Hari-hari telah berlalu, waktu demi waktu telah dilewati. Dua hari sebelum berangkat ke Jepang, Rachel pergi ke gramedia dan toko buku. Ia membeli beberapa perlengkapan alat tulis juga keperluan yang lainnya.
Ditengah perjalanan pulang, Rachel melihat seorang remaja laki-laki yang ia kenal sedang berada ditoko bunga. Sepertinya remaja itu sedang membeli dua buket bunga anyelir juga mawar putih.
"Beli bunga buat apaan dia? Banyak banget." pikir Rachel heran. "Gue ikutin ah." ucapnya lalu bergegas pergi mengikuti motor gede yang dikendarai oleh laki-laki tersebut.
Selang beberapa menit, motor itu terparkir didepan sebuah pemakaman umum. Saking penasarannya, Rachel memarkirkan mobil miliknya dari kejauhan supaya tidak diketahui laki-laki itu. Ia pun langsung turun dan berjalan mengendap-endap mengikuti kemana laki-laki itu pergi.
Dari jarak yang lumayan dekat, Rachel mengintip dari balik pohon beringin yang besar. Ia penasaran, makam siapa yang dikunjungi laki-laki tersebut sampai membawa dua buket bunga.
Sadar akan adanya seseorang yang mengikutinya, laki-laki itupun segera menghilang dari awasan Rachel.
"Loh, pergi kemana dia ? Kok tiba-tiba hilang ?" ucapnya heran seraya mengarahkan matanya keseluruh area pemakaman. Namun ia kehilangan jejaknya. "Aneh! Kok ada orang ? Tapi, makam siapa yang dia kunjungi ?" Rachel pun mencoba menghilangkan rasa penasarannya dengan melihat dua makam yang barusan dikunjungi orang itu.
"Wil-liam Pra-ta-ma." Eja Rachel membaca satu nama yang tertulis dibatu nisan. Seketika Rachel membulatkan matanya. "Apa ini makamnya om Willi?" gumamnya dalam hati. "Wafat, Agustus 2015." ucapnya membaca kembali tulisan dibatu nisan tersebut.
"Benar! Ini makamnya om Willi." ujar Rachel yakin. "Dan ini adalah bunga anyelir yang dibeli dia tadi ditoko bunga." Lalu Rachel melirik kemakam lain disekitar makam om Willi. Dia terlihat seperti mencari cari sesuatu.
"Mawar putih ? Itu dia." Dengan segera ia menghampiri makam yang tidak jauh dari makam om Willi. Kemudian menggeser sedikit demi sedikit bunga mawar itu yang menutupi tulisan dibatu nisan tersebut. Tetapi ia membacanya dari nama belakang terlebih dahulu. "William ?" ucapnya sedikit terkejut.
Dalam batin Rachel ragu untuk melihat nama depan yang tertulis dinisan itu. Dirinya takut jika tulisan itu benar-benar nama orang yang selama ini ia cari. Sesaat jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, kakinya bergetar hebat. Rachel sama sekali tak kuasa menahan dirinya yang memang belum sepenuhnya percaya terhadap kepergian seorang yang berarti baginya.
"What are you doing here ?" tanya seseorang tiba-tiba mengagetkan Rachel. Dengan cepat Rachel membaca kembali sambungan tulisan tersebut dan mengabaikan orang itu. "Elo ngikutin gue ?"
Seketika Rachel terjatuh terduduk, perasaannya hancur saat membaca tulisan itu. Dadanya sesak, hatinya sakit seperti dihantam sesuatu. Ia pun tak sanggup menahan air matanya.
Heran dengan apa yang tengah dilakukan Rachel, laki-laki itu segera menghampiri Rachel. "Ada apa dengan dia ? Bukannya itu makam Josen ? Kenapa dia menangis ?" pikiran orang itu pun mulai dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Parsel, elo kenapa?" tanyanya kebingungan. Tangis Rachel pun pecah dan mulai bingung harus berkata apa. "Apa karena makam Josen ?" pikirnya.
"Berapa tahun gue cari elo, kak ? Berapa tahun juga gue selalu menunggu. Berharap elo baik-baik aja, dan bakalan datang temui gue lagi dalam keadaan apapun." ucap Rachel dengan derai air matanya.
Baru pertama kalinya, laki-laki tersebut melihat Rachel seperti itu. Tak tega dengan Rachel, laki-laki itu pun memeluknya untuk menenangkan. Meskipun sebenarnya tak mengerti, apa yang terjadi. "Apa selama ini..." orang itu pun sedikit berpikir namun ragu bertanya. "Elo cari Josen ?" tanyanya seraya melepas sedikit pelukannya lalu menatap wajah Rachel.
Rachel pun menyeka air matanya, kemudian menatap balik wajah orang tersebut dengan sangat tajam. "APA SEBENARNYA YANG ELO RENCANAKAN ?" tanya balik Rachel penuh emosi.
"Maksud elo ?"
"Gue minta sama elo, jawab dengan jujur." tekan Rachel. "Apa elo, anak kandung om William ?" pertanyaan Rachel membuat laki-laki itu tertunduk pasrah. "AYOK JAWAB ?"
***
Rachel berlari meninggalkan laki-laki tersebut. Wajahnya terlihat begitu penuh dengan emosi. Ia masuk ke dalam mobil miliknya dan segera menancap gas.
Setibanya dirumah, Rachel bergegas naik kelantai atas dengan setengah berlari menaiki anak tangga setelah mengucap salam. Ia pun mengabaikan orang-orang yang berada diruang keluarga tanpa ingin bertatapan dengan siapapun.
"Kenapa tuh bocah ?" tanya Rafi heran.
"Sepertinya dia menangis." timpal Laura. Tanpa basa basi, Rafa langsung menyusul Rachel.
**Kamar Rachel**
Saat masuk kamar, Rachel membanting pintu dan menguncinya. Ia terduduk dibelakang pintu dan mulai menangis kembali. Mungkin saat ini, hatinya benar-benar hancur.
Waktu menunjukkan pukul 2 siang. Rachel duduk memeluk kedua lututnya lalu menenggelamkan wajahnya. Ia tak tahu harus menggekspresikan seperti apa wajahnya. Perasaan emosi dan sedih serta sakit hati bercampur jadi satu. Tetapi ada rasa senang karena semua sudah terungkap.
Tok Tok Tok !!!
"Rachel!" panggil Rafa, namun tak ada sahutan. "Chel! Buka pintunya, Chel." titahnya. Rafa pun kembali mengetuk seraya mencoba membuka pintunya. Tapi Rachel tak lekas membukanya. "Chel, elo kenapa Chel ? Rachel!"
Taluk dengan sifat Rachel yang seperti itu, akhirnya Rafa menyerah. Dia kembali turun kelantai bawah dan membiarkan Rachel menenangkan dirinya sendiri. Sedangkan Rachel menangis pilu didalam kamar.
**Flashback On**
"APA SEBENARNYA YANG ELO RENCANAKAN ?"
"Maksud elo ?"
"Gue minta sama elo, jawab dengan jujur." tekan Rachel. "Apa elo, anak kandung om William ?" pertanyaan Rachel membuat laki-laki itu tertunduk pasrah. "AYOK JAWAB ?"
"Ya, gue putra kedua dari keluarga William." jawabnya jujur. Lalu Rachel memperlihatkan sesuatu diponselnya pada laki-laki itu.
"Apa elo kenal cowok ini ?" tunjuk Rachel.
"Ya, gue kenal." jawabnya pelan. "Dia saudara gue."
"Jadi, makam ini ?
"Ya, makam ini memang makam orang yang ada difoto elo. Josen William, putra pertama dari keluarga William." jelasnya.
Rachel pun kembali menangis. Ternyata ia memang benar-benar telah kehilangan orang yang selama ini ia cari. Pupus sudah harapannya untuk bisa bertemu lagi.
"Apa tujuan sebenarnya elo balik ke Indonesia ?" tanya Rachel semakin penasaran dan yakin kalau orang itu memiliki tujuan tertentu.
"Tidak! Ini bukan waktu yang tepat." pikir laki-laki itu dalam hati dan terdiam sejenak. "Jawab gue, Es kutub!" pekik Rachel tak sabaran.
"Gu-gue, gue gak punya tujuan lain selain hanya ingin sekolah di Indo." jawabnya.
"BOHONG !" timpal Rachel cepat.
"No! Gue gak bohong." ucapnya kekeuh.
"Terus, ini apa ?" kemudian Rachel memutar sebuah rekaman suara diponselnya. "Gue gagal jagain Rachel buat elo, kak." sontak dia terkejut dengan rekaman itu.
Laki-laki tersebut pun yang tak lain ialah Jason tak tahu harus berkata apalagi. Dia tak habis pikir, jika Rachel mempunyai rekaman suara dirinya saat dirumah sakit. "Da-da-dapat, dapat dari mana rekaman itu ?" tanyanya penasaran.
"Gue sengaja jebak lo, waktu dirumah sakit." jawab Rachel apa adanya. "Dari awal bertemu, elo sudah tahu gue bukan ? Elo juga sekongkol dengan Daniel." tambahnya membuat Jason lebih terkejut lagi. Ternyata Rachel lebih cerdas dari yang ia duga.
"Oke! Gue jujur. Apa yang elo katakan barusan itu benar. Semua itu benar. Gue memang sudah tahu elo sejak awal." ujar Jason terpaksa bilang yang sebenarnya.
"Tega elo sama gue. Elo sembunyiin identitas elo biar apa ?" pekik Rachel. "Biar apa Es kutub, hah biar apa ?"
"Gue punya alasannya Chel. Tapi..."
"Tapi apa ?"
"Gue gak bisa cerita sekarang."
"Halah bulshit elo! Gue benci sama elo!"
**Flashback Off**
Rachel terdiam merenungi segalanya. Ia memikirkan kembali tentang tujuan Jason yang belum dirinya ketahui. Namun bukan soal Jason yang Rachel tangisi. Tetapi kebenaran yang terungkap mengenai Josen.
Saat ini dirinya benar-benar sudah tidak bisa berharap lagi. Semua telah sirna. Kini Rachel hanya bisa mengenang tentang nya, tentang segalanya.
"Ell, kamu cantik." Terlintas bayang-bayang Josen dibenaknya. Wajahnya yang tampan dengan senyuman tipis dibibirnya selalu melekat dalam ingatan Rachel. "Kamu gemesin, kalau cemberut Ell." Panggilan itu selalu terngiang-ngiang dipikirannya.
"Apa yang harus gue lakukan ?" ucapnya seraya berpikir. "Apa ini saat nya gue untuk mengikhlaskan nya ? Apa gue benar-benar harus merelakannya ?"
***
Disisi lain, Rafa dan yang lainnya tengah dilanda kebingungan, tak mengerti dengan apa yang terjadi pada Rachel. Padahal sebelum pergi keluar, Rachel terlihat sangat ceria seperti biasanya.
"Heh Flora! Harusnya elo tadi ngikut aja kenapa ?" ucap Rafi sedikit meninggi.
"Lah, napa jadi nyalahin gue ?" timpal Laura tak terima.
"Ya tadi kan si Rachel ajak elo pergi."
"Ck! Bukannya elo juga tadi pengen ikut ?"
"Itu sebelum gue tahu dia mau pergi kemana."
BUGGGHHH !!!
Tiba-tiba satu bantal melayang tepat mengenai wajah Rafi. "Berisik elo pada!" ketus Rio. "Tunggu saja sampai dia bicara. Ngapa jadi kalian yang ribut sih ?"
★★★★★