Untuk menghindari masalah yang lebih besar lagi, Rafa harus mengawasi Melani. Sebab, bisa saja para wartawan itu mengejar Melani untuk mendapatkan informasi mengenai foto yang tersebar didunia maya.
Rafa juga harus meyakinkan Melani untuk tidak berurusan dengan wartawan ataupun awak media lainnya.
"Apa yang terjadi?" tanya Melani saat berada didalam mobil bersama Rafa.
"Nothing." jawabnya. "Tapi gue mohon sama elo. Untuk tidak berurusan dengan semua wartawan atau yang lainnya." pinta Rafa. "Itu pun kalau elo masih ingin selamat."
"Selamat? Maksud elo?"
"Elo turutin aja permintaan gue."
"Okeh! Tapi apa imbalannya?"
"Terserah elo maunya apa?"
"Kalau begitu, gue turutin permintaan elo."
Tak lama dari itu, Rafa memberhentikan mobilnya didepan sebuah kafe yang tak jauh dari sekolahannya. Lalu menunggu Shandy dan yang lainnya sampai dikafe.
"Hufh! Gila! Benar-benar gila!" ucap Shandy saat tiba dikafe seraya menghela nafas panjang.
"Gimana? Enak gak jadi gue?" tanya Rafi angkuh.
"Gak! Gue gak mau jadi kalian. Hufh!" jawab cepat Ripan dengan nafas ngos-ngosan.
"Tajir sih tajir, tapi kalau gini caranya ogah gue jadi elo pada." tambah Benny yang membuat Rafi dan Rio tertawa sambil masuk ke dalam kafe.
"Yok, masuk!" ajak Rafi. Lalu memesan beberapa minuman dan camilan setelah mendapatkan tempat duduk.
Rafa pun mengucap terima kasih pada Shandy, Ripan dan Benny karena sudah membantunya. "Thanks bro!"
"Santai aja kawan." ucap Benny. "Oh iya, gue barusan bawa motor punya siapa?" tanyanya penasaran. "Motor kalian kan sama."
"Elo bawa punya gue." sahut Rio.
"Gue kira punya Rafa." timpah Benny. "Bagaimana cara kalian membedakannya?" tanyanya lagi penasaran.
"Lihat aja ujung plat nomornya." sarkas Rafi. "Ada inisial nama kita tiap-tiap plat nomor."
"Wih, keren dong!"
Mereka pun saling ngobrol sambil bermain game. Sementara Melani, ia sedang melamun memikirkan sesuatu. "Sebenarnya, siapa yang jadi incaran para wartawan tadi?" pikirnya. "Kalaupun Rafa, memangnya dia siapa? Kenapa wartawan sampai ingin meliputnya?"
"Mel! Melani!" panggil Shandy. "Bengong aja elo, lagi mikirin apaan sih?" tanyanya.
"Eh, sorry! Gak kok, gak mikirin apa-apa." jawabnya. "Oh iya, Laura mana? Biasanya kan pulang bareng Rafi."
"Dia pulang bareng Nadin." tukas Ripan.
"Oh gitu."
***
Waktu pun berlalu begitu saja. Hari mulai gelap. Suasana dirumah sultan tidak ramai seperti biasanya. Sebab, sebagian anggota keluarganya sedang mendapat pekerjaan diluar kota seperti Andrian yang sebagai Panglima TNI harus bertugas dikota Malang. Begitu juga Andrea yang sedang ada proyek besar diKalimantan. Ditambah Rachel yang sudah dua bulan berada dinegeri orang. Rumah sangatlah sepi.
Hari demi hari telah dilewati. Permainan Rafa semakin seru. Melani kini sama-sama menjadi populer seperti Rafa. Dia pun semakin dekat dengannya, bahkan mereka sudah digosipkan berpacaran.
Namun niat hati ingin menyingkirkan Laura masih tersimpan dibenaknya. Karena dia masih yakin kalau sebenarnya Laura bukanlah Laura, tetapi Lara. Ada sesuatu yang meyakinkannya dan dia pun berusaha menyelidiki kembali.
Laura semakin terasingkan dimata Rafa. Meskipun sesekali mereka saling menyapa. Laura juga tidak bisa lama-lama menyembunyikan rahasia terbesarnya. Semakin lama ia merasa semakin bersalah. Karena secara tidak sengaja dirinya pernah dipergoki oleh Melani sedang berbicara dengan seseorang ditelpon.
Dan itu membuatnya semakin khawatir, Laura tidak ingin jika rahasianya dibongkar secara paksa oleh orang lain.
"Apa gue jujur aja sekarang?" pikirnya. "Tetapi, gue harus mulai dari mana? Gue tahu gue salah, tapi gue belum cukup berani untuk melakukannya." Laura sendiri kebingungan. Ia terus bergulat dengan semua pertanyaan yang muncul diotaknya, terlebih dengan rasa keraguan dihatinya.
Angin yang berhembus membuat rambut Laura tergerai. Tidak begitu kencang, namun mampu membuat kepala sedikit dingin. Udara di rooftop pagi itu lumayan sejuk. Laura terduduk diujung atap dengan kaki dibiarkan menggantung.
"Gue cariin, ternyata disini." ucap seseorang membuyarkan lamunan Laura.
"Rafi?"
"Elo ngapain duduk disitu? Kalau terjatuh bagaimana?" Tanpa menjawab, Laura pun beranjak berdiri. Lalu menghampiri Rafa.
***
Suasana dikelas MIPA Elit sangat heboh. Nadin memberi pengumuman bahwa para guru akan mengadakan festival ulang tahun sekolah sabtu esok. Pihak sekolah mengundang seluruh wali murid untuk memeriahkan acara.
"Waahhh! Bakalan seru nih!" ucap Desi girang. "Kita harus bikin pameran ciri khas anak IPA." sarannya.
"Ide bagus tuh." timpah Shandy.
"Bukannya kalau ada acara seperti ini, kita harus bikin proposal terlebih dahulu?" tanya Melani.
"For what, watermelon?" tanya balik Ripan.
"Ya kan untuk acara seperti ini perlu dana yang besar." ujarnya.
"Melani-Melani! Semua dana sudah ada yang tanggung." kata Shandy. "Kita gak perlu nyumbang, tapi kalau mau ya silahkan. Itu lebih baik."
"Oh, memangnya siapa yang tanggung?" tanyanya lagi penasaran.
"Itu privasi sekolah goblok!"
"Kalau begitu, gue yang bakal jadi donatur terbesar disekolah ini." ujarnya sombong.
"WHAT!?" ucap serempak semua murid yang ada dikelas.
"Heh, cocomelon! Memangnya elo sekaya apa sih?" tanya Nadin penasaran.
"Lihat aja nanti!" jawabnya meremehkan.
"Apa elo tahu, Sultan Winata? Atau enggak, Regar Family?" tanya Nadin lagi mencoba mengecoh. Melani pun menggeleng pelan.
"No! I don't know."
"Elo sebenarnya tinggal dimana? Pelosok? Atau kebon? Gak punya tv elo dirumah?" tanya Benny menuntut. "Masa iya gak tahu mereka."
"Sultan Winata itu, orang terkaya nomor satu di Indonesia." tukas Hesti. "Dan Regar Family adalah orang terkaya nomor dua se Indonesia juga."
"So, kekayaan elo gak mungkin melebihi mereka." kata Desi sedikit menghina.
"Memangnya hubungan mereka apa dengan sekolah?" tanya Melani kesal.
"Karena putra Siregar juga putra Winata, mereka bersekolah disini." jawab Nadin membuat Melani tersentak kaget dan membelalakkan matanya. "Putra Siregar berada dikelas XI.IPS 1. Namanya Leonardo Siregar."
Rafa yang mendengar perbincangan mereka hanya tersenyum kecut seraya memainkan game diponselnya agar terlihat seolah-olah tak mendengarkannya. "Bagus! Dia sudah masuk perangkap gue." gumamnya dalam hati.
Melani pun sedikit menciut, karena mungkin dirinya tidak bisa dibandingkan dengan orang yang mempunyai gelar Crazy Rich. Namun dirinya juga tidak bisa tinggal diam, dia akan tetap menyumbang untuk acara sekolah.
Kemudian Melani mencoba menghubungi orang tuanya, dan membicarakan perihal acara disekolahnya.
***
Festival pun dimulai, acara nya sangat meriah. Para tamu undangan beserta wali murid sangat puas dengan acara yang diselenggarakan sekolah.
Mengenai masalah donatur, Melani berhasil menjadi orang kedua yang menyumbang paling besar untuk acara tersebut. Dengan sangat sombong, ia juga telah mendaftarkan keluarganya untuk menjadi seorang donatur disekolahnya.
Lagi-lagi Melani menjadi trending topik nomor satu disekolah. Dan berkat acara ini, semua murid kelas MIPA Elit bisa bertemu langsung dengan ibunya Melani yang dikata pengusaha.
"Mohon diterima pak Surya." ucap ibu Melani seraya menyodorkan sebuah tas paperbag yang entah apa isinya. "Ini hadiah kecil untuk para guru disekolah ini." sambungnya.
Pak Surya pun heran dan bingung. Beliau tak tahu harus menolak atau menerima hadiah tersebut. Sebab dirinya diawasi oleh Retno yang kebetulan hadir diacara festival itu.
"Menolak rezeki itu tidak baik, pak Surya." ujar Retno. "Ambil dan terima hadiahnya. Jarang-jarang wali murid kasih hadiah untuk para guru disini."
"Ba-baik, saya terima hadiahnya." Pak Surya pun mengambil paper bag tersebut. "Terima kasih bu Michele." ucapnya.
"Oh iya, Anda siapa ?" tanya Retno penasaran. " Sepertinya saya baru lihat."
"Saya Michele, ibunya Melani." jawabnya. "Kebetulan anak saya baru pindah kesini dua bulan yang lalu." ungkapnya.
"Senang bertemu dengan Anda. Saya Retno." Mereka berdua pun saling berjabat tangan.
Michele merasa bingung terhadap Retno. Penampilannya yang sederhana namun terlihat berkelas membuat ibu dari si anak baru itu sedikit penasaran. "Maaf, bu Retno ini orang tuanya siapa?" tanyanya sok ramah.
"Maaf bu Michele! Sebaiknya ibu segera masuk keruangan VIP Class. Acara sudah mau dimulai." perintah Pak Surya yang mengerti sesuatu.
"Oh! Baik, kalau begitu saya pamit."
★★★★★