webnovel

SUAR 3

"Yah, gimana kalau Aruna gak mau sama Suar. Maksudnya gini, hmm" aku jadi bingung berkata-kata, sejak mendengar kebenaran om Yeksa, aku memikirkan hal ini sejak lama. "Aruna gak mau Suar jadi Penjaga Aruna. Aruna tau Aruna gak harus gitu-gitu sama Suar, tapi kan ayah tau, Aruna gak suka dengan hal yang kayak gitu yah."

Ayah menatapku dengan sendu, "Ayah minta maaf ya sayang, seharusnya Ayah gak menikah, jadi kamu harus menanggung beban seperti ini."

"Ayahhhh tidak seperti itu, Aruna hanya tidak bisa memenuhi nafsunya si Suar. Aruna gak punya nafsu yah." Ucapku sambil bergelayutan di lengan Ayah.

Ayah memegang kedua pipiku, "Aruna, jauh dari segi itu, ayah bersyukur kalau penjagamu itu Suar. Suar sangat kuat, orang pertama terkuat di Maheswari."

"Tapi yahhh."

"Suar juga anak yang baik, dia benar-benar bekerja keras untuk menjadi penjagamu. Agar kamu tidak kecewa nanti." Lanjut aja tanpa mendengar resahku.

Aku menghembuskan nafas kasar, "baiklah, Jadi kapan kita pergi ke Dimensi 10?"

"Besok."

                                      ******

"Senyum dulu loh dek." Seru Om Yeksa yang tiba-tiba duduk di sampingku, "Kita bakal berangkat, seenggaknya kasih senyuman manis untuk pertama kali bertemu."

Aku yang masih sibuk dengan smartphone ku menoleh ke arah om Yeksa, "Diemlah Om, aku udah gak minat sama hal-hal kayak gini, mending aku kuliah."

"Sttt jangan omong gitu." Wajah Om Yeksa menjadi serius, "penolakan dari kamu itu bisa berakibat buruk buat dia Aruna. Asal kamu tau, alasan dia menjadi sekarang adalah kamu. Tujuan hidupnya adalah kamu."

"Iya iya om, ayah sudah memberitahuku."

"Anak-anak kita berangkat." Ayah dari depan pintu memanggil kami.

Dengan mobil tua ayah, kami melakukan perjalanan yang panjang ini. Waktuku hanya di habiskan dengan smartphone yang menyedihkan.

Sejak kejadian di kos Edi, Edi mengirimkan pesan padaku untuk permintaan maafnya, namun setelah itu, sikapnya sedikit berumah, dia banyak sekali alasan untuk tidak menelponku padahal dulu kita hampir setiap malam sleep call

Sudah 1 jam di mobil, membelah keheningan hutan. Om Yeksa tidur di kursinya sedangkan Ayah menyetir mobil.

Ayah terlihat tegas walaupun wajahnya yang sudah tua, garis-garis kasar di wajahnya menambah seram dan tegasnya wajah itu.

     Banyak sekali makhluk-makhluk yang berdiri, mengambang dan melayang di pinggir jalan. Ada kerumunan sosok makhluk seperti manusia biasa, mereka hanya diam dan menatap ke atas, mereka jarang sekali di temui. Sosok berkerumun itu bernama Kemamang, mereka tidak jahat, bisa di bilang mereka bersifat netral.

   

Ada juga sosok berbulu besar, dengan taring yang panjang serta mata yang merah nyala, itu sosok Genderuwo. Terkadang mereka suka mengganggu para wanita, ada yang mengusiknya, ada yang masuk ke dalam mimpi, ada pula sosok Genderuwo ini berubah jadi pria tampan untuk menarik perhatian para wanita dan yang paling seram, mereka bisa menculik para gadis ke dalam hutan dan masuk ke alam mereka.

     Yang aku tahu, semakin lama umur makhluk gaib, maka kuat kekuatan mereka. Makhluk yang memiliki kekuatan besar biasanya tinggal jauh dari manusia, seperti hutan, di gunung, rawa, dan pantai.

 

                               *************

     Sudah 6 jam perjalanan akhirnya kami berhenti untuk beristirahat, Ayah berkata perjalanan masih 5 jam lagi, itu berarti tepat saat petang. Kami berhenti di pinggir jalan, di sana ada rumah penduduk menjual makanan atau angkringan. Ada pula beberapa pengendara yang berhenti untuk istirahat.

    1 jam kami beristirahat akhirnya kami melanjutkan perjalanan, kali ini Ayah yang tertidur di kursi penumpang dan Om Yeksa yang menyetir. Dan aku juga ikut tertidur karna lelah.

     Tubuhku terasa bergetar, ada apa ini, apakah ada gempa. Aku mencoba mengumpulkan kesadaranku untuk bangun.

     "Aru... Aruna." panggilan Om Yeksa (kita panggil saja Yeksa, sebab seumuran)  dengan menggoyang bahuku. "Ayo bangun, kita sudah sampai di gerbang perpindahan Dimensi  ."

     Aku mengangguk dan keluar dari mobil, semua sangat gelap, sepertinya ini sudah malam. Baru aku sadari ternyata aku berada di kaki gunung, apakah kita semua akan naik gunung.

     Aku lihat Ayah sedang berbicara pada seseorang yang sebaya dengannya, dan tanpa aku sadari ternyata di sini bukan hanya Aku, Yeksa, Ayah dan orang dia ajak bicara, ini ramai sekali, sekitar ada 30 orang. Ada yang muda sepertiku dan Yeksa, ada juga yang sudah tua seperti Ayah.

    "Mereka sama seperti kita Aruna." Ucap Yeksa yang tiba-tiba di sampingku. Dia membawa koperku dan kopernya di tangannya. "Ayo kita berkenalan dengan mereka, mereka akan menjadi teman seangkatannya kita."

    Yeksa berjalan ke arah salah satu pria seusia di sana. Mereka saling berkenalan satu sama lain, dan aku hanya berdiri dekat mobil. Sepertinya aku tidak akan dapat teman lagi, sama seperti dulu saat aku masih bersekolah SD dan SMP. Sebab kelebihanku yang bisa melihat mereka yang astral.

    "Hai." suara perempuan dari belakangku, aku menoleh kebelakang terlihat gadis berambut panjang berwarna hitam, tubuhnya tidak terlalu tinggi dan punya lesung pipit di pipinya ketika dia tersenyum. "Bestari."

     Aku menerima uluran tangannya, "Aruna."

     "Kamu baru datang? Pasti tempat tinggalmu jauh." ucap Bestari dengan santai. Dia membawa ransel besar di punggungnya. "Aku datang dari Kalimantan Barat."

    "Aku datang dari Semarang" ucapku sedikit kikuk, sepertinya orang-orang di sini baik. Merasakan hal sama sepertiku.

     "Wow dekat banget, ini Daerah Jawa timur, Deket sama gunung Mak Jeru, gerbang Maheswari ada di depan sana." Bestari menunjuk sebuah gunung di depan sana.

    Aku mengaguk-angguk ragu, jarang sekali aku berbicara kepada orang lain. Suasana canggung mulai terasa, mungkin karna aku hanya diam seribu bahasa.

     "Aruna ayo, mereka sudah berjalan." Ajak Bestari yang mengikuti rombongan ini.

Berjalan setengah jam akhirnya kami sampai di depan pintu gua yang sangat lebar, seperti gua biasanya, ini hanya gua biasa yang tidak terurus, banyak tumbuhan merambat di sisi-sisi pintu gua.

  

Semua menjadi hening, Yeksa yang berada di depan kembali menyusulku di belakang, aku meminta koperku tapi dia menolaknya padahal dia sendiri terlihat kalah dan cape, harus sejalan sedikit menanjak selama 30 menit dengan 2 koper. Bestari sudah bersama seorang perempuan berumur, sepertinya dia adalah ibu Bestari.

     Tak lama ada seseorang yang keluar dari dalam gua, dia seorang perempuan ada laki-laki mengenakan pakaian adat Jawa. Mereka tersenyum, yang perempuan sangat anggun dan cantik sedangkan yang laki-laki sangat gagah dan tampan.

    Tanpa aba-aba dari siapa pun kamu berjalan mengikuti 2 orang itu, kita berjalan ke arah dalam gua. Di dalam gua sangat berbeda saat di mulut gua, ini sangat bersih, dinding gua terdapat obor sebagai penerangan, tercium harum bunga-bunga tapi tidak terlihat bunga satu pun di sini.

    Rombongan kami berhenti, depan sana terlihat sebuah ruangan gua yang lebih kecil, di sana hitam pekat tidak ada satu penerangan. Satu persatu dari kami berjalan ke arah ruang hitam pekat itu. Sampai giliranku dan Yeksa. Yeksa menyuruhku lebih dahulu baru dirinya, sedangkan Ayah sudah dahulu masuk ke ruangan itu.

     2 orang berpakaian ada tersenyum kepadaku, aku membalas senyumannya dan sedikit membungkuk. Aku melangkah maju dengan perlahan, ruangan hitam pekat ini membuatku takut tersandung atau menubruk sesuatu di dalam sana.

     Tapi ternyata salah, ketika aku masuk ke dalam seketika kaliku tidak menampak lantai, aku seperti jatuh dalam ketinggian yang gelap, tidak ada cahaya sedikit pun.

Aku mulai takut, aku tidak bisa berteriak sedikit pun. Ini seperti wahana yang terjun dari atas ketinggian tapi sayangnya ini tidak ada dasarnya. Aku menengok ke kanan, kiri, atas dan bawah, tapi hasilnya nihil, tidak ada celah mataku menemukan sedikit cahaya.

    Nafasku mulai sesak, aku susah menghirup udara, udara itu seperti tertinggal di atas sana. Mataku mulai berkunang-kunang, Kesadaranku mulai hilang, asam lambungku pun mulai naik.

    Buk

    Sebelum aku kehilangan kendali tubuhku, Ayah sudah menahan tubuhku agar tidak jatuh. Di saat itu juga kakiku mulai menampakkan kaki lagi di sebuah pasir. Sebelum mengamati daerah sekitarku, tiba-tiba dari dalam perutku mengeluarkan makanan yang ku makan.

Ayah memijat tekuk belakang leherku dengan baik, di sampingku sudah ada Lingga, kondisinya sama sepertiku, dia juga muntah. Sepertinya tidak hanya aku dan Yeksa tapi hampir semuanya yang di sini mengalami itu.

    Setelah mengeluarkan sisa-sisa makanan dari perutku, aku mulai berdiri tegap dengan susah payah begitu pun dengan

Yeksa, dia masih setia memegang 2 koper di tangannya.

    Pasir berwarna putih yang aku injaki kini menjelaskan bahwa aku tidak lagi di dalam gua Gunung Mak Jeru, tapi sebuah pantai bersih nan memesona.

Bintang-bintang bercahaya kenap-kelip di atasku. Sesaat aku terpesona dengan pemandangan di sini, melupakan kalau aku jatuh dari ketinggian yang sangat gelap.

     Apakah ini Dimensi   10 yang di ceritakan Yeksa dan ayah?

     "Selamat Datang di Maheswari."

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

_17_agustuscreators' thoughts