webnovel

Teman Baru

Karena kami sudah menyelesaikan tantangan, kami bersantai di sini lebih dulu. Itu membuatku sadar kami tidak memiliki tempat kembali. Apakah kami butuh tidur? Tapi bukannya kami masih tidur? Ah, membingungkan.

Untuk beberapa jam ke depan, aku membiarkannya menangis begitu saja. Ya, tidak mungkin aku pergi dari wilayahku sendiri. Aku hanya membiarkannya menenangkan diri sendiri. Sebagai ganti, aku berbagi pendapat dengan Nata.

Kalau tidak salah, dia menyebutkan tentang make up. Apa itu? Aku bertanya pada Dewi.

"Itu salah satu item yang bisa kalian pakai sesuka hati. Tahu game yang biasa dimainkan anak-anak perempuan? Caranya ambil foto sendiri dan dandanilah semaunya. Kalian juga bisa ubah gender dari cewek ke cowok atau sebaliknya. Ini untuk menentukan ciri khas penampilan kalian. Setelah yakin, kalian klik tombol oke. Tapi sekali dikonfirmasi, itu tidak bisa dibatalkan."

Begitulah yang dikatakannya. Aku jadi tambah penasaran dan memutuskan mengecek sendiri.

Saat diklik, muncul berbagai macam pilih. Memang benar! Ini mirip permainan dandan-mendadani yang sering dimainkan anak-anak perempuan. Dulu aku punya adik dan dia dengan teman-temannya sering memainkan game itu. Adikku sudah meninggal sejak lama, jadi aku tidak menceritakan lebih lanjut.

Ada pilihan pakaian, riasan wajah, bahkan sampai aksesoris. Itu masih biasa. Tapi juga ada pengatur umur dan gender. Eh, apa anak kecil itu tadi menekan ini? Dia memang tidak seperti anak-anak biasanya sih dinilai dari cara bicaranya.

Itu sangat beragam. Dari yang biasa sampai yang nyentrik.

"Woah ... keren! Lihat, lihat Nata, Kak Arga!"

Aku mengalihkan pandanganku ke Nata hanya untuk menemukan penampilannya yang berubah drastis.

"Nata?"

"Itu untuk menentukan ciri khas masing-masing, 'kan? Jadi, Nata sudah putuskan. Gimana? Cantik, 'kan? Kak Arga juga lakuin juga!"

Nata memakai gaun hitam selutut, kaki jenjangnya dibiarkan terbuka, dan kakinya diselimuti sepatu pantofel berwarna serupa. Rambut sepunggungnya dibiarkan tergerai dan kaca mata dengan garis tepi hitam masih dikenakannya.

Dia benar-benar cantik.

Tidak!

Kapan pun Nata itu selalu cantik. Meskipun dia akan memakai pakaian lusuh sekalipun, itu tak akan mengurangi kecantikannya.

"Kak Arga?" Eh, sepertinya aku melamun. Aku sedikit terkejut wajah Nata mendadak dekat dengan wajahku. Sontak aku mengalihkan pandangan.

Jantungku ini langsung berdegup kencang. Sial! Bisakah aku mempertahankan ketenangan?

"Eum ... Nata, kan, selalu cantik."

"Kalau gitu, Kak Arga juga harus pilih sendiri!"

Aku tidak berpikir itu terlalu penting. Aku juga tidak tahu style apa yang cocok untuk orang yang biasa-biasa saja sepertiku. Disarankan untuk mengambil foto terlebih dahulu, tetapi tak melakukannya juga tak masalah. Jadi, aku melewati tahap itu.

Aku hanya memilih kemeja biru panjang bergaris-garis vertikal dengan lengan yang disisingkan sampai ke siku, celana jeans hitam yang tak begitu berbeda dari yang kupakai, aksesoris hanya sekadar jam tangan, dan bola mata kuganti berwarna biru. Setelah yakin, aku mengklik tombol oke dan perubahan secara bertahap terjadi padaku.

Ini benar-benar fantastis! Seperti seseorang tengah mengenakanku pakaian. Beberapa detik setelah aku selesai menggantikan penampilan, aku berkaca dari kamera depan. Sama seperti yang dipilih bahkan mataku benar-benar berubah.

Tentang pilihan mata ini murni hanya iseng. Kupikir tak apa sedikit menggantikan salah satu bagian tubuhku asalkan bukan umur atau gender seperti yang dilakukan anak kecil itu.

"Keren! Sangat cocok untuk calon pemimpin baru kita." Nata menatapku dengan senyum cerahnya. Ditatap seperti aku sedikit malu. "Btw, Kak Arga lebih baik istirahat atau tidur, deh. Pasti Kak Arga capek. Kan Kak Arga enggak punya skill kayak Nata."

Benar juga. Aku merasa lelah dan ingin tidur. Kalau kami tidur, bagaimana dengan kenyataan kalau kami saat ini memang tidur? Jawabannya adalah sama saja. Kami tidak akan terbangun di dunia nyata jika dewi tidak mengizinkannya. Itu yang dijawabnya ketika aku bertanya lagi.

Namun, kami tak punya rumah untuk bisa ditinggali. Untuk membeli NPC butuh poin yang besar, jadi sewajarnya kami mengumpulkan poin lebih dulu. Tapi ada perlu yang kutes.

"Tenda!"

Tepat ketika aku mengatakan ini, satu buah tenda yang masih tergulung rapi muncul di hadapan kami. Woah, keren! Jadi aku benar-benar bisa melakukannya? Hmm ... kukira skill ini lebih berguna dari keliatannya.

Memproduksi sesuatu langsung jadi itu tak bisa. Jadi, meskipun aku mengucapkan tenda, bukan tenda yang langsung berdiri dan bisa langsung dipakai yang muncul. Lebih tepatnya hanya bahan-bahan dan alat-alat untuk membuatnya saja.

Kain yang tidak aku ketahui jenisnya, tali, beberapa patokan dari besi yang dibentuk khusus, palu, dan dua buah tongkat.

Begitu, begitu, aku tak perlu menyebutkan semua benda satu persatu-satu. Cukup katakan apa yang ingin kubuat, bahan dan peralatannya akan dimunculkan. Ini jauh lebih praktis.

"Ayo kita bikin tenda dulu!"

"Siap!"

Aku dan Nata mulai membangun dua tenda. Tidak mungkin hanya satu karena kami berbeda jenis kelamin. Biar kukatakan! Aku tak berpikir melakukan hal yang 'tidak boleh' dilakukan, tetapi ini wajib.

Sebenarnya aku tidak begitu ahli. Hanya mengandalkan pengalaman sewaktu ikut pramuka membangun tenda bersama-sama. Agak ribet untuk dilakukan dua orang. Tapi ... mungkin tidak juga? Entah mengapa, tubuhku terasa ringan sekali.

Mula-mula kami mengikatkan tali ke empat sudut kain. Setelah terikat, kami kembali membentang kainnya. Kami mengambil kedua tongkat secara bersamaan lalu tancapkan dari depan dan belakang. Perlu untuk lanjut ke tahap berikutnya, tetapi jelas kami kekurangan anggota. Melepaskannya, tenda bisa roboh.

"Biar gue bantu sebagai ucapan terima kasih karena udah nolongin gue." Menoleh ke sumber suara, itu milik anak kecil tadi. Tangannya terulur ke depan. "Lepasin aja! Enggak bakal roboh."

Kami mengikuti perkataannya dan benar. Apa yang dilakukannya? Oh, mungkin dia punya skill yang berhubung dengan ... menahan benda? Entahlah, mungkin.

Jadi, kami bisa lanjut mengikat tali ke patokan-patokan yang sudah tertancap ke tanah.

"Yeay, akhirnya selesai juga!" Nata berseru semangat. Itu ... menggemaskan.

Tenda ini anggap saja sebagai rumah sementara sebelum kami bisa membangun yang lebih baik lagi. Benar, tidak perlu terburu-buru.

"Ayo kita istirahat, Kak Arga!"

Hmm ... hm ... aku sudah lelah. Aku ingin segera bisa berbaring di dalam, tetapi anak kecil itu kembali memanggilku lagi. Agak malas sebenarnya, tapi kuladeni.

"Gue harus masuk ke tenda mana?"

Hah? Apa yang dikatakannya? Dia perempuan kecil. Tentu saja ke tenda Nata. Kubilang seperti itu, tetapi dia malah menggelengkan kepalanya keras-keras. Aku tak paham.

"Nama gue Gio dan gue cowok. Tapi karena gue gak sengaja salah pake ikon Make-Up, jadi penampilan gue kayak gini. Kalian juga harus ingat ini. Gue lebih tua dari kalian."

Sekarang dia benar-benar memperkenalkan dirinya sendiri. Tapi ini agak lucu. Dari namanya, jelas dia cowok dan dia juga bilang lebih tua dari kami. Ya ... bagaimana, yah? Coba bayangkan saja ada seorang anak-anak yang umurnya sekitar sepuluh tahun bilang begitu pada orang yang lebih dewasa darinya? Paling akan dimaklumi karena masih kecil.

Namun, ini bukan dunia nyata. Dewi itu juga sudah memperingatkan sebelumnya kalau sekali sudah mengklik tombol konfirmasi, selamanya tak akan diubah. Jadi, sepertinya memang benar dia cowok dan lebih tua dari kami.

"Halo, halo, gue Nata."

"Arga."

"Hmm ... Nata, Arga, terima kasih sudah nyelamatin gue. Gue gak tau apa yang terjadi kalau kalian enggak ada." Sekarang sikapnya berubah lagi.

Nata tersenyum. "Enggak papa, kok. Penting untuk saling membantu. Selain itu gue jadi naik level."

"Oh, jadi lu benar-benar bisa ngalahinnya, yah? Keren. Tapi kalian saat itu juga level satu juga, 'kan? Sebenarnya gue gak punya harapan tinggi pas minta bantuan kalian."

"Benar! Gio juga baru datang ke sini, yah, kayak kami?"

Gio menghela napas. Seperti dia tampak kelelahan. Kupikir dia juga harus kembali beristirahat lagi?

"Gue gak tau kenapa bisa berakhir di sini. Gue lagi dicari guru sama murid kesayangannya eh malah tiba-tiba berakhir di sini."

Gio berbeda, yah, dari kami. Kami jelas ingat sebelum ini kami benar-benar tertidur makanya lebih cepat percaya perkataan Dewi dari yang lain. Namun, tidak semua orang seperti kami. Sepertinya kebanyakan banyak tak sadar mereka saat ini sedang tidur.

"Katanya kita tidur terus Dewi ngundang jiwa-jiwa kita."

"Ya, gue agak percaya sih. Tapi ya sudahlah. Keknya di sini seru juga. Cuma gue salah ambil challange aja. Btw, gue perlu tanya. Ini tempat apa?"

"Ini keknya hutan. Kak Arga bawain Gio ke sini soalnya gak mungkin ninggalin di tempat panas kek gitu."

"Oh, gitu. Thanks, yah."

"Hm."

"Eh, lu pada udah ngisi permintaan yang dibilang sama orang ngaku-ngaku dewi itu? Gue sih belum. Gak tau mau minta apa."

"Iya, Nata juga masih ada dua permintaan yang belum diisi."

"Bukannya kita harus istirahat?" Aku berusaha menyadarkan mereka. Sepertinya pembicaraan ini sudah menyimpang ke mana-mana. Apakah mereka mendadak tidak lelah lagi? Ah, Nata tidak akan lelah. Walaupun begitu, istirahat tetap diperlukan.

Keduanya baru sadar karena memasang ekspresi terkejut.

"Oh iya! Kita lanjutin besok aja."

"Oke. Kalau gitu, gue tidur sama lo." Gio langsung melangkah ke arah tenda yang akan kumasuki juga. Tapi aku buru-buru mencegatnya. Keputusan belum dibuat!

"Walaupun kamu bilang cowok, tapi fisikmu sekarang itu cewek, 'kan?"

Gio membelalakkan matanya. Apakah dia sekaget itu? Reaksinya lebai. "Eh? Tapi lu serius biarin gue tidur sama tuh cewek lo? Mau gimana pun gue ini cowok normal lho."

Dia salah paham! Nata bukan pacarku. Tapi melihat ke arah Nata, dia tampaknya tidak begitu mempermasalahkannya ... ? Hm, sepertinya dia tak peduli. Yang lebih penting adalah ... benar juga! Argh, ini membingungkan.

Setelah agak lama berdebat, akhirnya diputuskan kembali membuat tenda baru untuk Gio sendiri. Di antara dua pilihan, opsi ketiga yang harus kami pilih.

Cukup untuk hari ini. Kami akan pergi tidur walaupun sangat aneh tidur di dalam tidur!

*

TBC