webnovel

Journey on Earth (7)

Matahari mulai terbenam, menyisakan dunia dalam kegelapan diselipi kerlap-kerlip bintang, suasana sekitar pun begitu hening. Meski siang telah berlalu, Mentari belum juga pulang. Selagi menunggunya, aku duduk di depan rumah Samira sambil memeluk Bintang.

"Bintang, kira-kira Mentari ke mana, ya?" Aku bertanya.

Bintang tidak menjawab. Namun, di saat itu juga aku seakan menebak sejumlah jawaban. Mungkin dia sibuk atau bisa jadi lupa jika aku dititipkan di sini. Ah, pilihan kedua terdengar mustahil. Lantas ke mana dia?

Sambil menunggu, aku memutuskan untuk memandangi langit malam sekiranya bisa menemukan sesuatu yang menarik.

Terlihat bulan yang menjadi satu-satunya penerang saat ini. Dikelilingi bintang sebagai teman yang menemani. Malam tidak tampak begitu gelap apalagi suram. Memandanginya membuatku rindu, begitu indahnya rumahku dulu. Rasanya ingin membawa Samira ke sana setelah ini.

"Raana!" Seruan dari Samira menganggetkanku.

Aku menoleh dan melihat Samira berdiri di depan pintu, tepat di belakangku, seperti menungguku.

"Raana, masuk!" tegurnya begitu tatapan kami bertemu. "Nanti iblis akan melihat!"

Aku bergegas masuk. Meski aku tahu dengan auraku, iblis kemungkinan kecil berani menyerang. Namun, aku tidak ingin ambil risiko dengan berani keluyuran di malam hari. Maka, aku masuk kembali dan duduk.

"Aku benar-benar takut," ujar Samira. "Hampir setiap malam aku mendengar iblis mencari mangsa."

"Lantas, bagaimana kamu bisa selamat?" tanyaku.

"Aku berupaya menyembunyikan bauku dengan menyelimuti diri dan memasang kelambu atau kain bau agar iblis terkelabui," jelas Samira. "Raana sebaiknya pakai juga."

Aku ingin menyangkal, tapi melihat rasa cemasnya membuatku menurut.

Samira hanya memiliki satu kasur, sehingga aku tinggal masuk ke dlan kelambu dan ikut berbaring di sisinya. Benar kata dia, kelambu ini dilapisi bau yang tidak sedap. Namun, aku yakin ini cukup mengelabui iblis karena mereka tidak akan mendekati bau yang tidak menyerupai mangsa mereka. Mereka mungkin tidak peduli dengan bau tanah maupun campuran lumpur, sehingga cara ini kuyakini ampuh melihat Samira selama ini tidur menggunakan kelambu ini.

Samira tidur membelakangiku, menghadap dinding. Sementara aku juga membelakanginya sambil mendekap Bintang. Meski tidak bisa tidur, aku tetap berusaha memejamkan mata selagi berharap hari segera berganti.

Mentari, di mana kamu?

***

Mataku terbuka begitu mendengar suara ricuh dari luar. Aku langsung duduk. Samira ternyata sudah bangun dan langsung mendekat padaku.

Samira berbisik. "Ada iblis." Dia terdengar gemetar, bahkan dapat kurasakan tangannya yang dingin.

Aku berusaha menenangkannya. "Tidak apa. Dia tidak akan menyerangku."

"Ya, tapi aku bukan kamu," balas Samira.

"Dia tidak akan berani kalau tahu aku di sini," balasku. "Sebaiknya kita kembali tidur sebelum ..."

Belum selesai kalimat dariku. Dinding rumah Samira pecah dan kepingan kayu berserakan memenuhi pandangan. Jeritan Samira membuat sosok yang memecah dinding tadi kian mengamuk. Dia mulai menghantam setiap benda yang ada di sekitarnya. Dia penuhi udara dengan raungan yang memekakan telinga. Getaran hebat akibat suara itu membuatku nyaris terpaku saking takutnya. Aku berusaha untuk tetap tenang dan memastikan Samira masih ada di sisiku.

Wujud sosok yang menganggu malam kami memiliki badan besar dan berbentuk layaknya seekor kadal. Matanya merah menyala dan rahangnya mengeluarkan bau busuk. Dia mengendus-endus lantai dan mendesis ketika pandangan kami bertemu. Berarti, kelambu ini tidak efektif baginya.

Samira masih gemetar, dia tidak sanggup berucap dengan lancar. "Ba ... bagaimana ... ini?"

Aku perlahan berdiri. "Hei! Iblis! Hentikan itu!" hardikku. Harusnya dia tidak berani mendekati titisan dewa. Aku tahu itu iblis dari aura yang dia pancarkan.

Makhluk itu mendesis dan bergerak mendekati kami.

Brak!

Dia menabrak dinding. Untungnya aku berhasil menarik Samira keluar dari kelambu dan menghindari rahang makhluk mengerikan tadi.

Samira terdengar histeris. Jelas dia ketakutan mengingat dirinya saat ini tidak berdaya. Sementara aku merasa sedikit berani karena harusnya punya kuasa di atas iblis seperti Mentari dan dewa lain.

Samira berada di belakangku, dia gemetar dan tidak bicara. Kedua tangannya menutup kedua telinganya sementara dia duduk berjongkok. Kasihan dia, begitu ketakutan sementara makhluk itu masih saja tidak ingin menjauh.

"Hentikan!" hardikku lagi. "Jangan ganggu kami, atau kau akan dihukum!"

Makhluk itu mendesis. Dia bergerak mendekati kami. Matanya justru menampilkan bayangan Samira yang ketakutan. Aku yakin dia tidak ingin melepas mangsanya meski dia tahu ada aku di depannya.

Aku mengarahkan Bintang padanya. "Bintang! Serang dia!" Namun, tidak ada tanggapan dari Bintang. Padahal ketika aku terjatuh dari bulan waktu itu dia justru membantuku. Ada apa dengannya?

Makhluk itu kian mendekat. Kedua kakinya terangkat dan rahangnya siap mendarat pada kami.

Aku terpaku. Tubuhku seakan menolak untuk bergerak. Bahkan Samira masih di posisi yang sama, meringkuk ketakutan meski di depannya berdiri sosok yang akan mencabut nyawanya.

Tamatlah kami.

Ketika kadal raksasa itu nyaris mendaratkan rahangnya. Dia berhenti dan menjerit. Semburat cahaya telah memenuhi pandangan hingga mengubah malam menjadi siang seketika. Kadal itu mundur, tapi tubuhnya kini telah hancur menjadi abu. Menyisakan cahaya terang benderang yang telah membinasakannya.

Cahaya itu mulai meredup, menyisakan malam yang kembali sunyi. Rumah Samira kini telah hancur bagian tengahnya hingga tampak tidak layak huni lagi.

Aku menoleh guna memastikan penyelamat kami.

"Raana!"

Mentari berlari lalu menarikku ke dalam dekapannya. Dia mengelus rambutku, kali ini lebih terasa akan meremukkan kepalaku. "Raana, kamu baik-baik saja?" tanyanya.

Aku mengiakan. "Tapi, Samira ..."

"Tidak apa, dia akan dijaga," ujar Mentari. Dia bahkan menahan kepalaku agar tidak menoleh, masih di posisi dadanya. "Aneh, padahal harusnya makhluk itu tidak menyerangmu karena kamu titisan dewa."

"Dia pasti mengincar gadis itu, bukan Raana." Kudengar suara Ramini dari belakang Mentari. "Dia tetap binatang, mana mau melepas mangsa begitu saja."

"Itu tadi nyaris saja." Baru kali ini kudengar suara Mentari sedikit bergetar seakan dia tengah dilanda rasa takut. "Ranaa, sebaiknya kita pulang sekarang."

"Tunggu, bagaimana dengan Samira?" Aku berhasil lepas dari pelukannya dan menatap temanku.

Samira berdiri di bawah sinar rembulan, tampak begitu kesepian dan ketakutan di saat yang sama.

Ramini menghampiri Samira dan memeluknya. "Sudah, tidak apa-apa."

Tangis Samira pun pecah saat itu.

Aku kembali menatap Mentari. Wajahnya tidak tampak biasa jika dengan senyum khasnya. Jelas kejadian tadi membuatnya ketakutan. "Tidak apa, Mentari, aku baik-baik saja." Aku berusaha menghiburnya.

"Ah, syukurlah." Dia tersenyum tipis. "Mari, kita pulang."

Tanpa menunggu jawaban dariku, sinar putih menyelubungi kami. Meninggalkan bayangan Ramini bersama Samira di bumi. Kedua manusia pertama yang kukenal dan akan menghias hidupku ke depannya. Menjadi bagian dari kepingan masa lalu yang akan terkubur suatu saat nanti.

***

Kami tiba di bulan. Mentari langsung duduk di tanah dan terdiam selama beberapa saat. Tampak merenung dan membayangkan kejadian barusan yang mungkin di luar dugaannya. Belum pernah kulihat dia seperti itu. Aku segera mendekat dan menepuk pelan bahunya.

Dia menoleh padaku dan tersenyum. Hanya itu balasan darinya.

Aku pun duduk di sisinya. Kami berdua lalu memandang ke bawah. Tempat bumi berada. Tampak begitu tenang dan damai. Menyisakan keadaan penghuninya yang dipenuhi dengan kisah.