webnovel

J

Air mata yang tumpah ruah bersama duka, menjadi cerita paling menyesakkan untuk dibagi pada luka yang kian menganga.

Hidupnya nyaris tak terarah, kenangan-kenangan di masa lalu yang membawanya kembali pada keterpurukan nyatanya hampir merenggut setengah dari kewarasannya yang memang perlahan menghilang. Gia, si perempuan perfeksionis yang terlihat dingin, nyaris kehilangan dirinya sendiri. Setelah turun dari mobil tatkala benda berbahan besi dan kabel itu berhenti di rest area, membuat Gia setidaknya bisa bernapas sedikit lebih baik ketimbang beberapa saat dirinya masih terjebak dengan keempat lelaki itu di dalam satu ruang lingkup karbondioksida yang sama.

Napasnya tersengal-sengal setelah kembali memuntahkan cairan dari mulutnya, sebab perutnya memang belum diisi apa-apa sejak pagi tadi. Kepalanya terasa begitu sakit, ditambah dengan jantung yang berdegup tak karuan. Pertanyaan dari Bisma, tatapannya yang menelisik tajam, di tambah dengan tindakan bodoh Alan yang membuatnya kembali menerjang ingatan untuk memutar masa lalu di balik kepalanya yang terasa hampir pecah.

Sial, jangan lagi.

Setelah puas mengorek isi perutnya, Gia terduduk di atas toilet sembari menyandarkan kepalanya ke dinding. Rest area nampak lenggang, begitupun toilet yang hanya diisi oleh dirinya sendiri. Terdiam, perempuan itu lantas menitikkan air matanya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, air mata itu menetes lagi. Gia bahkan lupa bagaimana caranya menangis, lupa bagaimana caranya mengekspresikan diri. Namun, Alan seolah membantunya untuk kembali merasakan sedikit dari bagian kecil hal-hal di dunia ini.

Tapi, kenapa harus rasa sakit itu lagi?

Perempuan itu terdiam cukup lama, membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan sendiri sebelum akhirnya tersentak tatkala pintu toilet di ketuk. Menghela napasnya, Gia lalu berlalu menuju wastafel untuk membasuh wajahnya yang terlihat kacau. Matanya bengkak, pun maniknya terlihat merah. Setelah dirasa cukup lebih baik, Gia membuka pintu toilet yang tidak terkunci sejak awal. Di ambang pintu, terlihat Alan yang memasang tampang khawatir.

"Kupikir kau kenapa-napa," ujar Alan, "kenapa lama sekali di dalam sana?"

Gia tak memberi jawaban, bahkan setelah sekian menit waktu berlalu. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuh yang berdiri kaku, mencoba menolak namun tak bisa munafik sebab dia juga merindukan pria ini. Namun, tatkala kenangan di masa lalu kembali terputar bak kaset lama, Gia langsung mendorong tubuh besar milik Alan dam mengatakan sesuatu dengan suara yang nyaris menghilang dari kerongkongan.

"Maaf," katanya, lalu melangkah pergi.

Alan tak mengerti maksud dari kalimat maaf itu, tapi mendengarnya keluar dari ceruk bibir Gia, bahkan terdengar begitu lirih, pria itu merasa terenyuh. Dadanya seolah ditekan, sementara kepalanya dipaksa untuk kembali mengingat masa lalu menyedihkan di antara mereka. Alan terdiam cukup lama, sebelum akhirnya kembali membawa kakinya menuju parkiran. Setelah sampai, Gia nampak memejamkan matanya sembari menyandarkan kepalanya pada jendela yang terkatup. Vin ini berada di tengah-tengah, sementara Bisma berada di sebelah Vin.

"Kenapa kau ambil tempat dudukku?" Tanya Alan pada Vin.

Vin nyaris memberikan jawaban, tapi Bisma sudah mendahului. "Vin kelelahan menyetir, dia juga tidak bisa duduk di dekat jendela. Nanti mabuk," kemudian mengulas senyum, "kalau mabuk nanti kita yang repot."

Alan tak bisa lagi membantah dan memilih untuk pergi menuju bangku di samping pengemudi, setelah duduk barulah Galang menyetir dengan santai menuju tempat tujuan mereka. Suasana nampak canggung, hening yang diisi terasa mencekat di dalam dada. Radio sudah tak lagi terdengar sebab sudah berada di luar satelit, begitupun sinyal yang sudah menghilang tatkala Vin ingin mengisi kekosongan dengan bermain gim di ponselnya.

"Shit! No signal," umpat Vin, lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Wajah pemuda itu nampak begitu masam, bibirnya mengerucut sebal. Alan yang sejak tadi menatap ke arah hutan yang perlahan mulai tergantikan dengan rumah-rumah penduduk, kini menoleh.

"Apa aku lupa mengatakannya pada kalian?" Ketiga pemuda yang masih terjaga itu mengerutkan keningnya, sementara Gia masih tenggelam dalam bunga tidurnya. "Desa Manna itu terpencil, akses internetnya terbatas. Kemungkinan kita benar-benar akan mengisolasi diri selama ekpedisi ini,"

"Itulah kenapa kau menyuruh membawa walkie-talkie?" Tanya Galang, yang langsung dijawab berupa anggukan oleh Alan.

"Kita hanya akan berkomunikasi lewat walkie-talkie," jelasnya, "tapi tenang saja, nanti kita akan ditemani oleh juru kunci di sana. Dia yang akan membawa kita ke sana,"

Vin yang dasarnya penakut langsung menggeleng, kemudian mengatakan kalimat yang nyaris membuat Bisma mencekik leher pemuda itu sangking gemasnya. "Bagaimana kalau tiba-tiba juru kunci itu ternyata orang jahat? Atau bisa jadi penduduk desa itu penganut kanibalisme, lalu kita akan dikurung kemudian dijadikan bahan makanan mereka atau ritual agar penduduk desa itu aman sentosa."

Bisma berdecak kagum, lalu berbicara. "Kau cocoknya jadi novelis saja, Vin. Otakmu terlalu out of the box untuk digunakan sebagai seorang arkeolog,"

Galang sudah tertawa lepas, sementara Vin kini nampak cemberut begitupun Bisma yang masih asyik mengejek. Sementara Alan masih enggan untuk mengalihkan perhatiannya, mata dengan manik sehitam jelaga itu terus menatap ke arah Gia yang tertidur nyenyak sembari memeluk dirinya sendiri. Mata yang biasanya menatap dengan sorot tajam itu, kini tertutup rapat. Bibir merah yang biasanya mengucap kalimat-kalimat pedas itu, kini terkatup rapat. Terlihat nyenyak, membuat Alan tak tega untuk membangunkannya. Setidaknya, Alan ingin memberikan sedikit waktu untuk Gia menikmati waktu tidurnya yang barangkali sulit untuk perempuan itu dapatkan.

Desa ini masih asri, tak terlihat seperti desa penuh misteri yang Vin takutkan tadi. Orang-orangnya nampak ramah, anak-anak kecil nampak bermain di lapangan. Tapi orang jahat tentu saja tidak akan memperlihatkan dirinya secara terang-terangan, 'kan? Alan terkekeh pelan menyadari bahwa dirinya ikut memikirkan apa yang Vin pikirkan, sontak saja membuat Galang yang mendengar mengerutkan keningnya.

"Kita hanya perlu sampai di balai desa, nanti akan ada orang yang menyambut kita." Ujarnya, menunjuk ke arah depan, Galang lantas mengangguk.

"Tuan Egi sepertinya sudah mempersiapkan semuanya dengan baik," celetuk Galang.

Alan menolehkan kepalanya, lalu mengangguk. "Ada beberapa hal yang tak dilihat oleh orang lain tentang dirinya," lalu tersenyum, "mungkin tertutupi oleh kejengkelan orang-orang terhadapnya?"

"Tapi make sense, sih. Tuan Egi terkadang berada di level menyebalkan paling tinggi," balas Galang, "aku setuju untuk beberapa hal."

Tak ada konversasi lagi setelahnya, Alan menutup pembicaraan mereka dengan kekehan pelan sebab mobil mereka kini sudah berada di pelataran parkir balai desa. Beberapa orang terlihat berdiri dari tempat duduknya, sebuah senyum sudah terukir pada wajah dengan keriput itu. Vin lalu bergidik ngeri, meringis dan kembali bergumam.

"Kalau di film-film, orang-orang jahat itu akan bersikap baik terlebih dahulu. Semacam plot twist,"

Bisma lalu berdecak, tangannya yang hampir membuka pintu lantas berhenti dengan mata yang menatap tajam ke arah Vin. "Stop it, Vin! Mau kupotong burungmu biar kau berhenti?"

Vin menggeleng, kembali bergidik ngeri setelahnya. "Yang itu terdengar lebih menakutkan," balas pemuda itu, lalu keluar dari mobil tatkala Bisma sudah lebih dulu keluar dan merenggangkan otot tubuhnya yang terasa pegal.

"Bagaimana dengan Gia?" Tanya Galang pelan.

Alan menoleh sebentar sebelum akhirnya kembali mengarahkan tatapannya pada sosok Galang, kemudian menepuk bahu pemuda itu sebentar. "Keluarlah, urusi saja barang-barang di bagasi! Biarkan Gia tidur sebentar, dia terlihat benar-benar kelelahan."

Titah yang keluar dari ceruk bibir Alan lantas dijawab berupa anggukan, Galang kemudian melangkah keluar dengan disusul oleh Alan. Sementara Gia masih terlelap di dalam mobil, keempat pemuda itu sudah lebih dulu mengeluarkan perlengkapan mereka di dalam mobil. Entahlah, melihat bagaimana wajah kelelahan itu terpampang nyata di depan mata, membuat Alan sedikit iba. Setidaknya, dia ingin memberikan kesan yang baik pada perempuan itu sekalipun banyak sekali pertanyaan yang berkeliaran di dalam kepalanya.

To Be Continued