webnovel

6 PROVOKASI

Berita tentang Tante Lintang yang masuk rumah sakit segera tersebar liar seperti api yang membakar semak-semak kering di musim kemarau. Menyengat dan membuat jengah. Belum lagi ditambah dengan bumbu-bumbu tak jelas yang entah dari mana sumbernya. Provokasi – provokasi seperti ini mulai membuat suasana di Pasar Dukuh semakin panas dan tak kondusif. Para pedagang mulai resah dengan rumor-rumor yang tak jelas seputar Tante Lintang. Diantaranya adalah berita seputar penggelapan uang yang dilakukan oleh Tante Lintang untuk biaya berobat di rumah sakit. Lalu berita kalau Tante Lintang memang bertujuan untuk memonopoli hasil keuntungan pasar untuk dirinya sendiri. Atau berita kalau uang setoran harian tersebut digunakan Tante Lintang untuk membiayai pendidikan anak semata wayangnya di luar negeri.

Tante Lintang sendiri, walaupun sudah dikabarkan keluar dari rumah sakit, tapi kondisi kesehatan beliau memang belum membaik sehingga tidak bisa datang untuk melaksanakan tugas hariannya ke Pasar Dukuh dan menarik setoran. Hanya Bang Dirman, Bang Bajo, dan Bang Solihin saja yang setia untuk melakukan penarikan setoran harian secara bergiliran sambil terus memantau kondisi pasar. Tambahan lagi, mereka bertiga akhirnya dibantu oleh ormas setempat untuk membantu menghalau para preman asing yang seringkali mengacau di Pasar Dukuh. Secara keseluruhan, suasana Pasar Dukuh kini cukup kondusif dan terkendali walaupun sedikit tegang.

Aku sendiri walaupun tidak terlalu ambil pusing dengan gossip-gosip aneh yang beredar, sedikit banyak agak merasa terganggu juga. Apalagi jika para pelanggan kami juga mulai menyatakan kebenaran dibalik rumor aneh-aneh tersebut. Hanya ibuku saja yang tampaknya sama sekali tidak terpengaruh berita-berita miring yang ada seputar Tante Lintang dan berusaha untuk meredam suasana sambil tetap menjual barang-barang dagangan kami.

Hanya saja, frekuensi ibu untuk mengunjungi Tante Lintang semakin lama semakin sering. Dari tadinya hanya seminggu sekali, sekarang berlanjut menjadi seminggu dua kali. Bahkan aku acap kali disuruh untuk pergi ke pasar duluan sementara ibu baru datang belakangan setelah menjenguk Tante Lintang. Aku sendiri yang tadinya mencoba untuk memahami kondisi Tante Lintang, lama

kelamaan sebal dengan situasi ini.

Sementara kalau aku bertanya tentang kondisi Tante Lintang, ibu seringkali hanya bicara seperlunya sehingga membuatku semakin penasaran. Sampai akhirnya, kekesalanku memuncak sore hari itu.

"Sebenarnya ada apa sih dengan Tante Lintang?? Tiap hari ibu pergi ke rumahnya untuk bantu ini, antar makanan lah, urus ini itu sementara lapak kita sering ditinggal-tinggal. Tante Lintang itu sudah kaya, Bu! Ada Bang Bajo dan kawan-kawan yang bisa bantu jaga dan urus beliau!! Belum lagi ada Bi Ningsih juga yang selalu jaga Tante Lintang di rumahnya…"

Dan seperti biasa, ibuku hanya diam sambil menyiapkan beberapa bekal untuk dibawa ke rumah Tante Lintang lagi sore itu. Aku sudah tak tahan lagi dan dengan nada sengit, aku bertanya,

"Sebenarnya… ibu dibayar berapa sih untuk mengurus Tante Lintang?? Sampai-sampai ibu berani meninggalkan lapak dan Rika tiap hari????"

PLAKKK!!!!

Sebuah tamparan keras tiba-tiba mendarat di pipiku sementara aku hanya bisa menatap ibuku dengan tatapan kaget sambil memegangi pipiku yang terasa menyengat. Saat itu, aku berani sumpah kalau ibuku marah sekali!

Tidak pernah aku melihat ibuku semarah ini sebelumnya hanya karena masalah orang lain.

Ibuku memang cerewet dan bawel tapi di satu sisi, ia juga sangat tabah dan penyabar. Hanya karena

masalah Tante Lintang saja, aku melihat sisi lain dari dirinya!

Dulu, aku selalu mengira kalau hanya kami berdualah harta paling berharga yang dimiliki oleh ibu sepeninggal ayah. Tapi ternyata aku salah besar! Buat ibu, Tante Lintang jauh lebih penting dan berharga untuknya.

Rasa frustasi dan cemburu memenuhi hatiku! Lalu, sambil bercucuran air mata, aku langsung berlari masuk kamar dan menangis sepuas-puasnya.

Kakak yang baru saja pulang serta melihat kejadian itu lalu bertanya pada ibu yang masih termangu di ruang makan.

"Sebenarnya ada apa sih, Bu?" tanya Kak Yanto bingung.

Mata ibu berkaca-kaca saat melihat Kak Yanto datang menghampirinya dan memeluk dirinya.

"Maafkan ibu ya, Kak…"

Aku masih di dalam kamar tidur saat Kak Yanto pulang dan memeluk ibu.

Tapi, malam itu, ibu lalu menceritakan semuanya pada Kak Yanto sementara dalam tangisku, aku tanpa sadar tertidur karena lelah setelah menangis semalaman.

..................…..

Minggu ketiga setelah Tante Lintang keluar dari rumah sakit.

Hubunganku dengan ibu agak renggang setelah hari itu. Duniaku hanya berputar di sekitar pasar, para pelanggan, daftar stok dan game Mobile Legend yang kumainkan setiap kali aku selesai berjualan di pasar. Selain makan, aku jarang sekali keluar kamar dan mengobrol dengan ibu seperti yang dulu suka kulakukan.

Setiap kali aku melihat wajah ibu, aku selalu terbayang wajah Tante Lintang yang dibela ibuku mati-

matian dan kebencianku malah semakin menjadi-jadi.

Sikap ibu sendiri terlihat serba salah padaku. Aku tahu, sejak sore itu, ia seringkali bersikap lunak dan mencoba untuk membangun jembatan komunikasi yang rusak diantara kami tapi aku sudah menutup pintu maafku rapat-rapat.

Sifatku memang keras seperti ayah. Kalau aku sudah marah, biasanya membutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa memaafkan orang tersebut termasuk ibu dan kakakku. Sementara Kak Yanto yang sudah sangat mengenal karakterku, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghibur ibuku untuk tetap bersabar pada sikapku.

.....................…..

Pagi itu, walaupun keadaan pasar terlihat baik-baik saja tapi ternyata kenyataannya, rumor negative tentang Tante Lintang sedang menyebar semakin parah. Gilanya lagi, adegan dimana Tante Lintang mengusir Pak Said dulu ternyata divideokan oleh salah satu oknum dan sekarang video tersebut sangat viral dan sudah tersebar di seluruh penjuru kota. Bahkan sampai memenuhi akun-akun media social seperti Instagram, Facebook, dan lainnya. Gelombang kebencian terhadap sikap semena-mena yang dilakukan oleh Tante Lintang segera meningkat pesat. Hujatan demi hujatan memenuhi timeline Facebook dan Instagram sementara ada beberapa orang yang dengan nama asas keadilan mulai melakukan dan mengumpulkan petisi online untuk menyampaikan protes serta mencopot posisi Tante Lintang sebagai kepala manajemen operasional Pasar Dukuh kepada walikota setempat.

Opini public yang dimunculkan adalah si kaya sebagai penindas golongan miskin dan lemah. Tante Lintang digambarkan sebagai seorang dictator yang selalu berlaku sewenang-wenang pada golongan rakyat jelata.

Pak Lukman sendiri, sebagai walikota, akhirnya dibawah tekanan masyarakat terpaksa mengambil sebuah tindakan. Pagi itu, diiringi oleh beberapa ajudan setianya, Pak Lukman langsung mendatangi rumah kediaman Tante Lintang.