"Saham kita mengalami peningkatan sejak kita meluncurkan produk baru kita tuan, jika penjualan produk kita meningkat sesuai target pasar maka bisa dipastikan harga saham kita akan stabil atau bahkan bisa lebih meningkat lagi." jelas pak Bram, yang memimpin presentasi rapat hari ini.
Vino duduk termenung, ia tidak begitu fokus mendengarkan penjelasan dari pak Bram. Ia terus saja terpikir mengenai Andini, wanita itu begitu berani padanya seakan lupa bahwa Vino adalah pemilik dari sekolah tempat ia mengajar saat ini. Disisi lain dirinya terus merasa terusik dengan hubungan Andini dan putranya Gibran. Hal ini terlihat jelas dari bagaimana Andini mencoba melindungi Gibran dari kemarahannya saat itu.
"Tuan." panggil pak Bram, ia menangkap ketidakfokusan Vino dalam rapat hari ini.
"Ahh iya, Pak Bram saya akan percayakan semua mengenai produk terbaru kita kepada Bapak saja. Lalu bagaimana jika kita sudahi saja meeting hari ini?" tanya Vino.
Semua orang didalam ruangan saling memandang heran, tidak biasanya Vino meminta menyudahi rapat seperti saat ini. Biasanya ia justru yang paling getol menuntaskan semua pembahasan didalam rapat. Tapi kemudian pak Bram mengangguk dan akhirnya menutup rapat hari ini.
Dengan cepat Vino bergegas masuk kedalam ruangannya, ia kini meminta sekretarisnya Tirta untuk mencari tau latar belakang Andini.
"Berikan informasi detail mengenai wanita itu." perintahnya.
Vino tersenyum simpul, bayangan Andini yang menatapnya dengan berani saat itu benar-benar menarik perhatiannya. Selama ini semua wanita akan bersikap sopan dan ramah kepadanya, berbeda dengan Andini yang terkesan kurang bersahabat kepadanya bahkan di kali pertama pertemuan mereka.
"Bagaimana Gibran hari ini? Apa dia berulah lagi?" tanya Vino pada Tirta sekretarisnya. Tirta terlihat ragu untuk mengatakannya, namun keraguan yang tergambar diwajahnya bisa dengan mudah terlihat oleh Vino.
"Katakan saja, aku tidak begitu kaget jika mendengar dia berulah lagi." Perintah Vino.
"Tuan muda sepertinya terlibat perkelahian kemarin tuan." ucap Tirta.
Vino menghela napas dalam, ia lalu memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit.
"Dengan siapa lagi anak itu berkelahi?"
"Tuan muda Gibran terlibat perkelahian dengan siswa lain yang bernama Daren, anehnya dia terlibat perkelahian karena membela guru baru yang diusik oleh anak bernama Daren tersebut."
Mendengar kalimat yang menyebut guru baru membuat mata Vino yang semula terpejam sontak terbuka lebar, ia langsung menatap sekretarisnya dengan ekspresi penasaran.
"Guru baru katamu? Siapa?" tanya Vino, wajahnya seolah tidak senang mendengar informasi yang dibawakan oleh Tirta.
"Namanya Andini tuan, sepertinya wanita itu adalah wanita yang sama dengan yang tuan perintahkan untuk saya cari tahu latar belakangnya." Jelas Tirta.
Vino mengernyitkan dahinya, ia cukup terkejut mendengar ucapan Tirta. Hal yang lebih mengejutkan baginya saat mengetahui kejadian selanjutnya.
"Sejujurnya saya juga mendengar kabar bahwa wanita itu sempat mengalami kecelakaan dan tuan muda memberinya perawatan istimewa dirumah sakit milik keluarga Darendra."
Ucapan Tirta semakin membuat Vino yakin bahwa ada sesuatu diantara Andini dan Gibran, rasa penasaran membuat hatinya gusar. Dengan cepat Vino bangkit dari duduknya.
"Kita kerumah sakit sekarang."
***
Andini terlihat kesal, Dihadapannya sudah berdiri dua pria yang sangat dibencinya. Dimas dan Gibran, Gibran terlihat duduk manis disofa sementara Dimas sibuk membaca hasil pemeriksaan.
"Syukurlah tidak ada luka yang serius, bengkak di kakimu hanya karena terbentur dan terkilir saja. Lalu tidak ada cedera apapun di bagian kepala." ucap Dimas memberi penjelasan. Sesekali ia melirik tajam ke arah Gibran.
"Kalau begitu aku sudah bisa pulang bukan?" tanya Andini.
"Sepertinya sud.." belum sempat Dimas melanjutkan ucapannya, Gibran sudah lebih dulu memotong.
"Tidak, tidak, bukankah kakimu masih bengkak? Sebaiknya kau dirawat saja dulu." seru Gibran.
Andini mendengus sebal.
"Bisakah kali ini kau diam saja?!" Bentak Andini. Gibran hanya acuh mendengar bentakan Andini, tapi kemudian Andini kembali melanjutkan ucapannya. "Dan bukankah seharusnya kau masuk sekolah hari ini?" Andini langsung menyudutkan Gibran dengan pertanyaan tersebut.
"Aku memang berniat masuk sekolah hari ini, tapi setelah kupikir-pikir sekolah bisa besok tapi bukankah sebaiknya aku menemani guruku yang sedang sakit dan terluka disini?" ucap Gibran dengan begitu santai, seolah tanpa beban mengucapkan semua yang ada dipikirkannya.
Andini tampak syok mendengar ucapan Gibran, sementara Dimas sama kagetnya.
"Dia akan baik-baik saja bahkan jika kau tidak ada disini. Keamanan dirumah sakit ini juga sangat baik, tidak akan ada penjahat yang masuk keruang VVIP seperti ini, jadi kau tidak perlu menemani Andini sampai seharian penuh." ucap Dimas yang kesal dengan tingkah Gibran. "Bukankah seharusnya tuan muda pemilik rumah sakit ini lebih tau seberapa baik keamanan rumah sakit ini?" imbuhnya.
Mendengar ucapan Dimas membuat Gibran geram, dia sangat membenci pria ini bahkan sejak pertama mereka bertemu.
"Tetap saja, aku akan tetap disini menemaninya." sahut Gibran berkeras, sifat kekanak-kanakannya membuat kepala Andini kini terasa sakit.
"Kenapa kau selalu membantah Andini? bukankah dia gurumu?" Dimas terlihat tidak bisa menahan emosinya, baginya Gibran adalah anak kecil yang sangat tidak sopan. Gibran menatap dingin ke arah Dimas, ia kemudian bangkit dan mendekati Dimas.
Perbandingan tubuh Gibran yang sedikit lebih tinggi dari tubuh Dimas membuat mereka tampak seumuran saat berdiri berdampingan. Gibran tidak terlihat seperti anak SMA sama sekali, tapi ia justru terlihat seperti pria dewasa saat ini karena tidak mengenakan seragam sekolah
"Sejak kemarin aku penasaran, sebenarnya siapa dokter ini? Jika kau hanya teman Andini, sepertinya perlakuanmu terlalu berlebihan untuk ukuran teman." Gibran terlihat tidak takut sedikitpun, sama halnya dengan Dimas yang juga terlihat menahan tangannya yang sejak lama ingin memukul wajah tengil Gibran.
"Teman? Apa kau pikir hubungan kami sesederhana itu? Seandainya kau tau kalau Aku itu.."
"Stop!" Seru Andini sebelum Dimas melanjutkan ucapannya, ia tidak ingin Dimas mengatakan bahwa dia adalah mantan suaminya. Dengan cepat Andini menatap tajam ke arah Dimas, seolah memberi kode bahwa dia tidak ingin orang-orang tau siapa Dimas sebenarnya.
"Bisakah kalian berhenti? Ini adalah ruangan pasien dan akulah pasiennya. Sebagai pasien aku cukup merasa terganggu dengan keberadaan kalian berdua. Sebaiknya kalian keluar sekarang juga." Perintah Andini, kali ini kemarahan tergambar jelas diwajahnya.
"Kau tidak bermaksud mengusirku juga kan? Aku bahkan sudah menyiapkan ruangan senyaman ini untukmu." ucap Gibran dengan ekspresi bangganya.
"Hoho, tentu saja tidak." jawab Andini dengan senyuman diwajahnya. Gibran tersenyum puas ditambah tatapan mengejek ke arah Dimas.
"Tidak salah lagi kau juga harus keluar bersama dengan dokter ini." seketika senyum diwajah Andini lenyap, ekspresinya sontak berganti datar dan dingin. Dimas yang mendengar ucapan Andini langsung tersenyum miring, diliriknya wajah Gibran yang terlihat kesal.
"Apa? kenapa aku juga harus ikut keluar?" protes Gibran.
"Benar yang dikatakan Andini, sebaiknya kau keluar bersamaku." celetuk Dimas dan langsung mendorong Gibran untuk keluar.
"Kau tidak tau siapa aku? Seenaknya mendorongku seperti itu!" bentak Gibran.
"Ya yaaaa. Aku tau kau adalah tuan muda pemilik rumah sakit ini, tapi tetap saja pasien ingin kau ikut keluar bersamaku." jawab Dimas tidak ingin mengalah.
"Sebaiknya kau keluar Gibran, jangan membuat keributan meskipun ini rumah sakit milik keluargamu." kata Andini pelan, sembari di pijitnya kepalanya yang semakin terasa sakit.
Ditengah keributan tersebut, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Mereka kompak berbalik dan menatap ke arah pintu untuk melihat siapa yang datang. Saat sosok dibalik pintu masuk, seketika Andini dan Dimas terlihat begitu kaget, sementara Gibran mulai menunjukan ekspresi tidak percaya dengan keberadaan sosok yang ada Dihadapannya saat ini.
"Gibran? Sedang apa kau disini?" tanya Vino dengan raut wajah kaget. Sementara Gibran sama kagetnya.
"Ayah sendiri sedang apa disini? Aahh, apa ayah salah masuk kamar?" sindir Gibran, mengingat ibunya juga dirawat dirumah sakit ini.
Seolah mengabaikan pertanyaan putranya, Vino justru bertanya hal lain. "Bukankah ini jam sekolah?" tanya Vino, tampak Tirta berdiri dibelakang Vino.
Detik itu juga Gibran menepis tangan Dimas yang tadi mendorongnya untuk keluar dari ruangan ini, wajah Gibran benar-benar terlihat tidak ramah kepada ayahnya. Ia lalu berbalik melihat ke arah Andini yang masih terlihat tidak percaya dengan keberadaan Vino dihadapan mereka. Gibran melirik jam di pergelangan tangannya, ia lalu tersenyum miring bahkan terkesan mengejek.
"Bukan kah ini masih jam kantor? Apa ayah tidak punya banyak pekerjaan hari ini?" Gibran membalikan pertanyaan kepada Vino, wajah Vino terlihat menahan kekesalannya pada Gibran namun ia berusah untuk bersikap tenang karena keberadaan Andini dan Dimas.
"Ayah? Berarti orang ini?" Batin Dimas menebak-nebak.
"Aku hanya kebetulan singgah dan mendengar bahwa kau memberikan ruangan vvip kepada seseorang. Makanya aku datang kesini untuk melihat siapa yang kau berikan kamar ini Gibran." jelas Vino beralasan, Gibran mengernyitkan dahinya seolah ragu dengan jawaban ayahnya sendiri.
"Aku yakin dia sudah tau siapa yang dirawat diruangan ini." Pikir Gibran.
Kali ini Vino menatap ke arah Dimas, dengan sigap Dimas memberi hormat kepada Vino. Meski ia belum pernah bertemu dengan pemilik rumah sakit ini sebelumnya. Vino terlihat tersenyum kecil kearah Dimas.
"Aku kaget mengetahui bahwa bu Andini yang mengalami kecelakaan, seandainya aku tau sejak awal tentu aku akan datang lebih cepat untuk melihat kondisi bu Andini." nada suara Vino terdengar begitu pelan dan sopan. Dimas memperhatikan sikap Vino, ia jelas bertanya dalam hati ada hubungan apa antara Andini dengan pemilik rumah sakit ini. Rasanya belum ada jawaban atas pertanyaan bagaimana bisa Andini mengenal dekat Gibran, dan sekarang Andini juga sepertinya cukup dikenal oleh ayah Gibran.
"Saya hanya mengalami kecelakaan ringan saja, sejujurnya ruangan ini terlalu berlebihan untuk saya, tapi seseorang dengan keras kepala justru memaksa saya untuk dirawat didalam ruangan ini." Andini melirik tajam ke arah Gibran, di sisi lain ia tampak tidak nyaman dengan keberadaan Vino. Gibran pun sama halnya, ia terlihat tidak senang dengan sikap ayahnya yang terkesan berbeda dari biasanya. Sosok ayahnya yang dingin kini bahkan terlihat begitu ramah kepada Andini.
"Sepertinya ayah punya banyak waktu luang, bagaimana jika sesekali menjenguk dia, ayah bahkan hampir tidak pernah datang kesini karena sibuk." Kata Gibran yang secara tidak langsung menyindir Vino. Perubahan raut wajah Vino terlihat jelas dimata mereka bertiga.
"Mmm, maafkan aku bu Andini, sepertinya aku harus segera pergi karena ada pekerjaan lain yang harus aku selesaikan." ucap Vino kemudian mengabaikan ucapan Gibran, lagi-lagi dia tampak tersenyum ramah pada Andini. Hal itu membuat Gibran meradang.
"Cihh, Wanita lain begitu diperhatikan, tapi istri sendiri seperti sudah mati." gumam Gibran, sejurus kemudian semua mata tertuju pada Gibran karena mendengar ucapannya barusan. Begitu pula dengan Vino yang seketika menghentikan langkahnya. Terlihat rahangnya yang mengeras dengan urat-urat kemarahan tergambar di wajah tampannya.
Dimas menatap keduanya bergantian dengan seribu tanda tanya dalam benaknya, sementara Andini hanya bisa diam membisu merasakan atmosfer kebencian diantara ayah dan anak tersebut. Vino sempat diam sejenak sebelum berbalik dan berjalan mendekati Gibran.
Andini seolah bisa merasakan akan ada hal yang tidak menyenangkan yang terjadi diantara keduanya, namun sayangnya Andini bingung bagaimana harus menyela diantara keduanya. Sementara itu Gibran terlihat menatap ayahnya dengan berani dan terkesan menantang, seolah tanpa rasa takut sedikit pun. Vino berjalan semakin dekat dengan putranya yang selalu membuat masalah dan sering kali memancing emosinya.
"Tuan.." Panggil Tirta, ia bisa membaca kalau suasana antara Gibran dan Vino bisa saja tidak terkendali, mengingat watak Vino yang keras dan tempramental. Namun Vino seolah tidak mendengar suara Tirta. Ia menatap penuh emosi kearah Gibran putranya yang dianggapnya sudah sangat keterlaluan.