webnovel

Swords Of Resistance: Endless War [Indonesia]

Sebuah kisah fantasi di Alam Semesta paralel tentang pertarungan politik dari para Raja dan Penguasa. Dimulai dari peperangan, intrik politik, hingga drama kehidupan. Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian, dan sebagainya hanyalah kebetulan dan atau terinspirasi dari hal-hal tersebut.

VLADSYARIF · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
99 Chs

Bab 60, Terbunuhnya Seorang Reichskommissar

Di antara berbagai macam Kota di belahan Bhumi bagian selatan. Kota Wilhelmstaadt merupakan salah satu Kota penting di Bhumi timur bagian selatan. Kota pelabuhan ini juga merupakan Kota Pelabuhan penting dan tersibuk di Pulau Selatan sekaligus Ibu Kota dari Reichskommissariat New Zeeland. Ratusan kendaraan keluar-masuk setiap harinya tanpa mengenal siang ataupun malam dan ribuan orang selalu terlihat di jalanan untuk beraktifitas. Ratusan kapal juga berlayar keluar-masuk Pelabuhan Wilhelmstaadt.

[Reichskommissariat, terinpirasi dari entitas politik Nazi Jerman. Dalam cerita ini Reichskommissariat adalah sebuah Koloni dari Federasi Prussia yang dipimpin oleh seseorang yang disebut Reichskommissar.]

"Kota ini merupakan Kota yang dibangun dengan darah dan otak," kata Maria Catherine Victoria von Mecklenburg-Schwerin memperhatikan berbagai macam kapal yang keluar-masuk dan orang-orang yang beraktifitas dari atas sebuah bangunan.

"Bangsa kita adalah bangsa penjelajah sekaligus ilmuwan dan juga insinyur, yang membangun dunia dengan otak, yang menghargai ilmu pengetahuan, dan teknologi," kata seorang perempuan dewasa yang mengenakan kebaya berwarna cerah. Dia adalah Charlotta Sophia von Mecklenburg-Schwerin yang merupakan bibi dari Maria.

"Sekarang raksasa di dunia timur telah bangkit dari tidurnya. Sang naga mulai menggeliat dan membuat kekuatan-kekuatan Europa tercengang," kata Maria sambil menatap dengan serius peta negara China yang terpampang di tembok ruangan Bibinya.

"Itu adalah hal yang tak bisa terhindarkan. Ketika sebuah bangsa menjadi besar. Ada hasrat untuk menaklukan bangsa yang lainnya sebagai bukti kuatnya dominasi mereka. Seperti kasus yang terjadi pada NAZI Jerman," jelas Puteri Sophia.

"Mereka juga berhasil memadukan antara komunisme dan kapitalisme dengan sangat baik. Sehingga di saat negara-negara Soviet di Europa Timur jatuh dan bubar. China masih tetap bertahan bahkan menyesuaikan dengan jaman," jelas Maria.

Perempuan dewasa berambut pendek berwarna hitam itu menyeruput tehnya, "Sebuah bangsa harus selalu menyesuaikan ekonomi, militer, dan politiknya dengan perkembangan jaman, agar tidak jatuh, dan hancur." Perempuan itu tersenyum jahil melirik keponakannya. "Bagaimana hubunganmu dengan anak pertama dari Stadtholder Nikolaus?"

"Hubungan kami baik, walau harus berpacaran dari jarak jauh," jawab Maria.

Puteri Sophia berjalan menghampiri Maria dan memegang sepasang pundaknya, "Istirahatlah, keponakanku. Kau sudah bekerja dengan baik untuk hari ini."

Maria berpamitan kepada bibinya dan dia segera meninggalkan ruangan tersebut.

.

.

Maria tengah berjalan kaki menuju ke tempat hiburan malam yang terletak tiga ratus meter dari Kantor Perusahaan Ost Mecklenburg Company. Tempat hiburan itu sangat ramai, dipenuhi dengan para perempuan penghibur dan juga para lelaki berandalan. Tempat ini merupakan tempat favorit Maria. Selain dekat dengan apartemen yang dia sewa, juga dekat dengan kantor Ost Mecklenburg Company, sebuah Perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran asal Prussia yang dikelola oleh Klan Bangsawan Mecklenburg-Schwerin.

Setiap malam minggu di Le Baron diadakan pertandingan gulat dari berbagai macam bela diri. Mulai dari kung fu, karate, taekwondo, juijutsu, aikido, dan sejenisnya. Orang-orang terlihat sangat senang dan memberikan semangat untuk para petarung yang mereka dukung. Di atas ring, dua orang China berbadan tinggi besar tengah bertarung dengan sengitnya. Mereka adalah Wei Zan dan Liao Long.

Wei Zan yang berbaju hitam, sementara lawannya adalah Liao Long yang berbaju putih. Wei Zan adalah petarung pemula yang tengah bersinar. Mengingat sejak berkarir di ring gulat dua bulan yang lalu, dia tidak terkalahkan. Wei Zan terus menyerang Liao Long tanpa memberinya satu kesempatan sama sekali hingga akhirnya Liao Long terjatuh dan tak sadarkan diri.

Orang-orang bersorak-sorai atas kemenangan Wei Zan. Para pendukung Wei Zan mendapatkan uang dari hasil taruhan mereka.

"Adakah yang ingin menantang, Wei Zan," kata seorang lelaki berbadan tambun dari tribun panitia.

Perempuan bercelana jeans pendek berwarna hitam, bersepatu kulit cowboy berwarna hitam yang mengenakan kaos lengan panjang berwarna putih, berjalan memasuki ring gulat. Perempuan berambut panjang lurus berwarna perak dan bermata hijau itu berdiri di sudut ring tinju. "Aku menantangmu."

Orang-orang terdiam kaget melihat Maria yang berdiri di ring gulat. Wajah datarnya memperhatikan ekspresi dari ratusan pasang mata yang menatapnya terkejut.

Wei Zan meremahkan Maria, "Hoy, adakah laki-laki yang pemberani. Aku tidak tega kalau berhadapan dengan perempuan."

"Jangan sungkan, karena sejak kecil aku suka berkelahi," kata Maria dengan nada dingin.

Wei Zan tersenyum lebar mendengarnya. Dia segera memasuki ring gulat dan berdiri di hadapan Maria. "Baiklah, Nona. Aku tidak akan segan-segan."

Bel berbunyi dengan keras. Pertanda pertandingan telah dimulai. Wei Zan berlari dengan cepat dan mengarahkan berbagai macam serangan seperti pukulan dan tendangan secara beruntun. Maria membaca setiap gerakan Wei Zan yang begitu cepat dan menangkisnya. Pertarungan mereka membuat takjub para penonton. Maria melompat dan melakukan tendangan lurus yang mengenai dada lawannya, sehingga membuat Wai Zen terpental jauh hingga tubuhnya menghantam dinding ruangan.

Orang-orang begitu kaget melihat jagoan mereka kalah. Sementara Maria masih berdiri mematung di atas ring gulat. Ekspresi Wai Zen terlihat sangat kesal. Dia berlari menuju ke arah ring. Tanpa basa-basi, dia segera menyerang Maria. Kali ini, Maria yang melakukan serangan. Berbagai macam pukulan Maria layangkan ke arah dada dan perut Wai Zen, setelah itu Maria melakukan tendangan menyamping sebanyak tiga kali yang menyerang lutut, perut, dan leher lawannya. Pada tendangan yang ketiga yang mengenai lehernya, Wai Zen langsung jatuh tersungkur. Maria berputar dan memberikan sebuah tendangan yang memalu dengan tumitnya dan mengenai dada Wai Zen. Serangan tersebut membuat Wai Zen langsung mengeluarkan darah dari mulutnya.

Orang-orang benar-benar kaget dan tidak percaya bahwa jagoan mereka kalah oleh seorang perempuan yang baru menginjak usia dewasa.

Para penonton bersorak-sorai atas kemenangan Maria dalam melawan Wei Zan. Maria menghampiri Wei Zan dan menembakkan 'mana' berwarna hijau kebiruan untuk menyembuhkan lawannya.

"Dalam waktu lima belas menit dia akan kembali normal," kata Maria yang beranjak pergi meninggalkan ring gulat. Dia melangkahkan kakinya meninggalkan Le Baron. "Olahraga di malam hari sebelum beristirahat di malam yang tenang di Kota yang tak pernah tidur."

.

.

Orang-orang penting yang mewakili berbagai macam masyarakat dan kalangan tengah berkumpul di halaman sebuah gedung berarsitektur barok. Mereka sedang berpesta merayakan ulang tahun Ost Mecklenburg Company. Acara pesta tersebut tergolong cukup meriah, dengan diiringi berbagai macam tarian, dan musik tradisional khas Suku Maori. Acara tersebut juga dihadiri oleh Pemimpin Reichskommissariat New Zeeland, Reichskommissar Ernst Herman van Rappard.

[Reichskommissar, terinpirasi dari Kepala dari entitas politik dari Nazi Jerman. Namun, dalam cerita ini Reichskommissar itu ibarat seperti Gubernur Jenderal era Kolonial.]

Lelaki berambut hitam model haircut, dengan kemeja, celana, sepatu kulit berwarna hitam, dan bermata merah berjalan menghampiri Maria yang tengah duduk menyendiri dari kumpulan orang-orang yang tengah berpesta.

"Kau tidak bersama mereka, Maria." Maximilian memegang tangan kanan Maria dan mencium punggung tangan kanan kekasih-nya.

"Jadi tugasmu di Transoxiana sudah berakhir," kata Maria menatap kekasihnya. Perempuan itu tersenyum tipis, "Rambut baru yang keren."

Maximilian memegang rambut Maria yang sudah panjang, "Kau juga sama."

"Aku hanya ingin berusaha tampil lebih feminim," kata Maria.

Maximilian memperhatikan Maria dari ujung kepala sampai ujung kaki. Di mana kekasihnya mengenakan sepatu cowboy berwarna hitam, celana jeans pendek, dan kaos lengan panjang berwarna biru. Dia tersenyum tipis menatap kekasihnya, "Tampil lebih feminim."

Maria menatap tajam kekasihnya, "Memang aku tidak boleh pakai baju seperti ini. Lagian aku hanya membantu bibiku untuk membantu mengerjakan pekerjaan ringan."

"Maaf," kata Maximilian, "Aku tidak ada maksud buruk terkait dengan model pakaian yang kau kenakan. Lagian itu adalah hak dirimu yang tahu mana yang terbaik."

Maria hanya tersenyum tipis, "Tidak apa-apa. Aku senang kau mau berkunjung ke sini."

Setelah menyampaikan sebuah pidato singkatnya di hadapan para hadirin dalam pesta ulang tahun Ost Mecklenburg Company. Reichskommissar Ernst Herman van Rappard meninggalkan tempatnya memasuki mobil Porsche tipe 911 GT3 berwarna biru gelap yang terparkir. Mobil Porsche berwarna biru gelap itu meninggalkan komplek kantor Ost Mecklenburg Company. Baru saja sampai di gerbang, mobil tersebut meledak. Ledakan itu menewaskan Reichskommissar Ernst Herman van Rappard beserta supir pribadinya. Sementara para penjaga gerbang hanya mengalami luka bakar.

Suara ledakan tersebut mengagetkan para hadirin dalam acara pesta ulang tahun tersebut.

Mendengar suara ledakan tersebut, Maximilian, dan Maria segera bergegas menuju ke arah gerbang. Di mana api tengah melalap bangkai mobil Prosche 911 GT3 berwarna biru gelap. Dengan menggunakan kekuatan berlemen air, Maria memadamkan kebakaran tersebut. Dia juga menghampiri penjaga gerbang yang mengalami luka bakar dan menembakkan 'mana' untuk mempercepat proses penyembuhan luka.

.

.

Pasca terbunuh Reichskommissar Ernst Herman van Rappard. Pemerintah Kota Wilhelmstaadt memberlakukan situasi gawat darurat dan pemberlakukan jam malam. Jasad Reichskommissar Ernst Herman van Rappard segera dibawa ke rumah duka untuk segera dimakamkan. Reichskommissar Ernst Herman van Rappard meninggalkan tiga orang anak yang masih berusia remaja dan seorang istri. Sang Reichskommissar yang dikenal keras dan tegas mengawali karirnya sebagai seorang anggota Bundestag serta pernah menjabat sebagai seorang Bendahara di Departemen Keuangan Prussia

Para Polisi dan Tentara berkeliling Kota Wilhelmstaadt sambil menyampaikan pesan kepada masyarakat Wilhelmstaadt untuk tidak beraktifitas di malam hari selama tiga hari.

Walaupun ini dilakukan demi keamanan, namun banyak dikeluhkan oleh masyarakat Wilhelmstaadt yang menganggapnya sebagai tindakan yang terlalu berlebihan. Para Polisi dan Tentara menyisir pecinan untuk menelusuri para tersangka yang terlibat dalam pembunuhan tersebut.

Orang-orang Prussia keturunan China menolak dengan keras keterkaitan mereka dengan Pemerintah China. Mereka bersikeras bahwa para pelaku pembunuhan tersebut tidak ada hubungannya dengan mereka.

Sebuah Kapal Selam bergerak di kawasan selatan Samudra Pasifik yang dalam. Beberapa orang China tengah bersorak-sorai atas kematian dari Reichskommissar Ernst Herman van Rappard. Mereka mengadakan sebuah pesta kecil di dalam kapal mereka atas keberhasilan operasi intelijen tersebut.

"Aku tak menyangka, bahwa sihir jarak jauh yang dilancarkan oleh Konsulat Liao Mei mampu membunuh Reichskommissar Ernst Herman van Rappard," puji salah seorang lelaki bernama Xiang Song.

"Tapi aku kasihan dengan saudara-saudara kita di sana yang dicurigai oleh otoritas Prussia," kata seorang Pemuda China berbadan kecil dan ramping.

"Tidak perlu kasihani mereka. Itu adalah salah mereka yang telah meninggalkan tanah dan budaya leluhurnya," balas Xiang Song. "Kita adalah orang China, harus bertindak, dan berpikir layaknya orang China sejati. Lagian Pemerintah Prussia tidak akan bersikap nekat. Namun selama kita masih menyelami lautan. Kita akan membuat mereka kepanasan di Kepulauan itu."

"Bagaimana dengan Konsulat Liao Mei?"

"Pemerintah Prussia tidak akan macam-macam apalagi menyentuhnya!"

.

.

Beberapa Kuli bangunan terlihat sibuk memperbaiki gerbang dan pos keamanan yang rusak akibat meledaknya sebuah mobil yang membunuh Reichskommissar Ernst Herman van Rappard. Aktifitas sudah kembali normal seperti sedia kala, tanpa perlu takut akan adanya ledakan berikutnya. Maria tengah duduk di halaman dari komplek kantor Ost Mecklenburg Company sambil mencoret-coret selembar kertas putih di mejanya. Dia membuat sketsa tentang denah lokasi dari komplek kantor Ost Mecklenburg Company. Setelah itu, Maria membuat sebuah garis yang dikasih keterangan jarak 1,8 kilometer dari sebuah Gedung yang merupakan Kantor Kunsulat Jenderal China di Wilhelmstaadt.

"Sihir ledakan jarak jauh," gumam Maria. "Pantas saja, aku merasakan sebuah kekuatan besar dari arah timur laut. Kalau memang begini, aku rasa memang masuk akal, mengingat tidak ditemukan sisa bahan peledak. Sihir ini sangat langka dan penggunaannya membutuhkan banyak tenaga." Maria menatap ke arah timur laut, "Sepertinya ini berasal dari Kantor Konsulat Jenderal China di Wilhelmstaadt. Mengingat jejak dari energi tersebut masih tersisa."

Seorang perempuan berwajah China terlihat sedang bernyanyi menyanyikan lagu-lagu tradisional asli China sambil menyirami berbagai macam jenis bunga yang ada di tamannya. Ekspresi wajahnya terlihat begitu bahagia.

"Walaupun ada orang yang sedang bersedih, namun aku selalu bahagia. Ini adalah kehidupan, di mana ada yang sedang bersedih dan ada pula yang sedang berbahagia." Konsulat Liao Mei tertawa lepas sambil menari-nari. Ekspresi wajahnya berubah serius dengan tatapan mata yang tajam, "Kematian Reichskommissar Ernst Herman van Rappard adalah hal menyenangkan."

"Aku tidak menyangka bahwa kekuatan Konsulat Mei begitu mengerikan," kata salah seorang perempuan muda yang merupakan Petugas Keamanan Kantor Konsulat Jenderal.

"Kekuatan itu menguras banyak tenaga, karena aku harus mengerahkan kekuatanku dengan kecepatan tinggi sejauh 1,8 kilometer," keluar Mei, "Kalau jaraknya dekat, aku bisa membakar banyak musuh sekaligus."

.

.

Maria duduk di belakang motor sambil memeluk Maximilian. Motortrail Kawasaki berwarna hitam itu meluncur melintasi jalanan Kota Wilhelmstaadt yang selalu ramai. Sementara di belakang mereka, ada beberapa motor yang mengejarnya.

"Ada yang tengah mengikuti sekaligus mengejar kita," kata Maria yang memperhatikan pengendara motor berpakaian serba hitam yang mengikuti mereka berdua. Mereka menembakki Maria dan Maximilian. Maximilian melaju motornya dengan gesit menyalip setiap kendaraan yang ada. Sementara Maria, menembakkan mana-nya, sehingga para pengejar membeku, dan tubuh mereka hancur ketika patung-patung es tersebut ditabrak oleh kendaraan yang berlalu lalang di jalanan

"Sepertinya mereka adalah orang-orang yang dibayar oleh Liao Mei," kata Maximilian.

"Sudah pasti," balas Maria.

"Mereka benar-benar serius untuk berperang. Walaupun bertahan, kita akan meladeni mereka, bahkan akan membalikkan keadaan."

Walaupun mereka sedang bekerja. Namun bagi sepasang kekasih seperti mereka, hal tersebut adalah bekerja sambil berkencan. Mereka berkunjung ke sebuah Desa di pedalaman Semenanjung Pulau Utara yang medannya bergunung-gunung.

Maximilian dan Maria ditugaskan untuk bertemu dengan salah seorang Dukun termasyhur di sebuah Desa yang terpencil.

"Orang Austronesia memang dikenal akan kekuatan ilmu hitamnya yang hebat, selain kemampuan maritim mereka," kata Maria. "Terlebih para Ras Wizard Austronesia, di mana kekuatan mereka sangatlah sakti."

"Tidak seperti Wizard di dunia barat yang dipandang memiliki kemampuan yang mengerikan, para Wizard di dunia timur memiliki pandangan positif, di mana mereka menggunakan kemampuannya untuk pengobatan, pertanian, dan kelatuan," jelas Maximilian. "Hanya orang yang ilmunya sangat tinggi yang bisa memadukan ilmu putih dan hitam, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh para Wizard Europa."

Maximilian dan Maria tiba di sebuah danau yang berukuran cukup besar. Seorang lelaki dewasa yang bertelanjang dada berjalan menghampiri Maximilian dan Maria sambil membawa jaring yang terdapat puluhan ikan yang terjerat.

"Selamat datang di rumahku, Pangeran Maximilian, dan Puteri Maria. Sebuah kehormatan orang desa sepertiku untuk menyambut Pangeran dan Tuan Puteri," kata Tojeng Panrita.

"Terima kasih atas sambutan dan keramahanmu, Tuan Panrita. Kau memang orang yang pintar," balas Maximilian memuji orang yang dia cari.

Lelaki berkulit sawo matang dan berbadan kurus dengan tinggi seratus enam puluh delapan centimeter itu tertawa lepas, namun tidak keras. "Kenapa semua orang selalu memanggilku orang pintar, tidak peduli dia itu hanya Rakyat biasa atau Bangsawan. Padahal aku ini putus sekolah saat masih di tingkat Gymnasium."

"Kepintaran ini tidak ada kaitannya dengan pendidikan, karena semua manusia itu pintar pada bidangnya masing-masing," balas Maximilian.

"Bagaimana jika kita bicara di rumah saja?" ajak Tojeng Panrita kepada kedua tamu Europa-nya.

Tojeng berjalan ke arah sebuah rumah panggung dengan Maximilian dan Maria yang berjalan di belakangnya. Mereka lalu memasuki sebuah ruangan yang terletak di lantai teratas dan ujung dari rumah panggung tersebut. Ruangan tersebut dipenuhi dengan berbagai macam pusaka khas Bugis-Makassar.

Maximilian memberikan sebuah foto yang bergambar seorang Perempuan di atas tembok China. Di belakang foto tersebut tertulis nama, "Liao Mei."

Tojeng menerima foto tersebut dan membolak-baliknya dan secara tiba-tiba foto tersebut telah terbakar dan abunya berjatuhan di bawah telapak kaki Tojeng. Maximilian dan Maria hanya menatapnya datar.

"Aku melakukan ini untuk membela negaraku, bahkan sebelum kalian datang. Aku sudah yakin bahwa pihak Berlin ataupun perwakilannya di Wilhelmstaadt akan menemuiku."

Maximilian dan Maria membungkukkan badannya sedikit dan bersalaman dengan Tojeng.

"Terima kasih atas bantuannya, Tuan Tojeng. Maaf kami tidak bisa berlama-lama di sini. Kami akan kembali lagi ke Wilhelmstaadt," kata Maximilian.

"Tidak masalah."

.

.

Berita kematian Konsulat Liao Mei menyebar dengan sangat cepat, dan dia dikabarkan meninggal akibat mengalami luka bakar yang berat saat sedang memasak di dapurnya.

Maximilian yang tengah duduk di tepi Pelabuhan Wilhelmstaadt tersenyum lebar mendengar berita kematian Konsulat Liao Mei yang mati akibat mengalami luka bakar.

"Ilmu hitam orang Bugis itu cukup mengerikan juga."