mereka berdua saling menukar sumpah dan cincin, mengikatkan diri dalam janji suci pernikahan. Dengan pertukaran janji yang sakral, Amelia dan William memasuki babak baru dalam kehidupan mereka.
Saat William memeluk Amelia dengan lembut, dia menyampaikan pesannya dengan suara yang bergetar di telinganya, "Amelia, kamu harus tersenyum di depan wartawan. Ini penting bagi reputasi kita. Jika tidak, saya akan terpaksa mengambil tindakan di perusahaan ayahmu."
Amelia terkejut mendengar ancaman yang tersirat dalam kata-kata William. Matanya memancarkan kebingungan dan kekhawatiran, namun dia berusaha menutupi emosinya di depan para tamu yang hadir.
Dengan perasaan campur aduk di dalam dirinya, Amelia bersikap tenang di hadapan wartawan yang berseliweran di sekitar mereka, berusaha mematuhi permintaan William meskipun hatinya penuh dengan ketidaksetujuan.
William tersenyum puas saat melihat Amelia menyajikan senyum manis di depan kamera, memenuhi tuntutannya. Namun, di dalam hatinya, Amelia merasa semakin terjepit dalam permainan gelap yang dirancang oleh suaminya.
Saat Lord William Harrington dan Lady Amelia Pembroke berdiri di altar, di tengah sorotan lampu dan kamera wartawan yang menyala-nyala, satu di antara wartawan berani menanyakan pertanyaan yang mengganggu pikiran Lady Amelia.
"Dengan segala hormat, Nyonya Amelia," ujar wartawan itu dengan suara yang terdengar jelas di seluruh ruangan, "bagaimana perasaan Anda menikah dengan seorang pria yang kaya raya seperti Tuan Muda William? Apakah Anda merasa bahagia dengan pilihan Anda?"
Amelia merasa dadanya sesak, menyadari bahwa pertanyaan itu bisa menjadi jebakan yang rumit. Dia memandang William dengan cepat, mencari bantuan atau petunjuk dari suaminya, tetapi dia hanya melihat senyum anggun yang menutupi keinginan gelap di baliknya.
Dengan hati yang berdebar, Amelia berusaha menjawab pertanyaan itu dengan sebaik mungkin, meskipun hatinya penuh dengan keraguan dan kekhawatiran.
"Saya berterima kasih atas pertanyaan Anda," kata Amelia dengan suara yang gemetar sedikit, mencoba menemukan kata-kata yang tepat, "pernikahan adalah sebuah perjalanan, dan saya berharap kami dapat saling mendukung dan bahagia bersama."
Jawabannya disambut dengan gemuruh tepuk tangan dan sorakan dari tamu-tamu yang hadir, tetapi di dalam hatinya, Amelia merasa semakin terperangkap dalam perasaan tidak pasti yang menghantuinya sejak awal pernikahan mereka.