webnovel

Journey on Earth (1)

« Raana »

Mentari masih mengenggam tanganku. Dalam wujud anak kecil, dia berjalan di sisiku dan terlihat seakan aku yang menuntun dia selama ini. Yah, kuharap tidak ada yang menilainya dari luar tanpa mengetahui siapa gerangan dia.

"Hm ... Hm ... Hm ..."

Selagi berjalan, dapat kudengar beberapa lantunan nada yang Mentari nyanyikan. Aku sering mendengarnya, bahkan itu lagu andalan Mentari saat menidurkanku sewaktu kecil. Kuanggap saja itu sebagai lagu pengantar tidurku. Kadang dalam waktu senggang, ketika kami bermain di bulan, sesekali pula kudengar Mentari menyanyikan lagu itu. Sesekali pula aku ikuti iramanya hingga hafal. Tapi, hingga sekarang aku belum tahu lagu apa itu dan makna sesungguhnya.

"Hm ... Hm ... Hm ..." Dia kembali bersenandung, nadanya menghias kesunyian. Sementara mata jingganya menatap ke atas langit, terlihat menikmati pemandangan.

Aku ikuti arah pandangnya. Langit malam tampak begitu indah di bumi. Entah kenapa, bintang terlihat begitu jelas. Padahal di bulan yang tidak ada halangan seperti benda-benda tinggi–"pohon" namanya, kata Mentari–yang menjulang disertai surai mereka, "daun" namanya. Entah kenapa langit begitu gelap di bulan sana, sedangkan di tempat ini justru begitu jelas hingga menunjukkan keindahan alam semesta pada penghuni bumi.

"Mentari." Aku memanggil. "Kenapa di bulan tidak terlihat banyak bintang? Apa karena bintang lebih senang berteman dekat bumi?"

"Tidak juga," jawab Mentari. "Jika kamu berada di bagian lain bumi, kamu tidak akan melihat bintang sama sekali."

"Kenapa bisa begitu?" tanyaku.

Mentari tidak menjawab, dia malah membahas hal lain. "Di dunia, kamu bakal menemukan banyak hal. Kamu tidak akan bosan lagi."

"Maksudmu?" Aku mengerutkan kening, tangan sebelah kanan mendekap erat Bintang. Apa maksudnya?

Mentari tertawa kecil. Dalam wujud anak kecil, suaranya kini terdengar lucu. "Bintang bisa menemani. Jadi, kalian bakal dapat hal baru bersama."

"Hal baru apa?" Kalimat itu terdengar janggal. "Apa itu?"

Mentari menatap langit yang ditaburi bintang. "Ya, hal baru."

Aku mencoba mencerna ucapannya. Apa gerangan itu?

Mentari berhenti tepat di depan sebuah tempat berbentuk persegi dengan cahaya di dalamnya. "Ini tempat makan. Makhluk di dunia menggunakannya untuk mengisi perut dengan cepat."

"Kita tidak butuh makan seperti mereka, 'kan?" Aku memastikan. Kalau saja dia berniat menyuruhku mengikuti apa yang makhluk dunia lakukan.

"Memang tidak," balas Mentari. "Kita ke sana untuk mencari sesuatu."

Aku memahami konsep makan dan minum dari Mentari juga, ketika dia bercerita tentang pengalamannya bermain di bumi.

"Aku berada di pelabuhan, tempat mereka bepergian menggunakan benda yang disebut kapal. Kapal itu terbuat dari kayu dan bisa mengapung di atas air," ujar Mentari dalam wujud aslinya waktu itu. "Nah, ketika aku ikut ke sana, mereka memberiku makanan berupa kepiting rebus."

Aku pun bertanya maksud dari ucapannya tadi. Terdengar aneh namamya. Ya, bukan Mentari jika tidak menemukan hal aneh dalam hidupnya.

Mentari tampaknya terlalu banyak menjelajah dan mengetahui, tapi dia tentu tidak keberatan menceritakan bahkan menjelaskan semua padaku. Meski aku tidak yakin apakah dia melakukan hal yang sama kepada dewa-dewa lain. Maka, aku dengarkan saja.

Sepertinya menarik jika mencoba hal yang mereka lakukan di sini. Makanya sedari tadi aku ikuti saja langkah Mentari. Tempat yang aneh memang, dengan penghuni yang aneh pula. Sukar sekali jika aku bisa betah di sini sendirian.

Sebelum melangkah masuk ke tempat makan, Mentari seketika berhenti dan menepuk pelan jidatnya. "Oh, aku lupa ini tempat para orang dewasa di malam hari."

"Apa aku bisa masuk?" Aku ragu. Usiaku memang sepuluh tahun saat ini, tapi rasanya juga janggal membiarkanku masuk, begitulah firasatku.

Cahaya kuning memenuhi pandangan. Mentari yang tadinya hampir sama tinggi denganku perlahan meninggi. Kini, dia jauh menjulang di atas. Kepalaku hanya sampai bagian bawah bahunya. Mentari masih sama rupanya, hanya tinggi saja yang berbeda serta bentuk wajah yang tampak lebih tampan alih-alih imut seperti tadi.

Tatapan kami bertemu, dia melempar senyum padaku. "Ini wujud manusia dewasaku, Raana." Bagaimanapun, dia jauh lebih rendah dari wujud aslinya yang biasa aku lihat.

"Kenapa tidak pakai wujud asli?" tanyaku. "Kalau wujud kecil begini, apa tidak kesusahan nanti?"

"Yah, kadang kita harus menyesuaikan diri." Suara Mentari kembali mirip seperti wujud yang kukenali, terdengar lebih familier dibandingkan suara anak kecil tadi.

Mentari kemudian menatap bagian depan tempat baru itu. Dia mendorong kayu pembatas dan terbukalah seisi ruang. Anehnya, tidak banyak yang memedulikan kami. Barangkali karena wujud kami yang tidak beda jauh berbeda dengan mereka.

Mentari menuntunku masuk. Dia seakan tidak membiarkan aku menatap tempat ini terlalu lama. Atau barangkali demi menghindari kecurigaan karena aku bertingkah seakan belum pernah melihat tempat yang katanya umum ini bagi penghuni dunia.

Kami berhenti di depan seorang pria yang masih sibuk mengelus gelas menggunakan kain. Ada dinding yang tingginya sampai ke perutnya, menjadi pembatas. Ya, aku ingat Mentari pernah bercerita. Itu barista namanya.

"Ah, gadis." Dia menatapku, tampak tidak tertarik. Tapi, mungkin hanya ingin terkesan ramah dengan berbasa-basi. "Dia putrimu?"

Mentari hanya menjawab. "Ini pengalaman pertamanya ke sini."

Kami pun dipersilakan duduk. Mentari pernah bercerita jika benda yang kami duduki saat ini disebut bangku atau kursi. Bahannya terbuat dari kayu persis seperti bangunan ini.

"Pesan apa?" tanya sang barista.

Aku tidak tahu apa saja di sini.

"Seperti biasa," jawab Mentari. "Dua. Satunya untuk dia." Dia menunjukku.

Pria itu mengiakan lalu berpaling mengambil dua gelas. Ya, Mentari lagi-lagi pernah cerita.

"Mereka minum menggunakan sebuah wadah kecil disebut gelas, isinya memang hanya air tapi kadang mereka campur dengan varian rasa sesuka hati," ucap Mentari kala itu. "Mereka harus melakukannya agar tidak kehausan."

"Kehausan? Apakah itu sakit?" tanyaku.

"Katanya, sih, sangat."

Kembali ke masa sekarang, Mentari masih sibuk mengamati tempat ini. Maka, aku ikuti juga arah tatapannya.

Seorang gadis berambut hitam terlihat sedang meringkuk di pojokan, di bawah bayangan lebih tepatnya.

Mentari lantas berdiri dan mendekati gadis itu. Dia berlutut, tampak berbicara dengannya. Beberapa saat mengamati, aku tahu bahwa si gadis mendengarkan Mentari, dilihat dari cara dia menatap Mentari dan membalas beberapa ucapannya.

Percakapan mereka diakhiri dengan Mentari yang kembali berdiri dan memberi isyarat pada gadis itu untuk mengekorinya. Gadis itu menurut saja.

Penampilan gadis itu berbeda dari kebanyakan orang di sini. Memakai terusan cokelat yang lusuh, rambut hitam yang kusam, serta kulit putih dipenuhi bekas luka. Aku ingat ciri-ciri seperti ini oleh Mentari, dan darinya juga aku tahu bahwa aku mesti mengasihaninya.

"Samira, ini Raana." Mentari menepuk pelan bahu gadis itu, senyumannya yang terkesan ramah telah menjadi daya tarik baginya sejak lama.

Dengan pelan, Mentari mendudukkan gadis yang dipanggil Samira ini ke sisi kanan, sementara dia sendiri berada di sisi kiri. Membuat Samira duduk di tengah kami.

Mentari lagi-lagi memulai percakapan. "Raana dan aku pendatang baru di sini. Kami senang jika ada teman baru."

Samira mengiakan tanda mendengar.

Mentari kemudian menatapku. "Nah, Raana, bicara dengannya selama aku pergi."

"Mau ke mana?" Aku refleks membalas.

Mentari menjawab. "Sebentar saja. Ada yang ingin aku bicarakan dengan seseorang."

Tanpa menunggu tanggapan lagi, dia berdiri.

"Kalian jangan ke mana-mana," pesannya sebelum pergi. Membiarkanku terdiam dalam kecanggungan bersama gadis ini.

Tidak diduga, gadis itu langsung bilang ini padaku. "Jadi, kalian sebenarnya para dewa."