webnovel

Bab 5

Rania sangat terkejut. Ketika mendengar Erick mengatakan, jika pernikahan mereka adalah pernikahan di atas kertas. Karena bagi wanita itu, pernikahan adalah sakral dan tidak bisa dijadikan bahan mainan.

"Maaf, Pak Erik. Saya menolak tawaran Anda untuk bekerja di perusahaan ini, jika itu adalah syarat yang Anda berikan. Karena bagi saya, pernikahan bukanlah bisnis yang bisa menguntungkan kedua belah pihak. Lagi pula, saya ingin menikah dengan pria yang benar-benar mencintai saya, bukan memanfaatkan saya. Jadi saya menolak dengan tegas, keinginan Anda."

Rania tidak habis pikir, jika pria tampan dan juga mapan seperti Erick. memiliki rencana gila, yaitu mengajaknya menikah. Dengan maksud dan tujuan tertentu.

"Maaf, Nona Rania. Anda tidak bisa menolak keinginan saya. Karena saya sudah mentransfer sejumlah uang ke rekening Anda. Itu artinya, Anda sudah setuju untuk menikah dengan saya."

Rania tidak menyangka, jika Erick akan berkata seperti itu. Memanfaatkan kesusahan yang ia miliki, lalu menjebaknya.

"Saya tidak menyangka. Seorang bos besar seperti Anda, tega melakukan hal serendah ini. Anda benar-benar egois. Apa Anda pikir, dengan uang yang Anda miliki bisa membeli apa pun yang anda mau?" tanya Rania yang mengajukan pertanyaan menohok kepada pria itu.

"Hehehe, terserah apa yang kamu pikirkan Nona Rania. Asal kamu tahu, tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Mengingat kamu belum memiliki pengalaman. Hmm, tapi itu terserah kamu. Jika kamu tidak mau menerima tawaran dari saya, tidak apa-apa. Kamu bisa mengembalikan uang yang saya berikan, dua kali lipat."

Deg!

Rania tidak terima, ketika dengar perkataan Erick. Ia berniat ingin menjawabnya. Namun, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka. Menampilkan sosok wanita cantik, yang wajahnya tidak asing lagi di mata Rania.

"Hai, Sayang. Kejutan!" ucap seorang wanita yang berjalan mendekat ke arah Erick. Sambil merentangkan kedua tangannya, ingin memeluk pria itu.

"Sayang, kamu kenapa tidak bilang, mau datang ke kantor ku?" tanya Erick yang membalas pelukan wanita itu, yang tidak lain adalah kekasihnya, Viona Caroline.

Viona seorang model ternama. Itulah sebabnya, Rania tidak asing lagi ketika melihat wajah wanita itu. Karena Viona sering muncul dilayar televisi, sambil memperagakan busana di atas catwalk. Rancangan para desainer terkenal, kelas dunia.

"Sayang, bukannya sudah aku katakan, jika ini adalah kejutan. Makanya aku sengaja tidak memberitahukan mu terlebih dahulu," jawab Viona dengan begitu manjanya.

Melihat adegan mesra yang terjadi antara Erik dan Viona, membuat Rania muak. Wanita itu langsung membuang muka.

"Jika pria itu sudah memiliki kekasih. Kenapa dia memintaku untuk menikah dengannya?" tanya Rania yang merasa heran, dan memilih untuk tetap diam.

"Oh iya, Sayang. Siapa wanita ini? Pegawai baru kamu, ya?" tanya Viona yang tersadar, dengan kehadiran wanita lain di ruangan kekasihnya.

"Iya, Sayang. Dia pegawai baru di kantor ini. Ya sudah, Rania. Ini kartu nama saya. Jika kamu menerima tawaran yang saya berikan tadi, tolong secepatnya kamu hubungi saya," pinta Erick sambil menyerahkan kartu namanya kepada Rania. Membuat wanita itu mengerutkan dahinya.

"Ayo, ambil Rania dan kamu boleh pergi dari ruangan ini."

Mendengar perkataan Erick, membuat Rania mengerti. Maksud dari perkataan pria itu.

"Hmm, ya sudah, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Rania, lalu mengambil kartu nama tersebut. Dengan cepat melangkah pergi, meninggalkan Erik dan juga Viona.

Viona yang melihat interaksi antara kekasihnya dan juga Rania, merasa sedikit heran. "Memangnya tawaran apa yang kamu berikan kepada wanita itu, Sayang?" tanya Viona meminta penjelasan kepada Erick.

"Hmm, aku menawarkannya untuk bekerja menjadi asisten pribadi ku, Sayang. Tapi sepertinya, dia agak keberatan. Makanya aku bilang, kalau dia berubah pikiran, segera hubungi aku. Jadikan, aku tidak perlu mencari pegawai baru lagi." Erick tidak ingin berkata jujur kepada Viona. Karena ia tidak mau kekasihnya tahu, jika tawarannya kepada Rania, adalah meminta wanita itu untuk menikah dengannya.

"Sombong sekali dia. Ya sudah, Sayang. Kalau kamu membutuhkan asisten pribadi, nanti biar aku yang carikan," tawar Viona.

"Tidak usah, Sayang. Kamu tidak perlu repot-repot melakukan itu. Bukan sesuatu yang sulit bagi seorang Erick Fardan, untuk menemukan asisten pribadi," jawab Erick, berusaha meyakinkan kekasihnya. Karena dia tidak ingin Viona mengetahui rencananya.

"Baiklah, Sayang. Hmm, bagaimana kalau sekarang, kamu menemaniku shoping ke mall? Soalnya ada beberapa barang yang ingin aku beli," rengek Viona dengan nada manja.

"Oke, Sayang. Aku akan melakukan apa pun yang kamu inginkan. Asalkan kekasihku ini bahagia," ucap Erik sambil menarik hidung mancung wanita itu, lalu menggandeng tangan Viona dengan mesra. Membuat banyak pasang mata, yang memperhatikan gerak-gerik mereka.

***

Sedangkan di tempat lain. Dari tadi Rania berjalan, sambil memikirkan apa yang akan dilakukannya. Wanita itu sangat bingung. Karena Erick memberikannya pilihan yang begitu berat. Padahal saat ini, ia sangat membutuhkan pekerjaan. Karena untuk membeli obat saja, ia tidak mampu.

Hingga suara dering ponsel, membuyarkan lamunannya. Rania langsung mengangkat panggilan telepon tersebut. Saat mengetahui itu adalah panggilan telepon dari ibunya.

"Halo! Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam, Nak. Ibu menelepon, ingin memberimu kabar. Tadi adikmu pingsan di rumah, dan Ibu membawahnya ke rumah sakit sekarang."

Deg!

"A-apa, Bu? R-raffa masuk rumah sakit?" tanya Rania dengan terbata-bata.

"Iya, Nak. Kamu langsung ke rumah sakit ya, nanti Ibu akan kirimkan alamatnya, hiks-hiks," pinta Ratna yang sudah bercucuran air mata kepada putrinya.

"I-iya, Bu. Rania akan segera pergi ke rumah sakit sekarang," ucap wanita itu.

Karena Rania sudah tidak memiliki uang sepeser pun, ia teringat akan uang yang dikirimkan oleh Erick ke rekeningnya. Wanita itu pun langsung mencari ATM, untuk mengambil sejumlah uang. Supaya ia bisa secepatnya datang ke rumah sakit, dengan menggunakan taksi.

Tak lama kemudian, taksi yang ditumpangi Rania tiba di depan rumah sakit. Setelah membayar ongkos taksi, wanita itu bergegas menuju ruangan, di mana adiknya di rawat.

Namun, langkah wanita itu langsung terhenti. Ketika melihat Ratna yang sudah menangis, dengan tersedu-sedu. Karena khawatir, Rania pun menghampiri ibunya.

"Ibu, kenapa menangis? Bagaimana keadaan Rafa, Bu?" tanya Rania, yang sudah tidak sabar lagi, ingin mengetahui kondisi adiknya sekarang.

"Rania, akhirnya kamu datang juga, Nak. Sekarang dokter sedang memeriksa adikmu di dalam. Kita berdoa saja, semoga Rafa tidak kenapa-napa."

"Amin. Iya, Bu."

Tak lama kemudian. Seorang dokter dan beberapa orang perawat, keluar dari ruangan pemeriksaan. Rania dan ibunya segera menghampiri dokter tersebut.

"Dokter. Bagaimana dengan kondisi adik saya?" tanya Rania penasaran.

"Oh, Anda keluarganya pasien?" tanya dokter Firman memastikan.

"Iya, Dokter. Saya Rania, kakak kandung pasien, dan ini ibu kami," jawab Rania.

"Hmm, begini Nona Rania. Berdasarkan hasil pemeriksaan. Leukemia yang diderita pasien, sudah memasuki stadium dua. Untuk itu, saya sarankan adik Anda menjalankan kemoterapi, dan juga transfusi darah. Hanya saja, itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit," jawab Dokter Firman. Membuat Ratna menutup mulutnya.

"Rania. Bagaimana ini, Nak?" tanya Ratna benar-benar bingung. Karena saat ini, ia tidak punya uang untuk biaya pengobatan putranya.

"Ibu tenang saja. Insyaallah Rafa pasti sembuh. Ya sudah, Dokter. Lakukan saja pengobatan untuk adik saya. Berapa pun biayanya, saya yang akan bertanggung jawab."

"Baik, Nona Rania. Kalau begitu, saya permisi dulu."

Sepeninggalan Dokter Firman, Sarah langsung menatap putrinya.

"Rania. Dari mana kamu mendapatkan uang, untuk biaya pengobatan adikmu, Nak?" tanya Ratna.

"Ibu tenang saja. Do'akan Rania, mendapatkan uang untuk biaya pengobatan Rafa. Kalau begitu, Rania pergi dulu ya, Bu," pamit wanita itu, lalu pergi meninggalkan Ratna.

"Maafkan Ibu, Rania. Karena kamu harus menanggung beban keluarga kita, hiks-hiks." Ratna merasa bersalah, dan menatap kepergian putrinya. Sambil. menahan air mata.

***

Di tempat lain. Ternyata sekarang Rania duduk di kursi taman, yang ada di rumah sakit tersebut. Ia pun memantapkan hatinya, untuk mengambil sebuah keputusan.

"Aku tidak boleh egois. Saat ini aku butuh uang, untuk biaya pengobatan Rafa." Setelah mengatakan kalimat itu, ia langsung menelepon seseorang.

Drrt! Drrt!

Seorang pria yang saat ini sedang bersama kekasihnya. Langsung mengangkat panggilan telepon dari nomor, yang tidak dikenalnya.

"Halo! Assalamu'alaikum, Pak Erick. Ini Rania. Saya sudah memutuskan, untuk menikah dengan Anda."

Deg!

Bersambung.