"Din, tolong aku sekali ini aja yah." Pinta Kiran setengah merengek.
"Kenapa harus aku coba? Kamu kan bisa ketemu sama dia langsung dan ngomong yang sejujurnya Kiran." Ucap Andini tetap menolak.
Sudah hampir 2 hari Kiran terus membujuk sahabatnya itu untuk menggantikannya bertemu dengan pria yang sebelumnya menjadi kekasih Kiran. Kiran tidak ingin bertemu dengan pria itu, karena Kiran baru saja mengetahui fakta bahwa pria itu adalah seorang duda beranak satu.
Pria itu terus saja meminta untuk bertemu dengan Kiran meskipun Kiran sudah memutuskan hubungan selama hampir dua minggu, hal itu membuat Kiran semakin risih saja. Itu sebabnya dia meminta Andini untuk menemui pria itu dan mengatakan bahwa Kiran sudah pindah keluar kota dan akan menikah dengan pria lain.
"Aku tidak mungkin mengatakan alasanku menolaknya karena statusnya itu." Jelas Kiran dengan wajah lemas.
"Memang apa salahnya dengan status duda? Kamu lupa sahabatmu ini juga seorang janda?" protes Andini kesal, Kiran yang lupa akan status sahabatnya tersebut langsung memeluknya.
"Bukan seperti itu Andini, kalau kamu kan janda muda berprestasi dan juga belum memiliki anak, tapi dia.." Kiran terdiam, sebelum akhirnya melanjutkan ucapannya.
"Dia Duda dengan anak berusia 16 Tahun. Mana mungkin aku siap menjadi ibu untuk anak sebesar itu. Lagi pula ini salahnya karena tidak mengatakan yang sejujurnya padaku sejak awal." Imbuhnya kesal.
"Kan aku sudah bilang, jangan cari pasangan hanya dari status sosial dan dompetnya saja Kiran. Ini akibatnya, kamu meninggalkan Angga demi pria ini. Sekarang kamu juga yang kebingungan untuk melepaskannya." Gerutu Andini Kesal.
Kiran memang adalah tipe wanita yang sangat realistis, dia selalu memandang segalanya dari sisi kenyamanan dan kemampanan, apalagi jika itu perihal pasangana hidup. Itu sebabnya di usianya yang menginjak 28 Tahun ia belum juga menemukan tambatan hatinya.
"Ayolah Din, bantu aku sekali ini saja yaaahh." Rengek Kiran.
"Tidak akan!" tolak Andini geram dan langsung bangkit menuju ke kamarnya.
Andini dan Kiran memang tinggal di kontrakan yang sama. Kiran yang bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan sementara Andini bekerja sebagai guru Sekolah Menengah Atas. Andini sendiri baru saja kembali ke kota ini, setelah sekian lama mengabdikan diri disebuah sekolah di desa terpencil pinggiran kota dan setelah 3 bulan lamanya menunggu pengumuman penerimaan guru di sebuah sekolah swasta akhirnya Andini dinyatakan lolos sebagai salah satu guru tenaga kontrak di sana.
Kiran berlari dan menyusul Andini.
"Din, tolong aku yah. Tolooooonggg." Rengek Kiran tidak menyerah.
"Sekali aku bilang tidak yah tetap tidak Kiran!" Tolak Andini semakin kesal, di tutupnya pintu kamarnya dengan keras. Kiran kini hanya tertunduk lemas.
***
Andini duduk dengan wajah kesal, dia duduk disebuah meja yang sudah di reservasi atas nama Vino Darendra, nama pria yang harus ditemuinya malam ini. Malam itu Andini tetap terlihat cantik meski hanya mengenakan kemeja hitam dan celana kain putih. Andini Mahira memang terlahir dengan tubuh tinggi semampai, kecantikannya menggambarkan kecantikan wanita Indonesia, dengan kulit putih langsat. Rambut hitamnya yang menjuntai sampai batas pinggang sering kali di ikat cepol hingga menunjukan leher jenjangnya yang mulus. Gaya tomboy namun tetap menawan itulah ciri khasnya.
"Dasar Kiran! Kalau bukan karena dia menunggu semalaman di depan pintu kamar tidak mungkin aku ada di sini sekarang!" gerutu Andini kesal. Setelah pergelutan panjang, akhirnya Andini mengalah dan mengikuti permintaan Kiran meskipun dalam keadaan terpaksa.
Cukup lama ia duduk menunggu, sampai seorang pria dengan wajah tampan menghampirinya. Pria itu tidak menyapanya, ia dengan santai langsung duduk dihadapannya. Andini terkejut, dia menatap heran kearah pria tersebut. Pria yang menurutnya sangatlah tidak sopan.
"Apa ini pria yang dimaksud Kiran? Tapi kenapa wajahnya semuda ini? Wajah ini berbeda dengan foto yang ditunjukan oleh Kiran sebelumnya" batin Andini bingung.
Pria itu menatap Andini dengan dingin, tatapannya terlihat tajam dan sinis. Ia bahkan menatap Andini dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Maaf. Sepertinya anda salah tempat duduk." Kata Andini mencoba memberitahu kepada Pria tersebut bahwa ini bukanlah mejanya.
"Tidak, aku tidak salah meja." Katanya dengan tatapan dingin.
"Tapi anda bukan orang yang sedang aku tunggu dan meja ini sudah di reservasi oleh orang yang bernama Vino Darendra." Kata Andini menjelaskan
"Yah, akulah yang memesan meja ini." Katanya dengan percaya diri. Hal itu membuat Andini semakin kebingungan.
"Apa-apaan ini Kiran!?" batin Andini menahan kekesalannya. Ia seperti ditipu oleh temannya sendiri.
"Duduklah, kau bahkan belum meminum minumanmu." Katanya dengan nada suara dingin dan menindas. Tapi Andini menolak, ia lantas memutuskan untuk pergi. Tapi pria itu langsung menahannya.
"Kau mau kemana? Kita bahkan belum berbicara banyak."
"Sepertinya anda salah orang dan mungkin orang yang ku tunggu tidak akan datang." Kata Andini sebelum beranjak pergi, namun kata-kata pria tersebut seakan menghentikan langkahnya.
"Apa kau kecewa karena bukan dia yang datang menemuimu?"
Andini berbalik dan menatapnya tajam.
"Bisakah kau jelaskan siapa kau sebenarnya? Aku tidak ingin menghabiskan waktuku untuk meladeni orang yang tidak jelas sepertimu." Kata Andini mulai emosi, Andini memang tipe orang yang mudah emosi. Bahkan saat ini dirinya benar-benar emosi melihat pria arogan yang ada di hadapannya ini.
"Menghabiskan waktu untuk orang yang tidak jelas katamu? Bukankan aneh jika orang yang sudah mengambil waktu orang lain yang berharga untuk dirinya sendiri mengatakan hal seperti itu?" tanya pria itu dengan tatapan berubah penuh amarah.
"Apa maksudnya?"
"Apa kau kecewa karena bukan ayahku yang datang menemuimu?" tanyanya lagi, ia mulai menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya
"Ayah?" gumam Andini tidak paham.
"Yah, Ayahku. Vino Darendra. Apa wanita murahan yang sudah merebut pria dari istri dan anaknya pantas memasang wajah kebingungan seperti itu saat ini? Kau pasti tidak menyangka bisa bertemu dengan anak dari pria yang kau layani selama ini." Katanya dengan nada suara bergetar menahan amarah, kaki Andini sontak lemas. Ia syok mendengar ucapan pria ini.
Jelas saja yang berdiri dihadapannya ini bukanlah pria dewasa, meski ia menggunakan setelah jas untuk memperlihatkan sisi maskulinnya. Sejak awal Andini tau bahwa pria dihadapannya ini jauh terlihat lebih muda dari yang diperkirakannya, dia adalah anak dari Vino Darendra yang baru berumur 16 tahun, yah pria dihadapannya ini adalah seorang anak kecil baginya.
"Sepertinya kau salah paham, aku bukanlah wanita yang kau maksud." Kata Andini mengelak.
"Hahaha.. setelah ketahauan kau baru mengelak? Penjelasanmu sangat terlambat nona Kiran." Ia tertawa namun tatapannya menyimpan amarah dan dendam.
"Tapi aku bukan.."
"Apa kau tau apa yang terjadi pada ibuku saat ini? Dia terbaring lemas dirumah sakit karena depresi mengetahui kabar perselingkuhan ayahku. Aku bahkan berjuang untuk mempertahankan kewarasan ibuku." Ucapnya memotong kalimat Andini yang belum terselesaikan.
Andini terhenyak mendengar ucapan anak kecil dihadapannya ini. Ia seperti kehabisan kata-kata untuk menyanggah setiap ucapannya. Dia bahkan tidak mengenal sosok Vino Darendra, ia hanya melihat wajahnya sepintas dari foto yang diperlihatkan Kiran dan yang terjadi saat ini, ia justru harus mendapat tuduhan yang tidak dilakukannya. Bahkan ia dipojokkan seperti ini oleh anak kecil berusia 16 Tahun.
"Maaf tapi sepertinya ada kesalahpahaman disini." Lagi-lagi Andini mencoba meluruskan siapa Andini sebenarnya,
"Salah paham? Apa kau bahkan pernah memikirkan posisi ibuku? Apa kau sangat putus asa sampai mau menerima dan menggoda suami orang lain dan menyakiti hati istri dan anak dari laki-laki itu? Apa kau semurah itu? Berapa yang ayahku berikan untuk tubuh molekmu itu? Biar aku yang menggantikan ayahku untuk membayarmu tapi dengan syarat jauhi ayahku." Ucapan pria itu terdengar sangat kelewatan dan juga merendahkan Andini.
Craasssshhh..
Andini menyiramkan minuman yang dipesannya sejak tadi dan bahkan belum sempat di minumnya sama sekali tepat kewajah putra dari Vino Darendra, pria itu sontak memejamkan matanya, namun tergambar jelas kemarahan diwajah tampannya yang basah. Bahkan urat-urat lehernya terlihat timbul karena mencoba menahan emosi.
"Bukankah sudah ku katakan bahwa kau salah paham? Aku bukanlah wanita yang kau maksud, aku juga bukan wanita yang bernama Kiran. Namaku Andini, tolong camkan namaku baik-baik di ingatanmu. Namaku Andini Mahira." Kata Andini dengan wajah memerah menahan emosi. Diremasnya gelas bekas minuman yang di siramkannya di wajah pria itu.
"Kiran itu temanku, dia bahkan tidak mengetahui bahwa ayahmu adalah pria yang sudah beristri. Jadi cobalah untuk menasehati ayahmu sendiri terlebih dahulu." Ucap Andini dingin dan menusuk. Sebelum pergi ia sempat berbalik.
"Maaf, harusnya bukan hanya air yang ku siramkan padamu. Harusnya ku tampar wajah mulusmu itu dengan tanganku sendiri, tapi aku tidak ingin mengotori tanganku dengan menyentuh wajahmu. Dasar Bocah!" ucap Andini dengan tatapan tajam dan ekspresi wajah datar. Dia berlalu meninggalkan Gibran yang masih terperangah kebingungan, dia mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang disampaikan Andini.
"Bocah katanya? Apa dia tau aku masih anak SMA?" gumamnya dengan suara tertahan, ia mengepal tangannya erat. Emosi seakan menguasainya.
"Andini? Siapa lagi Andini? Oh Tuhan, ada berapa wanita yang dimiliki ayahku?" Pekiknya frustasi, ia terduduk dengan wajah memerah menahan amarah. Semua mata di restaurant kini tertuju kepadanya. Sementara Andini berlalu pergi, ia siap menemui Kiran sahabatnya untuk menyemprotnya dengan segenap amarah yang membuncah dihatinya.
"Awas saja kamu Kiran!" Gumam Andini dengan suara tertahan.