webnovel

Journey on Earth (4)

Aku ikuti saja dia. Toh, aku begitu buta dalam menjelajahi bumi sehingga ke mana saja dia pergi, di situlah aku akan berada. Walau di sisi lain sedikit tersisa rasa takut akibat kejadian beberapa waktu lalu.

Aku menelan ludah, menginggat kali pertama terjatuh dari bulan. Untungnya tidak sakit secara fisik, tapi cukup membuatku takut hingga sekarang. Kini aku berada di tempat yang telag kutakuti.

Mentari pegang tanganku. "Meluncur!"

Perlahan kami terjun ke desa itu. Memang tidak secepat maupun seseram waktu kali pertama aku jatuh ke bumi, namun tetap kadang membuat napasku tercekat.

Kami tiba di tengah desa. Aku mengenal kata itu saat Mentari pernah cerita. Dahulu kala, waktu aku masih jauh lebih kecil.

Ketika itu, aku masih belajar untuk mengenal nama-nama sesuatu. Mentari kerap membawa benda aneh yang dia temukan di Bumi.

Aku baru saja menerima boneka yang memiliki dua tangan dan kaki, serta sepasang mata biru dengan warna badan yang sama. Terasa lembut melebihi Bintang.

"Aku mendapatkannya dari sebuah desa," kata Mentari sembari memainkan boneka itu. "Mereka pikir ini cocok untukmu. Raana suka?"

Aku yang waktu itu tidak peduli selama bisa bermain hanya menatap boneka yang dipegang Mentari dan mencoba meraihnya.

Mentari berikan boneka itu sambil tersenyum, dia tampak senang melihatku menyukainya.

Di sela bermain, kudengar suaranya. "Raana tahu apa desa itu?" tanya Mentari.

Aku menatapnya dengan tatapan polos. Diam adalah tanda nyata bahwa aku tidak tahu.

"Nanti kalau Raana sudah siap, akan kubawa ke sana," ujarnya. "Tempatnya sejuk, Raana bakal suka."

Kini, aku berada di tempat itu bersamanya. Sedikit lebih ramai dari tempat makan tadi dan ada banyak sekali tempat yang menyerupainya.

"Masing-masing akan bernaung dalam rumah atau setidaknya tempat yang menyerupai itu. Mereka gunakan untuk berlindung dari hujan, berbeda dengan kita yang tidak perlu takut akan itu," ujar Mentari.

"Apa hujan berbahaya?" tanyaku.

Kulihat ketika hujan, mereka semua tampak sangat menghindarinya. Tapi, mereka juga cukup tenang ketika hujan melanda kalau berada di dalam naungan.

"Tidak, sih." Mentari menatap langit malam. "Mereka hanya tidak ingin basah. Sangat repot menggeringkan diri."

Aku mengiakan tanda mendengar.

Kemudian, hanya keheningan menyambut.

Mentari tidak mengubah penampilannya, dia masih dalam wujud manusia dewasa. Dengan pelan dia jelajahi tempat itu seakan mencari sesuatu. Sementara aku di belakang menemani. Rasanya aneh ketika aku harus terus berjalan tanpa arah selain hanya mengikuti langkahnya. Tapi, aku tahu apa soal Bumi?

"Mentari, cari apa?" tanyaku pada akhirnya.

"Rumah teman," jawabnya.

Kembali hening. Aku biarkan dia terus melangkah di tengah desa yang sunyi ini. Barangkali semua sudah tidur.

Aku harusnya juga tidur, Mentari biasanya menyuruhku tidur tepat waktu entah kenapa. Padahal dewa maupun titisannya tidak perlu banyak tidur. Barangkali untuk menghemat waktu agar aku lekas kembali menyambut hari esok. Tapi, aku belum pernah mencoba bangun melewati jam tidur kecuali saat ini.

Mungkin, aku bisa mencoba untuk tidak tidur hari ini.

"Hm ... Hm ... Hm ..."

Rupanya aku salah.

Mentari kembali bersenandung. Lantunan lagu yang sama dengan nyanyian tidurku. Seakan meninabobokan.

"Hm ... Hm ... Hm ..."

Dia lantunkan nada dengan lembut, membuatku yang sedang berjalan kian terbuai. Aku berusaha kembali sadar meski nyanyiannya telah menjadi sebab aku mengantuk.

"Eh?" Aku nyaris tersandung akibat lelap sejenak. Untung Mentari langsung memegang tanganku dengan erat.

Menyadari penyebabnya, Mentari tertawa pelan. "Raana mengantuk, ya?"

Aku mengiakan. Mataku kini terasa berat bahkan untuk menatapnya.

Tanpa diminta, Mentari langsung menawarkan punggungnya. Aku yang begitu mengantuknya langsung naik dan dia pun menggendongku. Waktu itu, aku tidak memikirkan apa pun selain tidur. Kembali ke masa di mana aku hanya bisa bangun, bermain, kemudian tidur lagi dalam buaiannya.

"Hm ... Hm ... Hm ..."

Mentari kembali bersenandung. Begitu pelan dan lembut. Membuatku semakin tenggelam dalam alam mimpi.

***

"Ah, ini Raana, dia pewarisku."

Sayup-sayup kudengar suara Mentari dari atas. Dapat kurasakan juga tangan yang mengelus pelan dahiku.

Aku tidak mengerjapkan mata, membiarkan tangan itu terus membelai dahiku dengan lembut.

"Pewaris? Maksudnya anak?"

Kudengar suara seorang wanita. Terdengar sedikit lebih berat dari suara Samira tadi. Barangkali beginilah suara wanita dewasa itu. Aku belum pernah bertemu langsung dengan mereka, selama ini hanya sebatas pria dewasa dan anak-anak. Ini pengalaman baru.

"Yah, anggap saja gitu." Mentari pun tertawa pelan. "Yang pasti, dia akan aku didik hingga kuanggap layak."

"Apa maksudmu dengan pewaris?" tanya wanita itu lagi. "Kau terdengar ingin turun tahkta saja."

"Tidak ada tahkta sebenarnya," ujar Mentari.

"Lantas?"

"Suatu saat, waktu kita akan habis. Aku tidak akan tenang jika tidak menemukan sosok yang layak untuk menggantikanku nanti."

"Sepertinya kamu terlalu cepat."

"Dewa lain juga berujar begitu tapi tidak ada yang tahu."

"Tahu apa?"

"Takdir yang menanti."

"Kamu bicara apa?" Wanita itu terdengar mulai risi.

"Aku tidak bisa memberitahu sekarang."

Ucapan Mentari tadi menciptakan suasana hening selama beberapa saat, membiarkan suara pelan dari luar menguasai pendengaran. Aku baru mempelajari jika itu suara binatang malam.

Perlahan, dapat kurasakan Mentari yang kembali mengangkat kepalaku. Kali ini, dia meletakkan sesuatu yang empuk di bawahnya dan kembali membaringkan kepalaku.

Aku tidak kenal bau ini, tapi lembutnya menginggatkanku dengan boneka, tapi ini lebih besar. Sementara aku masih merasakan Bintang masih dalam dekapanku.

"Sekali lagi, terima kasih," ucap Mentari kepada wanita itu. "Mungkin besok Raana bisa belajar darimu tentang manusia."

"Ya, sama-sama."

Dapat kudengar bunyi yang aneh sementara di sisi lain aku juga yakin jika dia sudah menjauh.

Tanpa sadar, mataku terbuka.

Terlihat Mentari yang duduk di sisiku, wajah masih menghadap ke arah bunyi langkah wanita itu.

"Lah, bangun." Mentari menyapa.

"Siapa itu tadi?" tanyaku.

"Kamu akan mengenalnya." Mentari kemudian berbaring di tempat berlapis yang lembut, sama sepertiku.

"Kamu tidak tidur?" tanyaku.

"Atas izinnya, aku akan berkeliling beberapa saat nanti." Mentari mengamati bagian atas ruangan ini. "Raana tidak mengantuk?"

"Sudah tidur tadi," jawabku. Aku merasa lebih baik.

"Baik, akan kuajari beberapa nama di ruangan ini, dimulai dari benda yang kita gunakan saat ini."

Aku kemudian duduk. "Apa saja?"

"Ada banyak." Mentari kemudian menunjuk ke bawah, tepat ke benda yang dia rebahi. "Ini adalah kasur."

"Kalau ini?" Aku pegang benda yang tadi diletakkan di bawah kepala.

"Itu bantal."

"Kalau ini?" Aku tarik sebuah benda yang lebih ringan dan tadinya dipakai untuk menyelubungi badanku.

"Selimut."

Tatapanku beralih ke bagian belakang, letaknya lebih tinggi dari kepala kami saat ini. Itulah yang Mentari tatap sedari tadi. "Bagaimana kalau itu?"

"Aku dengar kalau itu namanya langit-langit."

Aku tertegun. Mencoba mencari benda lain yang tidak kutahu namanya atau barangkali fungsinya. Saat berdiri, aku menemukan benda janggal yang tadi menciptakan bunyi aneh. Bentuknya bagai pembatas pula.

"Apa itu?" Aku tunjuk ke arah di mana wanita tadi pergi.

"Itu pintu." Mentari terus saja menjawab dan tidak sama sekali terdengar risi.

Malam itulah, aku habiskan bersama Mentari untuk berkeliling rumah dan bertanya tentang nama benda-benda di dalamnya. Hingga ketika fajar tiba, aku duduk di luar bersamanya sambil menunggu wanita itu bangun.

Selama beberapa saat menunggu di serambi sambil memandangi pemandangan luar. Dapat kudengar langkah kaki di belakang. Suara wanita yang sama pada malam itu.

"Jadi, bagaimana malam kalian?"