webnovel

Bayangan Wanita Terbunuh

Hultgren Student Apartment

Gothenburg, Swedia

15 Maret 2058

11.30 PM CEST

"Hahhhh!"

Andrea menurunkan kasar selimut tebal yang sedari tadi menutupi wajah, menghempaskannya sampai lutut. Kesal, ia tak kunjung bisa tertidur lelap sejak naik ke atas tempat tidurnya sekitar pukul sepuluh malam. Padahal, Andrea sudah berencana tidur lebih awal dan bangun lebih pagi karena harus kembali mencari pekerjaan esok hari.

Stereotipe bahwa otak seseorang yang pendiam sepertinya akan selalu berisik di kala sepi mungkin patut dibenarkan. Banyak ide-ide kreatif yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya melintas begitu saja dengan sopan, secara halus memaksa sang pemilik benak untuk memikirkannya lebih lanjut. Atau bahkan, menuangkannya ke dalam sesuatu.

Gadis itu lantas menurunkan kakinya perlahan, lanjut mengenakan sandal kamar berbulu abu-abu, melangkah menuju meja kerja. Sial sekali, malah ia harus kembali berkutat dengan kuas-kuas, cat, dan kanvas alih-alih beristirahat selarut ini. Tapi apa boleh buat? Inspirasinya kali ini sepertinya akan dihargai sedikit lebih mahal puluhan dolar, tidak dapat dilewatkan begitu saja.

Namun sebelum memulai aktivitas melukis tengah malam, hujan salju ringan yang tampak dari jendela menarik perhatiannya. Andrea lantas melangkah mendekat, membuka jendela itu meski yakin bahwa sesaat kemudian ia akan merasa kedinginan. Ah, tapi tidak masalah, karena memandangi hujan salju seperti itu selalu membawa ketenangan untuknya, baik untuk perasaan, atau pikiran kreatifnya yang akan kembali bekerja sebentar lagi.

Andrea memejamkan mata, menghela dan menghembuskan nafasnya berkala. Oksigen dan udara segar telah terbukti menjadi asupan kreativitas otak yang penting. Karenanya, kegiatan seperti ini dijadikannya sebagai ritual sebelum bekerja.

Lima menit terus seperti itu, hingga akhirnya kepingan inspirasi dan ide yang melintas singkat-singkat tadi telah tergabung seluruhnya menjadi kesatuan yang lebih jelas dan padat makna sebelum digoreskan di atas kanvas bertekstur.

"Apa yang sedang kau lakukan? Anginnya dingin sekali."

Andrea terkesiap. Hellen yang merupakan teman satu apartemennya itu berbicara tiba-tiba dari tempat tidurnya di seberang sana. Suaranya serak dan berat, tidak seperti suara aslinya.

"Menurutku ini menyegarkan." Andrea menutup jendela kamar kemudian, kasihan pada Hellen yang tidak terlalu menyukai apalagi tahan udara dingin. "Lanjutkan tidurmu, Hellen. Maaf aku sudah mengganggumu," lanjutnya seraya duduk di kursi kerja.

Hellen tidak langsung kembali tidur, malah ia ubah berbaring menghadap Andrea di meja kerjanya, "Apa yang kau temukan di alam imajinasimu kali ini, Andrea?"

"Hm? Entahlah..." Andrea mulai menggambar sketsa di atas kanvas dengan pensil grafit. "Aku hanya melukis apa yang secara aktual terpikirkan olehku, beberapa waktu lalu, dan saat ini."

Hellen tersenyum miring, "Jenius. Aku iri."

Andrea melirik Hellen sekilas, tampak gadis itu sudah memejamkan setengah matanya kembali, mungkin juga sudah hampir tertidur. "Kau juga selalu memiliki kelebihan, Hellen. Berhentilah iri dan terlalu memujiku," ujarnya, memotivasi Hellen dengan gaya cuek andalannya.

Terkadang Andrea bingung, bagaimana lagi caranya menyemangati Hellen yang berkali-kali ingin menyerah dengan karirnya sebagai seorang pematung. Hellen selalu mengatakan bahwa ia tidak berbakat, berbeda dengan Andrea yang memang sangat menjiwai hobi sekaligus profesinya sebagai seorang pelukis imajinatif surealisme.

"Bagaimanapun kau pantas dipuji, terutama soal kelebihan matamu yang indah itu. Siapa yang tidak iri?"

Andrea menghela malas, "Aku bahkan tidak pernah berharap untuk memiliki mata tetrakromatik, penglihatan super, atau apapun yang dikatakan orang-orang. Kelebihan itu bahkan terkadang merepotkan, untuk apa terlalu berbangga?"

"Tapi sudah sepantasnya kau merasa bersyukur, karena kelebihan itu yang mungkin akan membawamu lebih sukses dari sekarang. Kau saja yang tidak peduli, tidak memanfaatkan bakatmu semaksimal mungkin," lanjut Hellen, masih gemas dengan Andrea yang sama sekali tidak tertarik untuk membuat karya digital untuk metaverse seperti LUBEL.

Namun terlepas dari itu semua, Andrea merasa kemampuan penglihatan yang katanya luar biasa sebagai seorang tetrakromat itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Tidak ada yang spesial, selain memang ia yang mampu melihat sekitar seratus juta warna dalam spektrum cahaya tampak, dimana manusia normal hanya mampu sepersepuluh kali dari itu.

Andrea menghela, baru saja menyelesaikan sebuah sketsanya secepat kilat. Kali ini sketsa lukisannya sedikit mistis, dengan makna yang hanya diketahui oleh Andrea sendiri: sebuah kepala manusia yang hampir terlepas dari leher dan tubuh utama. Potongan kepala dengan ekspresi wajah tersenyum nanar nyaris menangis dan mata terbuka lebar itu hanya dihubungkan oleh serabut-serabut pembuluh darah di bawah rahang yang juga hampir putus. Sebagian besar serabut pembuluh darah itu digambarkan telah pecah, membuat darah di dalamnya seolah menetes dan mengalir tanpa batas ke bawah, mengenai bahu polos tanpa sehelai kain milik sang karakter utama wanita.

Tidak hanya itu, Andrea menambahkan elemen misterius lain di atas kepala plontos sang wanita: sebuah sarang burung. Dua ekor ada disana: satu berbulu hitam legam, satu lagi berbulu campuran biru-merah-hijau. Burung yang berwarna digambarkan telah mati, hampir terjungkal dari sarang, sementara burung yang hitam itu membusungkan dadanya arogan, seolah ialah pembunuh si burung berbulu tiga warna.

Andrea menggambarkan sebuah gurun pasir sebagai latar belakang. Gurun itu tidak tampak realistis, karena sebuah garis gelombang panjang terlukis disana, di tengah-tengah, membagi kanvas itu menjadi dua bagian secara vertikal-tidak proporsional. Masing-masing bagian, di kanan dan di kiri akan diberi dua warna berbeda, meski perbedaan warna itu tak akan terlalu kentara di mata orang normal. Keseluruhan ilustrasi latar belakang itu memberi kesan imajiner bahwa pasir-pasir gurun itu hampir 'runtuh' dan 'merosot' ke satu sisi.

"Sebuah skenario pembunuhan?" tanya Hellen, tanpa disadari sudah berada di belakang Andrea sejak tadi. Dibalik mata mengantuknya, Hellen mengamati dan mencoba memikirkan konsep sketsa lukisan Andrea yang biasanya sangat sulit ditebak.

"Kau... melihatnya lagi?"

Andrea sedikit menghela, kemudian mengangguk, menatap sketsa lukisannya lamat-lamat. "Ya, aku kembali melihatnya, padahal aku yakin bahwa aku sedang tidak tertidur. Lama-lama aku merasa bahwa aku sedang berhalusinasi, meyakini bahwa..."

"Penampakan sketsa dan siluet seorang wanita yang mati terbunuh sadis itu bukan sekedar inspirasi biasa yang seharusnya kulukiskan," lanjutnya.

Hening kemudian, baik Andrea atau Hellen sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sudah beberapa bulan terakhir, Andrea kerap kali melihat, atau tepatnya terbayang akan gambaran seorang wanita yang tewas bersimbah darah dengan tragis. Apa yang dilihatnya memang tidak setragis apa yang baru saja digambarnya di atas kanvas, Andrea hanya mendramatisir untuk menambah nilai karya. Pemandangan itu terus muncul, tidak harus ketika ia tertidur atau bermimpi, ketika sadar penuh pun bayangan itu dapat terlintas begitu saja di benak Andrea.

Awalnya Andrea menduga bahwa bayangan-bayangan itu muncul dikarenakan dirinya yang baru saja menonton film horor bersama Hellen. Namun, rasanya tidak masuk akal jika setelah satu bulan bayangan itu masih terlintas di benaknya, sama persis. Lebih aneh lagi, film yang disaksikan bersama Hellen itu bukan film horor berdarah, sementara bayangan yang selalu terlintas di benaknya sejak hari itu adalah sosok wanita yang tewas berdarah-darah.

"Apakah kau ingin pergi ke psikiater? Aku khawatir kau memang berhalusinasi, Andrea."

Andrea menggeleng, "Aku tidak punya uang, Hellen."

"Tidak apa-apa, aku bisa membayarnya. Ayolah, jangan menolak."

"Jangan, aku tidak enak. Mungkin aku hanya perlu banyak beristirahat dan menenangkan pikiran, sejenak berhenti melukis."

Hellen akhirnya mengangguk saja, sangat maklum dengan sikap Andrea yang selalu menolak bantuan finansial darinya sejak dulu. "Baiklah. Sebaiknya kau pulang ke rumah ibumu untuk berlibur. Kau juga masih belum mendapat pekerjaan disini, carilah lewat aplikasi online."

"Ya, terima kasih atas saranmu, Hellen."