Tin tin
Sariel menyingkir dengan cepat begitu klakson mobil bergema dibelakangnya. Ia berbalik dan mendapati sebuah mobil hitam mengkilap berhenti tepat disampingnya.
Dito keluar dari dalam mobil tersebut sambil berjalan kearahnya.
"Kita bertemu lagi nona Sariel," ucapnya dengan senyum manis sambil memperhatikan penampilan Sariel yang terbilang rapi.
"Darimana Nona, sepertinya habis bekerja?" tanyanya dengan bingung. Lelaki itu merasa kalau sekarang bukanlah waktunya untuk pulang dari bekerja, bagaimana mungkin ia mengatakan kalau perempuan didepannya sedang bekerja.
"Maaf. Saya tidak sedang bekerja." Sahut Sariel memperhatikan mobil yang terparkir dibelakang Dito. Membuat lelaki dengan badan kekar tersebut tersenyum.
"Tuan Kecil sedang ada jadwal pemeriksaan. Kebetulan ia sudah bisa dibujuk setelah tempo hari bersama Nona."
Sariel mengangguk, kembali memperhatikan jalanan yang tampak semakin ramai.
"Bagaimana kalau saya antar Nona pulang?" tawar Dito.
"Tidak usah. Kebetulan saya sudah memesan taksi. Hanya saja ingin jalan kaki sejenak membuang penat," sahut Sariel cepat.
"Benarkah?" Dito kembali memperhatikan Sariel. "Bagaimana kalau kita makan siang dulu. Sepertinya Nona sedang kehausan," tawarnya.
Sariel merasa tak nyaman mendengarnya. Lelaki ini benar-benar terlalu memaksanya disaat perasaannya tak baik. Ada rasa sedikit curiga menghinggapi perasaan Sariel tetapi ia berusaha untuk menampiknya.
"Tidak usah."
"Tidak apa-apa. Saya yang akan membayarnya. Nona hanya menemani saya makan saja. Kebetulan saya tak punya teman makan."
Dito tampak memutar otak agar Sariel mau mengikuti keinginannya.
Membuat Sariel kembali berpikir. Dan pada akhirnya ia mengiyakan juga ajakan lelaki didepannya tersebut. Tidak ada salahnya ia sedikit akrab dengan Dito.
Sariel bergerak cepat saat Dito membukakan pintu mobil untuknya. Tak ingin membuat lelaki tersebut membuatnya menunggu lama. Walaupun ia merasa aneh saat Dito membuka pintu belakang mobil untuknya bukan pintu mobil disamping sopir bagian depan. Sariel tetap masuk juga kedalam mobil tersebut.
Pintu mobil ditutup dengan cepat, Sariel menyandarkan badannya kesadaran kursi tanpa menyadari sesuatu.
"Kita bertemu lagi, Nona Sariel!"
Sariel terperanjat bukan main saat mendengar suara yang keras dan seksi sangat dekat dengan dirinya. Suara yang membuat rasa kesalnya semakin bertambah. Mobil sudah mulai berjalan. Ia berpaling kesisi kanannya, Gabio menatapnya dengan datar. Kemudian tatapannya beralih pada Dito yang sedang menyopir didepannya.
"Dito. Kau menjebakku!"
Dito melirik Sariel melalui kaca spion dengan rasa bersalah.
"Hentikan mobilnya. Aku ingin pulang cepat!"
Gabio langsung melirik tajam kearah kaca spion. Dito mengangguk. Saat tatapannya bersinggungan dengan Sariel, Gabio melunakkan pandangannya. Ia ingat betul apa yang diajarkan oleh sahabatnya saat menghadapi perempuan.
"Nona Sariel. Saya memang menolak Anda untuk bekerja di kantor saya tadi siang karena kebiasaan terlambat Anda."
Sariel geram mendengarnya, matanya melotot dengan wajah yang tampak memerah.
"Tapi tidak akan terlambat setiap hari!" sanggahnya kesal. Wajahnya tampak cemberut. Dan terlihat lucu dihadapan Gabio. Lelaki itu mengulum senyumnya sambil membuang muka.
"Memangnya Anda bisa mempridiksinya? Hari pertama saja sudah menjadi contoh yang tak patut lalu bagaimana hari selanjutnya." Gabio berkata tenang dan sangat menyebalkan dipendengaran Sariel.
Membuat wanita itu mendengus membuang muka kearah jalanan yang terlihat sedikit ramai.
"Terserah Anda sajalah menilai setiap orang," sahutnya acuh. Ia merasa tak nyaman saat berdebat dengan Gabio.
"Anda boleh terlambat setiap hari, bahkan bangun pagi pun boleh bermalas-malasan. Dan semua itu akan saya gajih."
Sariel ternganga mendengarnya. Tetapi sedetik kemudian ia menutup mulutnya rapat. Ia diam saja tidak menyahut, ia terlihat masih acuh. Lelaki itu benar-benar sedang mempermainkannya, tarik ulur dengannya.
"Bagaimana? Apakah Anda tertarik untuk bekerja di rumah saya bukan diperusahaan milik saya?"
Gabio paham kalau wanita itu sangat dongkol padanya karena sikapnya yang keterlaluan.
Sariel langsung menatap dirinya dengan intens. Gabio terlihat tak nyaman. Ini kali pertama dirinya ditatap wanita asing dengan jarak sangat dekat. Gabio mengalihkan pandangannya kearah depan, Ia berdehem sebentar membuat Sariel kembali mendengus tak suka.
"Maksud saya sebagai pengasuh Bello. Dia sangat menginginkan Anda berada didekatnya," liriknya pelan.
Sariel diam, ia kembali menatap kearah jalanan. Membuat Gabio terusik karena diacuhkan. Matanya sedikit melirik kearah Sariel. Wanita itu terlihat sangat acuh padanya.
"Saya tidak mau. Anda terlalu mempermainkan saya," sahut Sariel tanpa menatap Gabio sama sekali.
Mobil langsung berhenti tepat didepan sebuah restoran mahal.
"Pikirkan sekali lagi keputusan Anda tersebut!" sahut Gabio sebelum ia keluar mobil yang ditumpanginya.
Sariel mendengus dan berdecak sebal menatap Gabio yang keluar dari mobilnya. Ada keinginan untuk kabur dari sana tetapi ketokan dipintu mobil membuat Sariel mengurungkan niatnya. Dito sudah berdiri dihadapannya dengan wajah yang tersenyum manis.
"Maafkan saya Nona karena sudah menipu, Nona."
Sariel menggeleng pelan. Seandainya ia berada diposisi yang sama dengan Dito maka ia pun akan melakukan hal yang sama.
"Tidak apa-apa, Dito. Saya juga merasa tidak ditipu olehmu," sahutnya tersenyum kemudian mendelik kearah Gabio yang masih berdiri menunggu dirinya.
Dengan cepat wanita itu menggiring langkahnya mengikuti langkah Gabio didepannya. Ia masih bersikap acuh saat Gabio berbalik padanya. Lelaki itu menatapnya datar, tanpa berucap sepatah katapun Gabio kembali meneruskan langkahnya menuju kearah ruangan privat room.
Sejak pertama kali duduk berhadapan di meja makan yang sama. Keduanya tampak saling bungkam. Sariel sibuk dengan dirinya sendiri. Ia memang menerima ajakan Gabio untuk makan bersamanya tetapi ia terus menolak tawaran yang diajukan oleh Gabio.
Sariel ingin memberikan sedikit pelajaran pada lelaki yang sudah mempermainkan dirinya tersebut. Setidaknya hingga lelaki itu berhenti dan putus asa untuk menawarkan pekerjaan tersebut.
Saat makanan tersaji didepan mereka. Sariel langsung melahapnya tanpa rasa malu sedikitpun. Bahkan makannya pun sangat tidak elegan. Membuat Gabio memperhatikannya dengan intens.
Lelaki itu berdehem saat tanpa mengaja menatap bibir mungil Sariel yang terus bergerak karena mengunyah makanan.
Gabio ingat betul apa yang mendorongnya hingga memanggil wanita itu untuk datang ke kantornya. Semua ini karena Bello yang melarang Sariel untuk bekerja ditempat lain kecuali selalu bersamanya.
Sebab itu Gabio menolak keras Sariel saat ingin melakukan interview tadi ditambah keterlambatannya maka itu bisa menjadi dasar alasan kesalahan dirinya. Walaupun kenyataannya Gabio cukup menyayangkan tentang wanita yang cukup berpotensi dibidangnya tersebut harus di tolak. Apa mau dikata, semua demi Bello.
"Jadi, bagaimana penawaran saya tadi? Apakah Anda berminat?"
Gabio meletakkan cangkir yang ada ditangannya dengan pelan. Ada setitik harapan yang ia selipkan untuk pertanyaannya. Tetapi Sariel justru mendengkus tak suka. Wanita itu justru bergerak menatap Dito yang berdiri didekat pintu.
"Jawaban saya tetap sama. Saya tidak ingin menerima penawaran Anda, Tuan." Matanya kembali bergerak menatap Gabio. Ia merasa heran dengan sikap Gabio yang tiba-tiba memaksa dirinya untuk bekerja ditempatnya padahal baru kemarin lelaki ini selalu menuduhnya yang tidak baik.
Ia masih ingat betul saat lelaki itu justru menyebutnya sebagai penipu. Bahkan melarangnya untuk dekat dengan Bello. Dan hari ini, Sariel merasa terkejut dengan sikapnya yang berkebalikan dari sebelumnya. Bagaimana mungkin lelaki didepannya ini bisa berubah pikiran dalam waktu singkat.
"Kalau tidak ada lagi yang kita bicarakan, saya permisi tuan," ucapnya sambil beranjak dari duduknya. Ia meraih tas miliknya tanpa menatap sedikitpun kearah Gabio.
"Tunggu! Apakah hanya itu ucapan terakhir Anda hari ini?"
Sariel menghentikan langkahnya. Dahinya mengernyit dalam. Apalagi yang diharapkan lelaki dingin ini padanya. Pikirannya tampak sedikit kacau. Ia menduga kalau lelaki ini memintanya untuk membayar makanan yang sudah ia makan.
"Apakah saya yang harus membayar pesanannya, Tuan?" Sariel berbalik menghadap Gabio. Lelaki itu hanya diam menatapnya tajam. Sedetik kemudian ada senyum miring tercetak dibibirnya. Jelas ia sedang mencibir perkataan Sariel.
***