webnovel

Bab 8: Cerita La Mbila

       Demikianlah. Setelah hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan beberapa bulan pun tergenapi, mantan jenderal perang Kekaisaran Dinasti Ming itu sudah merasa kerasan tinggal bersama keluarga sederhana, La Mbila dan La Hiri. Suasana negeri asing itu terasa demikian tenang dan damai, membuatnya sedikit demi sedikit bisa melupakan negeri dan masa lalunya. Sangat berbeda jauh dengan kondisi negerinya saat ditinggalkannya yang mulai porak-poranda oleh pemberontakan-pemberontakan.

        Demi membalas kebaikan dan membantu perekonomian keluarga barunya itu, Jenderal Hongli tak sungkan-sungkan membantu pekerjaan apa saja yang dibutuhkan oleh keluarga barunya itu. Bahkan hampir setiap hari, jika kondisi laut sedang tenang, ia ikut melaut bersama La Mbila. Ia sangat menikmati pekerjaan barunya ini.

        Menurut La Mbila, biasanya dia selalu melaut bersama putra remajanya. "Tapi saat ini La Gunta Marunta, putra saya itu, sedang ikut penggemblengan untukj calon tamtama kerajaan," ucap La Mbila sembari menarik jaring ikannya. "Sudah enam bulan ia di markas pusat angkatan perang kerajaan. Tapi setiap satu purnama ia pulang ke rumah."

       "Apakah saat ini sedang menjaring banyak prajurit perang baru?"

       "Benar, Tuan Hongli. Saat ini Kerajaan Tambora sedang bersitegang dengan kerajaan tetangga yang berada di wilayah barat. Jadi mewajibkan setiap pemuda untuk bergabung dalam pasukan kerajaan. Ya, semoga Dewata Agung melindungi La Gunta, kerajaan, serta Paduka Sangaji dan keluarganya..!" (Paduka Sangaji = Paduka Raja).

       Sore hari, saat memperbaiki kebocoran perahunya di pantai dekat rumahnya, La Mbila alias Ama Gunta kembali bercerita tentang kondisi kerajaan saat ini. Jenderal Hongli mendengarkan dengan seksama.

       "Beberapa tahun yang lalu Kerajaan Tambora sempat bersitegang panjang dengan kerajaan di bagian barat, dan nyaris pecah perang. Sekarang pun keadaan yang sama kembali terjadi. Pecah perang kemungkinan bisa terjadi."

       "Penyebab utama ketegangan itu apa, Ama Gunta?"

       "Biasalah, menyangkut batas wilayah kerajaan. Ada sebuah wilayah yang bernama So Kandinga. Masing-masing kerajaan mengakui bahwa wilayah yang subur itu miliknya. Ya, seperti itulah."

        "Masalah perbatasan biasanya memang menjadi alasan dua kerajaan atau lebih yang berbatasan bersengketa. Semoga dua kerajaan bisa dielakkan. Kedua belah pihak harus duduk di sebuah tikar untuk membicarakan persoalan itu secara bijak. Perang tidak pernah membawa dampak baik bagi pihak mana pun," ucap Jenderal Hongli.

        "Harusnya seperti itu," sahut La Mbila. "Tapi permasalahannya, ada masalah lain yang menjadikan kedua raja enggan untuk saling bertemu dan duduk bersama dalam satu tikar. Masa lalu yang tak ada kaitannya dengan urusan kerajaan terbawa-bawa dalam masalah ini."

        "Kalau boleh saya tahu, masalah apa itu...?"

       "Masalah asmara...!" sahut La Mbila sembari menoleh kepada Jenderal Hongli sekilas dan menuangkan air kendi ke dalam cangkir gerabah dan meminumnya. "Dulu permaisuri Sangaji Tambora merupakan tunangan dari sangaji di wilayah barat itu. Namun entah bagaimana ceritanya, gadis itu bisa dinikahi oleh Sangaji Tambora. Memang, dari segi kekuatan angkatan perang, Tambora jauh lebih kuat dari yang dimiliki oleh kerajaan di bagian barat itu."

        "Hm, urusan wanita! Mengapa mahluk bermabut panjang yang lemah ge,mulai itu selalu ambil peran dalam merubah seseorang bahkan peradaban dunia? Haiya...," gumam Jenderal Hongli, seolah-olah pada dirinya sendiri. Seolah-olah kenangan pahitnya yang berkenaan dengan wanita itu kembali hadir dalam memori kepalanya. Perjalanan hidupnya pun berubah total, pun akibat seorang wanita. Ia harus meninggalkan kebesaran dirinya sekaligus negeri asalnya akibat tak mampu menanggung kepiluan hatinya oleh wanita dan asmara itu sendiri.

        "Apakah Tuan Hongli berminat untuk menggabungkan diri di angkatan perang kerajaan?"

        Pertanyaan itu sedikit mengagetkannya, dan bertanya balik, "Bukankah anggota tamtama baru itu khusus diperuntukkan bagi para pemuda saja?"

       La Mbila menghentikan kesibukan tangannya, dan dengan tersenyum ia memalingkan wajah kepada Jenderal Hongli. "Tentu, tidak, Tuan Hongli.  Jika seseorang masih kuat tubuhnya dan memiliki keahlian ilmu bela diri, kejawaraan, kerajaan akan menerima. Bahkan sangat mengutamakannya."

       "Hm, sangat menarik dan saya perlu untuk dipikirkan," sahut Hongli.

       Mengapa tidak? Pikir Jenderal Hongli. Ia adalah salah seorang mantan panglima divisi angkatan perang dari sebuah kemaharajaan, juga seorang yang pernah menguasai jagat persilatan dengan nama besar. Mendengar cerita itu, maka tergugah juga hati kecilnya untuk ikut mengabdikan diri kepada kerajaan barunya sekarang. Bagaimanapun, saat ini ia sedang menikmati hidup di dalam negeri barunya tersebut, di mana ia pun pernah diselamatkan oleh La Mbila dan La Hiri yang merupakan rakyat daripada Kerajaan Tambora dengan segala keikhlasan. Lantas apakah ia akan menutup mata dan tidak tergerak secara ikhlas juga untuk membantu kerajaan barunya dalam menghalau musuh-musuhnya?

       La Mbila manggut-manggut. "Menurut kabar yang beredar, saat ini pihak istana sedang mencari seorang pendekar hebat yang akan menggantikan sementara panglima perangnya. Karena panglima perang, yang merupakan jenateke sedang terbaring sakit akibat terkena panah musuh dalam pertempuran beberapa bulan yang lalu." (Jenateke = putra mahkota).

       Hongli sesaat terdiam mendengar kabar itu dan memikirkannya. "Mungkin ini kesempatan aku untuk bisa membalas jasa kepada kerajaan baruku!" ia membatin.

       "Dulu kerajaan pernah menyewa seorang pendekar dari Dataran Sinae untuk menjadi juru gembleng para calon tamtama kerajaan. Wajahnya mirip Tuan Hongli juga," La Mbila melanjutkan penuturannya.

       "Oh ya?" Jenderal Hongli memandang wajah La Mbila lekat-lekat. "Siapa namanya? Apakah Ama Gunta masih ingat?" (Ama Gunta = ayahnya La Gunta).

       La Mbila alias Ama Gunta mengernyitkan dahinya. "Kalau tidak salah namanya…Poo Ling Pong Ah. Iya, itu namanya, jika tak salah.  Tapi kami di sini memanggilnya dengan sebutan Paliponga. Dia orang yang sangat baik dan ramah. Warga kerajaan sangat menyukainya. Ketika ia pergi, kami sangat merasa kehilangan dia."

        "Poo Ling Pong Ah...!" Hongli tak sadar mengucapkan lagi nama itu.

        Tampaknya ia ingat nama dan wajah pendekar itu. Sewaktu dirinya masih menghuni jagat persilatan, nama itu cukup masyhur. Ia adalah pendekar beraliran putih yang masyhur dengan julukan Nanjing Bai Ze (Maling Putih Dari Nanking). Berasal dari wilayah yang sama dengan dirinya. Namun setelah dirinya masuk dan mengabdikan dirinya kepada kekaisaran, ia tidak pernah lagi mendengar kabar tentang pendekar yang memang terkenal dermawan itu. Dijuluki sebagai Bai Ze karena Poo Ling Pong Ah suka merampok harta orang-orang kaya pelit dan serakah, lalu hasilnya ia bagi-bagikan kepada rakyat miskin.

       "Tuan mengenal Dato Paliponga?" bertanya La Mbila.

       Jenderal Hongli seolah terkaget dengan pertanyaan itu, dan dengan cepat ia berkata, "Oh, ah, tidak...! Mana mungkinlah saya mengenal orang besar seperti beliau? Saya ini cuman orang kecil. Hehehehe..."

       La Mbila tertawa agak terbahak-bahak. "Iya juga ya, Tuan..?"

       Ketika keduanya mau merapikan perkakas untuk memperbaiki perahu, tiba-tiba seorang pemuda yang bertubuh gempal dan tegap menghampiri.

       "Eh, kapan kau pulang, Nak?" bertanya La Mbila kepada si pemuda yang tak lain adalah putranya, La Gunta Marunta.

       "Baru saja, Ama," menjawab pemuda itu seraya setengah membungkuk menyalami tangan La Gunta Marunta dan tangan Jenderal Hongli dan menciumnya.

       "Oh ya, Tuan Hongli, " La Mbila berpaling kepada  Jenderal Hongli, "Inilah La Gunta Marunta, putra saya yang saya ceritakan barusan. Gunta, kenalkan, ini Tuan Hongli."

       "Hei, Gunta. Bagaimana kabarmu?" sapa Jenderal Hongli sambil tersenyum, mencoba untuk memberikan keramahtamahannya kepada si pemuda.

       "Baik, Tuan...! " jawab La Gunta dengan sikap santunnya