webnovel

11 EPILOG

10 tahun kemudian…

Aku berdiri sambil memandang bangunan apartemen berlantai 15 yang tegak menjulang itu. Di sini, 10 tahun yang lalu, berdiri sebuah pasar tradisional yang dengan denyut nadinya, mampu menafkahi kurang lebih 300 orang. Sebelum kemudian, pasar itu terbakar hebat tanpa menyisakan apapun.

Pihak pemerintah dan kepolisian yang menyelidiki masalah tersebut segera menemukan kalau pelakunya adalah Pak Said dan teman-teman geng judinya. Mereka dengan sengaja membakar Pasar Dukuh karena Pak Said tidak bisa lagi berdagang dan menipu timbangan di sana. Ketika ditangkap pun, gerombolan ini sama sekali tidak merasa bersalah dan hanya tertawa –tawa saja saat digiring ke kantor polisi serta divonis bersalah selama 5 tahun di dalam penjara.

Aku sendiri saat ini sudah tamat SMU dan untungnya, walaupun tanpa Pasar Dukuh, kehidupan perekonomian kami semakin lama semakin membaik. Bengkel Kak Yanto mulai bertambah besar seiring dengan banyaknya langganan yang melakukan service mobil atau motor di bengkelnya. Sifat Kak Yanto yang jujur dan ramah juga merupakan salah satu nilai plusnya.

Aku sendiri, masih membantu ibu untuk mengurusi manajemen usaha bumbu dapur kami tapi dengan bantuan beberapa karyawan. Aku sendiri masih sering berkomunikasi dengan Kak Erik di Leiden. Kami seringkali bercerita tentang kegiatan sehari-hari dan bertukar kabar terbaru tentang kondisi kesehatan Tante Lintang. Syukurlah, keadaan beliau semakin lama semakin membaik.

Saat ini aku sedang berdiri di lokasi yang sama dimana Tante Lintang berlutut 10 tahun silam saat kondisi Pasar Dukuh habis terbakar. Aku sedang mengenang masa-masa itu dimana aku dan ibu harus berjibaku untuk datang ke pasar pagi-pagi untuk berjualan. Aku juga mengenang saat-saat dimana betapa putus asanya kami pada saat itu sebelum kini Tuhan membukakan pintu rejeki kami yang lain.

Sekarang, aku kembali ke titik yang sama dan mulai membuka lembaran baru dalam hidupku. Beberapa hari yang lalu, aku baru saja mendapat kabar kalau permohonan au pair-ku diterima oleh salah satu keluarga hostku di Frankfurt. Ketika aku menyampaikan kabar ini pada ibu, beliau hanya bisa tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

"Tidak apa-apa, Rika. Jika memang itu panggilan hidupmu, pergilah. Jangan pernah tahan sayapmu untuk selalu berjejak di tanah yang sama dengan ibu. Doa dan restu ibu akan selalu menyertaimu, Nak…"

Aku lalu mencium tangan ibuku dengan rasa syukur sedalam-dalamnya. Sungguh, aku sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah mengaruniakan seorang ibu dengan hati seluas samudera padaku.

Sore ini, selembar tiket penerbangan jarak jauh dari Bandara Soekarno Hatta – Den Haag sudah berada di tanganku. Kak Erik akan menjemputku di sana dan aku bisa menemui Tante Lintang sebentar sebelum aku pergi ke Frankfurt serta bertemu dengan keluarga hostku. Aku menatap bekas lokasi Pasar Dukuh sekali lagi dan meresapi sisa denyut terakhirnya samar-samar.

Lalu, aku berbalik.

Mengucapkan selamat tinggal terakhir pada deru debu di udara….