webnovel

B

Bahkan jika orang itu bukan aku, apakah kau akan tetap terluka? Kalau jawabannya adalah tidak, maka aku akan perlahan belajar melupakanmu.

Barangkali, kalau ada pintu kemana saja Doraemon, Gia ingin masuk ke sana dan pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini. Kepalanya yang pusing, ludah yang terasa pahit, bahkan tubuh yang terasa lengket tak menjadi perhatian utamanya lagi tatkala seseorang itu kini berdiri di ambang pintu kamar mandi. Tubuh atasnya terekspos bebas, memperlihatkan perutnya yang berbentuk kotak-kotak, pun otot bisenya yang terlihat menonjol bersama urat yang terpampang jelas di bola matanya yang membulat.

Sesaat setelah menyadari bahwa dia berada di sebuah ruangan asing, tubuh perempuan itu stagnan untuk beberapa saat dengan tenggorokan yang mendadak jadi sakit. Suara teriakan yang tertahan, membuatnya sulit untuk bernapas. Dia sebenarnya tak ingat apa yang terjadi semalam, tapi dari situasi yang tengah dia alami sekarang, Gia tentu tak terlalu bodoh untuk memahami apa yang telah terjadi. Tubuh telanjangnya lantas berdiri, melangkahkan kaki tanpa alas itu untuk mendekat pada sosok Alan yang kini mengerutkan keningnya.

Plak

Suara pertemuan antara pipi dan telapak tangan itu menggema, bahkan kepala Alan kini tertoleh sangking kuatnya tamparan barusan. Menghela napas, pada akhirnya Alan hanya membiarkan tanpa melempar protes. Terdiam untuk beberapa saat, membiarkan Gia untuk meluapkan semua kekesalannya. Napas perempuan itu tersengal-sengal, seperti baru saja berlari berkilo-kilo meter jauhnya. Tapi sayangnya, dia bukannya kelelahan melainkan menahan amarah yang sudah membumbung tinggi di kepalanya.

Alan lantas sedikit menggeser tubuh besarnya untuk mengambil jubah handuk yang tersampir di gantungan di dalam lamar mandi, niatnya ingin memakaikannya pada gadis itu tapi Gia lebih dulu menepisnya dan membuat benda itu terjatuh ke tanah. Alan menatap lurus pada manik mata yang menyorot tajam itu, terlihat jelas tengah menahan amarah, kekesalan, dan juga kesedihan yang begitu besar. Ingin memeluk, tapi keberanian itu menghilang entah kemana. Alan lantas diam, bibirnya sesekali digigit untuk menyalurkan rasa gugupnya.

"Untuk apa benda itu dipakaikan padaku? Bukankah kau senang melihat tubuhku?"

Alan tak menjawab, bahkan manik matanya sudah tak sanggup lagi untuk menatap Gia. Lelaki itu mengalihkan pandangannya, menghela napas dalam-dalam, lalu mengulas senyum manis dengan harapan agar suasana menjadi lebih nyaman untuk mereka berdua.

"Kau salah paham, Gia. Aku ti...."

"Apa aku harus percaya padamu setelah apa yang kau lakukan padaku dulu?"

Pada akhirnya, Alan kembali mengingat bagaimana sosok Gia yang tak kenal maaf kalau sudah benar-benar membenci sesuatu. Bibirnya kembali terkatup, entah kenapa jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Tangannya terulur, mencoba untuk menghapus air mata yang tiba-tiba sudah menetes dari mata cantik yang tak pernah bosan untuk Alan tatap. Tapi Gia kembali berlalu, meninggalkan Alan dengan segala kecamuk yang mengisi kepalanya.

"Kau mau kemana?" Tanya Alan lagi, tapi perempuan itu masih bergeming untuk membuka suara dan terus memakai kembali pakaiannya yang tercecer di lantai.

"Gia, dengar dulu. Kau salah paham padaku," Alan terus mencoba meyakinkan, tapi Gia agaknya tak mau lagi perduli dan kini sudah kembali memakai sepatu dengan tumit tingginya.

Mengambil tas selempang yang berada di sofa itu, lantas berlalu meninggalkan Alan tanpa mengatakan apa-apa. Bahkan menoleh untuk sekedar melihat Alan saja tidak, Gia benar-benar tak mau lagi membicarakan sesuatu pada Alan. Perempuan itu lalu menghilang, berbarengan dengan suara dentuman keras pintu yang tertutup.

"Apa semua sudah siap?"

Alan yang kini berdiri di antara Bisma dan Galang melempar tanya pada keempat orang yang sejak tadi sibuk dengan kegiatannya masing-masing, lantas mengalihkan atensinya pada lelaki itu tatkala mendengar Alan bertanya kepada mereka. Ketiga orang itu lantas mengangguk antusias, sebab merasa bahagia akan melakukan penelitian yang sebenarnya setelah sekian lama menjadi tim tak berguna di museum Pearl Garden ini. Ya, kecuali Gia yang masih memasang raut masamnya.

Tadi, setelah pulang dari hotel terkutuk itu, dia langsung pulang ke apartemennya untuk mengganti baju. Bau asing itu bahkan masih melekat di tubuhnya, jangan tanyakan dengan kondisi bajunya yang kini sudah berada di dalam tong sampah. Dan ketika sampai di kantor dan telat sekitar tiga puluh menit, perempuan itu sudah mendapati tatapan tajam dari ketiga sosok itu. Bisma tentu saja yang paling menyebalkan, terus-menerus menyindir keterlambatan Gia.

"Kalau begini, biarkan aku saja yang mengerjakan tugasnya Gia. Aku juga dari tim ephigrafi," katanya sesaat Gia tiba di dalam ruangan itu.

Alih-alih melempar protes atau mencari alasan atas keterlambatannya, Gia lebih memilih untuk diam sementara Alan terus menatap ke arahnya. Rani yang tadi bertanya pada Gia, kini berdiri di samping perempuan itu untuk memberi semangat. Setidaknya, Gia harus mendapatkan sedikit kekuatan untuk segera pergi ke tempat ekspedisi.

"Setelah dari sini, kita akan ke desa di sana. Jaraknya cukup jauh, memakan sekitar lima jam perjalanan darat. Aku harap kalian semua baik-baik saja untuk itu," kata Alan lagi.

"Aku, sih, tidak apa-apa. Tapi takutnya nanti Gia yang mabuk perjalanan," balas Bisma dengan intonasi yang jelas-jelas menyindir, "semalam saja baru satu gelas sudah mabuk, apalagi lila jam perjalanan darat. Aku dengar, akses jalan menuju ke sana juga buruk, 'kan?"

Gia lantas berdecak, tapi bibirnya masih setia terkatup tapi matanya yang seolah mengatakan tentang kekesalannya. Bisma yang melihat, langsung berdehem dan mengalihkan tatapannya. Vin dan Galang hanya menggeleng-gelengkan kepala, berharap perjalan nanti mereka akan baik-baik saja.

"Tuan Egi tadi memberi salam, katanya beliau tidak bisa mengantar kita. Beliau sibuk,"Alan kembali buka suara, sementara yang lain hanya mengangguk. Lantas, lelaki itu beralih pada gadis yang berdiri di sebelah Gia."Rani, tolong jaga ruangan kita dengan baik. Kerjakan laporan yang sudah diberikan padamu dengan baik, ya?"

"Galang," kali ini beralih pada sosok Galang, "perlengkapan untuk penelitian sudah semua, 'kan?" Yang di jawab berupa anggukan oleh Galang.

"Kalau tenda dan peralatan lainnya selama kita di sana bagaimana?" Vin juga mengangguk.

"Aku membawa tenda dan peralatan lainnya Bisma yang bawa," jawab Vin kemudian.

"Bagaimana dengan bahan makanan?"

"Aku yang bawa,"

Semua orang lantas mengerutkan kening, terkejut bukan main dengan suara dingin dari Gia tatkala menjawab pertanyaan Alan barusan. Tunggu, apa begini sikap aslinya? Gia bahkan sejak tadi hanya diam, memasang raut masam dan menatap tajam ke depan. Mengerikan, membuat mereka merinding. Tapi Alan yang paham kenapa perempuan itu bisa bersikap seperti itu hanya menghela napas, lantas mengangguk dan mengulurkan tangannya.

Ketiga orang yang mengerti, ikut mengulurkan tangannya dan bersiap untuk melakukan yel-yel. Gia yang melihat kemudian mendengus, merasa harus sebab tak ingin terlihat tidak profesional. Baik, Gia. Jangan campur urusan pribadi dengan perkerjaan. Maka setelahnya, perempuan itu mengalah dan sempat menarik tangan Rani untuk ikut dalam yel-yel. Setelahnya, mereka berteriak sembari bertepuk tangan dengan senyum yang terukir di wajah masing-masing.

Tapi senyum itu kemudian luntur ketika Gia, terpaksa duduk berdampingan dengan Alan. Perempuan itu padahal sejak tadi terus menghindar, berteriak pada Vin untuk duduk di sebelahnya tapi Alan lebih dulu masuk dan duduk bersama raut wajah tak bersalahnya.

Perjalan lima jam mereka, terasa seperti lima hari untuk Gia.

To Be Continued