webnovel

Werewolf

Aku menembak mendadak bukan tanpa sebab.

Tepat kupikir ini adalah tempat yang sangat sunyi, alarm tanda bahayaku berbunyi lebih keras dari biasanya. Aku bereaksi spontan.

Namun, aku tidak berpikir tembakanku akan langsung mengenainya.

Dia yang memicu alarm tanda bahayaku harusnya lebih kuat.

"Eh? Hilang?" Bukan Nata sendiri yang tertegun, kami juga sama.

Seseorang tidak dikenal muncul di hadapan kami lalu setelah mengeluarkan satu kalimat, dia menghilang.

Keheranan itu tak berlangsung lama. Orang itu memang sudah hilang, tetapi gugur satu tumbuh seribu. Dia pergi hanya untuk mendatangkan sejumlah besar binatang buas yang entah sama kapan mengepung kami.

Binatang?

Sialan!

"Ayo bermain!"

Kupikir aku mendengar suara dari suatu arah, tetapi aku memutuskan mengabaikannya.

Lebih penting lagi binatang buas ini!

"Woy! Anjir! Kok cuma kegores dikit? Waaa jangan dekat-dekat. Fireball!" Gio tak ada habisnya merutuk. Dia meninggalkan pedangnya dengan menggantikan sihir. Sejak kapan dia mempelajarinya?

Itu ampuh. Dari pada pedangnya, sihir itu lebih memberi efek. Harimau yang dihadapinya langsung meraung kepanasan dan bergerak gelisah.

"GRRR!" Dia meraung marah. Tak disangka dalam kepanasan pun dia masih bisa bergerak berusaha menyerang Gio.

Aku tidak ada waktu untuk menolongnya bahkan aku juga diserang.

Aku harus sampai mengeluarkan peluru terkuatku, peluru emas untuk benar-benar memberikan efek karena binatang buas ini lebih kuat dari yang kuduga. Tidak bisa dibandingkan dengan para serigala tadi. Seperti bukan bina–

Eh, apakah mereka ini semua binatang?

Aku mencoba tak lengah. Masih berusaha menembak satu demi satu. Namun, aku tidak bisa berhenti berpikir.

"Nata hati-hati!" Teriakkan Lola menyentakku paksa dari lamunan.

Aku mencari-cari keberadaan Nata karena binatang buas jadi memisahkan kami.

Aku menemukan Nata yang melawan macan, tetapi ada binatang buas lainnya yang terbang cepat ke arahnya. Sejenis burung elang. Karena Lola memperingatkannya dengan cepat, Nata bisa menghindar dan menebas burung itu.

Sialan!

Jantungku ... jantungku hampir luruh.

Ini tak bagus!

Binatang buas ini tak ada habisnya. Tidak hanya jumlahnya terus bertambah, bahkan bagi mereka yang belum benar-benar mati masih berusaha bangkit dan melawan kami.

"Tuan Arga awas!"

"Argh!"

Aku telat.

Aku lalai.

Bahkan dengan peringatan Lola dan tanda bahaya bawaan dari skillku, aku masih tidak bisa menghindarinya.

Seekor anjing berhasil menggigit kakiku. Aku sudah mencoba menembak, tetapi kalah waktu. Anjing itu langsung mati setelah ditembak tiga kali dan aku ....

"Uhuk!"

Tubuhku tiba-tiba merasa lemah. Rasanya aku hampir roboh kalau tidak segera bersandar pada pohon terdekat. Kaki kananku yang terkena gigitan perlahan semakin kebas.

"ARGH!"

Apa ini? Sesuatu masuk ke kupingku seolah-olah mengorek dengan pisau sebesar tulang ikan.

Jangan bilang kalau ....

Kabur segera dari pohon itu, aku melihat lebih detail. Ternyata ada semut api yang mengitar pohon itu dengan barisan rapi.

Ah, sakitnya menjadi-jadi.

Ini ... ini bagaimana aku mengatasinya?

"Resistensi sakit berhasil diaktifkan."

Hm? Suara siapa itu? Michael? Aku tidak bisa mengecek karena tidak sempat memegang ponsel.

Namun, rasa sakitnya tiba-tiba hilang. Aneh.

"Tuan, Tuan baik-baik saja?"

"Kak Arga gak kenapa-napa, 'kan?"

"Njir kok lo bisa sampe ke gigit sih? Sakit enggak?"

Ketiganya langsung menghampiriku saat ada kesempatan. Mereka mencemaskanku, mungkin. Rasanya ada perasaan aneh yang menyelinap dengan pelan.

Aku menggeleng sambil tersenyum berusaha tidak membuat mereka khawatir.

"Ini benar-benar berbahaya!" Lola berkata dengan wajah panik.

Tetapi Gio yang masih sempat menebas lebih panik lagi. "Ya, bahaya. Ini monster semua cuy anjir!"

Monster? Seperti yang kuduga. Kekuatannya tidak masuk akal dan bahkan sangat jauh berbeda dari para serigala tadi.

Ini hutan rumahnya binatang buas bukan rumahnya para monster, 'kan?

Kalau begini ... apa yang harus kulakukan?

"Ini enggak ada habisnya! Kalau terus begini, kita beneran bisa tertular!"

Mengapa aku yang merasakan efek dan mereka tidak itu karena aku sudah digigit secara langsung sementara mereka hanya diperceki oleh hujan darah. Kalau kelamaan terkena darah, bisa-bisa mereka juga bisa tertular.

Namun, aku memiliki resistensi sakit–

"Itu hanya menghilangkan rasa sakit. Virusnya masih menyebar. Penyebaran sekarang 25 persen."

Apa? Serius? Aku tidak tahu itu!

Ah, gawat. Aku ... ck, apa yang harus kulakukan?

Monster-monster ini terlalu banyak. Apakah kami harus berakhir di sini?

Tiba-tiba semuanya berhenti bergerak dan kabur meninggalkan kami.

Eh? Apa? Apa yang terjadi?

Kringgg!

Sial! Alarm tanda bahayaku kembali berdering kencang di kepala. Aku berusaha meloncat dengan sisa-sisa kekuatan.

"Oh? Masih bisa menghindar? Lumayan tangguh."

Ada pria lainnya yang berbeda dari tadi entah dari mana munculnya. Dia pria dewasa yang tinggi, tetapi di tangannya ada cakar yang begitu panjang, tajam, dan runcing mirip jarum dan baru saja dia ingin menggoreskanku dengan itu.

Aku menghindar.

Kali ini siapa? Jangan bilang ....

"Omega, Beta, serang mereka!"

Omega? Beta? Apakah itu sebuah nama–

Sial!

Dia sepertinya tidak ingin membiarkan kami berpikir sedetik pun.

Aku butuh waktu menyerap informasi!

Bukan monster-monster hewan yang menyerang kami, tetapi sesuatu yang mirip dengan manusia.

Tidak ... tidak juga!

Mula-mula ada banyak serigala mendekat, tetapi begitu jaraknya dekat mereka berubah ke bentuk manusia. Transformasi?

Omega, Beta, dan tadi ada orang lain menyebut Alpha. Kalau tidak salah aku pernah baca ... Werewolf?

DOR!

Kapan habisnya? Aku mulai lelah dan selain itu sebetulnya masih terjangkit. Belum ada yang sadar di sini.

Nata dan Gio berusaha sebisa mungkin menebas, tetapi musuh kali ini lebih tangguh. Tidak cocok untuk pemula seperti kami. Menghadapi monster berakal jauh lebih sulit.

"Aduh!"

Gio pada akhirnya kembali tersandung gaunnya sendiri. Dia memakai pakaian yang sangat tidak cocok untuk pertempuran dan ini masalah sekarang!

"Rahmat paling murni, limpahkan kami dengan aliran airmu yang suci dan tenang. Jerat, tenggelamkan dengan kekuasaanmu. River of serenity!"

Namun, untungnya Lola tepat waktu. Dia mengeluarkan sejenis sihir air yang cukup besar. Air yang tidak tahu dari mana mulai memenuhi tempat, menenggelamkan apa pun bahkan tanpa terkecuali kami.

"Ayo kita pergi aja!" Nata menarik tanganku dan hendak menuju Lola dan Gio juga.

Pergi? Eh, apa tak apa meninggalkannya begitu saja?

Cuma ... ini benar. Aku bahkan dikonfirmasi sudah setengah virusnya menyebar ke tubuhku. Kita masih belum bisa melakukan apapun. Kita butuh mengatur rencana ulang.

"Tidak akan kubiarkan!"

"Aw!"

Musuh sepertinya sama sekali tidak menunjukkan belas kasihan. Dia tidak membiarkan kami pergi.

Nata terkena cakaran menakutkan itu.

"Nata, kamu enggak kenapa-napa? Darahnya ...."

"Enggak papa kok, Kak Arga. Serius, deh!"

Aku ingin menegurnya keras. Bagaimana dia bisa bilang tidak apa-apa dalam kondisi seperti itu? Tangannya tergores cukup panjang dan dalam. Darah merembes ke luar cukup banyak.

Dari wajahnya, jelas dia menahan kesakitan.

"Jangan memaksakan diri!"

Namun, Nata masih berusaha tersenyum. "Serius, enggak papa. Nata ... Nata masih kuat."

Aku tahu dia kuat, sejak dulu. Kali ini aku tidak suka. Kemungkinan besar bahkan Nata juga terjangkiti virusnya.

"JANGAN GANGGU SERIGALA JELEK!"

Para Werewolf lebih menyebalkan dari pada kawanan serigala atau monster yang menyerang kami sebelumnya. Tidak hanya meninggalkan luka bahkan mereka selalu mengganggu tidak kenal waktu.

Aku memberi tembakan sedikit emosi.

"Ya ampun, jangan kabur dulu! Ayo lebih lama bersenang-senang dengan bawahanku."

Bawahan? Jadi, dia pemimpinnya? Apa dia yang disebut Alpha?

Apa yang harus kami lakukan? Selain Lola, kami berdua sudah terluka. Parahnya ketika aku mencoba mengintip ponsel, EXP-ku tinggal sedikit. Memaksa diri lebih jauh akan berbahaya. Kemungkinan karena terkena serangan, EXP kami menurun drastis.

Lalu bagaimana? Lola juga punya batas tersendiri. Dia masih berusaha bertempur sambil melindungi Gio yang sudah pingsan entah sejak kapan bahkan sihir airnya yang kupikir cukup keren, tidak memutus pergerakan mereka.

Apa ... apa yang harus aku lakukan?

"Tolong jatuhi hukuman!"

Aku bisa mendengar suara Michael bergema di kepalaku.

Hukuman ... hukumankah? Apa maksudnya dengan hukuman dan bagaimana cara melakukannya?

"Putuskan pengadilan! Jabarkan kejahatan yang mereka lakukan dan panggil namaku."

Putuskan pengadilan ... pengadilan ... dan jabarkan kejahatan ... seketika aku membayangkan seorang hakim yang menjatuhi keputusan bersalah atau tidaknya tersangka.

Ah, begitu.

Aku paham.

"Atas penata kehidupan, kuperintahkan kau! Jatuhkanlah hukuman pada mereka yang telah mengambil hak-hak, semena-mena, dan berlaku curang. Hancur! MICHAEL!"

Aku meneriakkannya dengan megah, mengalahkan auman para monster. Aku tidak begitu tahu apa yang baru saja aku katakan, itu spontan saja kusebut.

Rasanya aku mendengar sesuatu yang dipukul secara tak kasat mata.

"Sial! Itu malaikat Michael! Kamu ... jangan bilang kamu Pahlawan?"

Sekarang dia memperlihatkan wajah panik. Tidak seperti sebelumnya, sangat menikmati penderitaan kami.

"Kuperintahkan kalian untuk lari secepatnya dari sini!"

Terlambat!

Pengadilan telah dijatuhkan.

Ketika aku sudah memutuskan mereka salah, tidak ada pelarian.

Para monster yang membanggakan tubuhnya bahkan cakar yang melukai Nata perlahan hancur dengan sesuatu yang tak kasat mata.

Si Alpha menggeram marah.

Menyadari tak ada waktu menyeret kembali para bawahannya, dia ingin kabur sendiri.

Kabur?

Dia benar-benar kabur!

Apakah dia tidak terkena efeknya?

"Tuan masih terlalu lemah. Efek yang bisa diberikan masih kecil, belum cukup menjatuhkan salah satu Jenderal Iblis."

Ah, begitu.

Namun ....

Lihat pemandangan ini!

Mereka berteriak panik, mencoba melarikan diri, tetapi tubuh mereka terus terkikis seperti patung rapuh.

Tak perlu waktu lama, mereka hancur menjadi kepingan-kepingan tanah.

Inikah yang dinamakan serangan otomatis dari otoritas penjunjung keadilan didukung malaikat hukum?

Aku sedikit paham.

Mengapa Michael belum menyarankan karena yang kami lawan tadi adalah makhluk tak berakal. Tidak bisa menjatuhkan pengadilan pada makhluk-makhluk seperti itu dan berbeda dari Werewolf, mereka monster berakal. Bisa berpikir dengan tindakannya meskipun kuyakin karena perintah tuannya.

Karena itu, aku bisa menjatuhi pengadilan.

Tiba-tiba kami menghilang dari tempat itu.

***

"Ah, party Tuan Pahlawan Keadilan telah kembali!"

Padahal aku sudah bilang jangan memanggil dengan sebutan itu!

Selain itu ....

Kami kembali!

Seingatku setelah kami berhasil melenyapkan para Werewolf, aku merasa tubuh kami bersinar.

Tiba-tiba kami telah datang ke tempat semula.

Di tengah jalan raya di mana semua orang berkumpul.

"Itu teleportasi."

Eh? Iyakah? Apakah itu juga skill bawaanku? Keren!

Ah, aku benar-benar masih sangat minim dengan pemahaman tentang skill sendiri.

"Ya ampun, luka kalian cukup parah. Biar aku obati!" Gadis bersayap capung mendekati kami.

Cla–yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai Ratu Peri serta termasuk pahlawan yang mewakili Pahlawan Rendah hati terlihat seperti dokter. Dia membawa koper putih besar yang diisi banyak obat-obatan. Kubilang itu besar, tetapi kenyataannya itu sangat besar.

Ketika koper itu dibuka, koper itu melakukan transformasi. Saling membentuk hingga menjadi ruang darurat. Seakan-akan dia membawa puskemas pribadi.

Daripada pahlawan atau Ratu Peri, dia malah lebih terlihat seperti dokter.

Dia mengenakan gaun selutut berwarna putih yang dilapisi jas dokter yang lebih dalam melewati panjang gaunnya. Rambutnya tersanggul rapi dengan hiasan bunga-bunga. Kacamata yang bertengger di matanya memberi kesan kepintarannya. Belum lagi stetoskop yang bergelantungan di leher dan jarum suntik di tangan kanannya benar-benar menambah kesan kalau dia ini dokter.

Menyadari kedatangan kami, dia sigap memberi perawatan.

Ini agak aneh bagaimana ada puskemas darurat di tengah jalan. Tidak adakah tempat lain? Ah, bukan saatnya mengeluh!

Nata yang paling terluka dan Gio yang pingsan ditaruh di atas ranjang. Cla hanya memegang sebentar lalu dia langsung menyuntik tanpa mengatakan apapun. Eh, tahukah apa obat yang harus dia kasih?

"Yo, Lol. Baik-baik saja kamu?" Pria yang memakai pakaian aneh seperti jubah terbuat dari serat alam dan dililiti akar sekujur tubuh menyapa Lola.

Kupikir mereka benar-benar kenalan.

"Mana ada. Aku hampir pingsan juga tahu!"

"Hahaha ... kuat seperti biasa. Minum ini!" Cla memberinya sebuah botol. Aku tidak tahu apa itu. Sepertinya obat. Lola juga langsung meneguknya sekali tandas tanpa curiga.

Setelah meminumnya, kulihat Lola agak kembali segar.

"Aku enggak nyangka sih setelah lama hilang, tahu-tahu kamu malah bergabung dengan pahlawan lain."

Lola memutar bola matanya jenuh. "Pura-pura tidak tahu? Aku tidak yakin dewi itu membiarkan kalian tidak tahu."

"Pintar seperti biasa. Maaf, aku tidak bisa menyelamatkanmu."

"Enggak pa-pa. Aku sudah diselamatin Tuan Arga."

Karena Lola menyebut namaku, sekarang Rendy mengalihkan pandangannya ke arahku. Dia berjalan ke arahku sambil mengulurkan tangan kanannya.

"Arga, yah? Kita belum benar-benar kenal secara resmi. Aku Rendy."

"Arga." Aku membalas salamannya.

Namun, Rendy tidak langsung melepaskannya.

"Ah, kayaknya kamu udah punya pelindung, yah. Pelindung yang sangat kuat. Luar biasa! Hei, apa itu?"

Hah? Apa yang dia katakan? Pelindung? Pelindung apa? Aku tidak memiliki perlindungan apa pun.

Tidak tahu apa yang harus kurespons, aku menarik tanganku dengan paksa.

"Uhuk!"

"Darurat! Penyebaran virus 75 persen. Segera tangani!"

Sepertinya aku sudah hampir mencapai batas.

"Wah! Kamu kenapa diam saja dari tadi? Kalau tidak ditangani segera, kamu tahu kamu bisa mati?" Sepertinya dokter Cla tahu. Entah itu menebak atau memang itu kemampuannya, dia mengomeliku.

Dia langsung menusuk suntiknya tanpa peringatan. Sikap yang lumayan kasar! Belum lagi suntik itu kosong.

Eh? Kosong?

Lho?

Ah, ternyata dia menyedot darahku. Apakah dia perlu menganalisis lebih dulu kali ini? Ya, itu wajar saja.

Dia menyedotnya lumayan banyak hanya melalui jarum suntik. Bukankah ini bisa dibilang mirip transfusi darah?

Aku ingin bertanya, tetapi aku mengurungkan niat segera saat tiba-tiba Cla meminum darahku yang dikumpulkan ke sebuah botol.

"Eh? Kamu ... kamu minum?"

"Oh, itu butuh dianalisa lebih teliti."

Dianalisa melalui tubuhnya dengan cara meminum darah target? Itu ... apa yang harus kukatakan?

Kemudian kulihat dia mengambil jarum suntik baru yang juga kosong. Kali ini dia mengarahkan ke dirinya sendiri dan setelah tangkainya tertarik maksimal, sekarang itu kembali diarahkan padaku.

Eh? Jangan bilang dia menjadikan darahnya sebagai obat untuk disuntikkan padaku?

...

Itu benar-benar terjadi!

Aku ingin bertanya, tetapi aku tiba-tiba merasa kepalaku berkunang-kunang. Pandanganku pelan tapi pasti mulai mengabur dan pada akhirnya hanya gelap yang menghampiri.

*

TBC