Hari pernikahan telah tiba. Pernikahan diadakan secara sederhana atas permintaan Karina.
Hanya keluarga dan rekan dekat saja yang diundang. Bukan tanpa alasan, Karina tidak ingin menjadi pusat perhatian.
Selain itu, sedari dulu dirinya memang sangat suka dengan hal yang sederhana dan tidak mewah.
Kini, keduanya sudah resmi menjadi suami istri. Dengan begitu terpaksa, Karina terus tersenyum bahagia kepada seluruh tamu undangan yang ada.
Ia memang tidak bahagia. Namun, tidak sedih juga. Karena bagaimanapun, ia sudah tak percaya dengan yang namanya cinta. Pengkhianatan Adam begitu menorehkan luka yang sangat dalam untuknya sampai ia merasa sedikit trauma.
Lagipula, menikah atau tidaknya. Karina merasa biasa saja. Sebab, sehari sebelum menikah. Keduanya sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing. Keduanya akan beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Karina memang harus menuruti semua perkataan dan perintah Ken.
Sebenarnya, Karina sangat tidak setuju dengan point yang terakhir. Hal itu benar-benar merugikan dirinya. Tapi ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Semuanya sudah terjadi.
"Tuan, kumohon tersenyumlah," lirih Karina sambil menyenggol lengan sang suami.
"Harus ya? Aku capek berdiri terus seperti ini," sahutnya jutek.
Sedari tadi, memang hanya Karina saja yang tersenyum. Sangat berbanding terbalik dengan Ken yang memasang wajah datar.
"Tentu dong. Kita harus terlihat bahagia. Kasian orang tua kita."
Karina terus fokus menatap ke depan.
'Gadis ini memang begitu menyayangi orang tuanya,' batin Ken sedikit kagum. Ken tahu jika Karina sebenarnya benar-benar terpaksa menikah dengan dirinya.
"Aku tidak mau!" tolak Ken tegas.
Karina pun langsung menatap ke arah pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu. Karina masih tidak percaya jika dia sekarang adalah seorang istri.
Perlahan, tangan Karina terulur menggenggam tangan Ken. Bukan hanya itu saja. Karina bahkan membawa satu tangan Ken ke pingangnya.
Sontak saja Ken sedikit terkejut karena kelancangan sang istri. "Kumohon Tuan. Sedari tadi mereka menatap kita aneh," pinta Karina.
"Aku tidak peduli. Biarkan saja, mereka tahu jika pernikahan ini dilakukan dengan paksaan," ujar Ke santai.
Karina yang langsung kesal tanpa sadar mencubit pinganggang Ken.
"Awgh," ringisnya.
"Apa-apan kamu?!" tanya Ken sedikit geram.
"Maaf Tuan. Saya refleks karena kesal tadi." Mengelus-ngelus pinggang Ken yang dicubitnya itu.
Ken mendegus sebal. Ia pun akhirnya tersenyum juga. Ia akui, jika dirinya sedikit kasihan melihat Karina yang barusan saja memasang wajah kecewa.
"Baiklah. Aku akan terus tersenyum seperti orang bodoh."
"Terima kasih Tuan." Mata Karina berbinar.
Di sisi lain
Adam terus memperhatikan sosok Karina yang tengah bersanding dengan sang suami.
Ia benar-benar tak rela. Bagaimanapun, sebenarnya ia mencintai Karina seorang. Lisa hanyalah pelariannya belaka.
'Aku tidak rela. Karina itu hanya pantas bersanding denganku saja.' Mengepalkan tangannya erat.
Adam memandang remeh Ken. Ken hanyalah pria tunanetra yang beruntung pikirnya. Adam sangat yakin, jika sang mantan kekasih tidak mungkin mencintai sosok Ken yang tak sempurna itu.
Selain itu juga, Adam begitu kesal karena tak diundang oleh Karina. Ia bisa berada di sini sekarang karena menjadi pasangan Lisa, sepupunya Karina.
"Sayang, sedang apa di sini?" tanya Lisa lembut.
Adam yang tersadar segera mengalihkan pandangannya dari sosok Karina dan Ken.
"Ah itu. Aku hanya haus saja." Menunjukkan gelas yang ada di tangannya.
"Oh begitu." Mengangguk paham. "Aku pikir, kamu masih tidak rela jika Karina sudah menikah dengan pria lain."
Adam berusaha tersenyum manis. "Tidak mungkin dong. Karina itu hanya masa laluku saja." Mengelus rambut panjang sang kekasih.
"Bagus dech kalau begitu," sahutnya lega.
Lisa pun kini memandang sosok Karina dan Ken yang tengah tersenyum penuh kebahagian.
"Mereka benar-benar cocok sekali," ledek Lisa.
Di lubuk hatinya yang paling dalam. Lisa benar-benar bahagia karena Karina kini sudah menikah. Apalagi suami Karina adalah seorang Tunanetra.
Jadi, Adam aman. Hanya akan selalu menjadi miliknya seorang.
Hingga, tiba-tiba saja. Baju Lisa terkena tumpahan jus.
"Ups.. Maaf. Sengaja," ujar Indry yang pura-pura terkejut.
Indry sengaja menumpahkan segelas jus yang niat awal ingin diminumnya. Namun, tatkala melihat sosok Lisa. Indry pun langsung melakukan hal itu.
"Kamu?!" Lisa menunjuk Indry geram.
"Kenapa? Kamu marah?" ujar Indry menantang.
Adam yang melihatnya begitu bingung harus berbuat apa. Adam sangat tahu jika Indry bukanlah gadis sembarangan.
"Jangan kurang ajar kamu ya. Bagaimanapun, aku ini sepupunya Karina. Kamu itu hanya sahabatnya saja. Jadi, jangan songong."
"Sepupu ya. Sepupu apa yang tega merebut kekasih sepupunya sendiri Huh?! ujar Indry tertawa sinis.
Ia sangat tahu, jika sedari dulu Lisa selalu saja iri dan memusuhi sosok Karina.
Indry juga tahu jika, para keluarga Karina tidak tahu apa yang telah diperbuat oleh Lisa.
"Jangan asal bicara kamu!" tunjuknya kesal.
"Aku hanya berkata fakta. Ah iya, seandainya keluarga besar kalian sampai tau tentang masalah ini. Aku sangat yakin, jika kamu akan dicoret dalam kartu keluarga."
Kini, tatapan Indry beralih ke arah Adam yang sedari tadi hanya terdiam.
"Dan untuk kamu pria tak tahu malu. Kamu lihat kan, Karina bisa bahagia tanpamu." Melirik sosok Karina, Ken yang terlihat begitu serasi.
"Walaupun suaminya itu tunanetra. Namun, dia jauh lebih baik darimu. Dia tampan, baik, dan juga kaya." Menatap Adam remeh.
"Ah iya, aku juga ingin bilang jika kalian memang begitu cocok. Sama-sama manusia yang tak tahu diri," ujar Indry santai.
Tangan Adam sudah terkepal sempurna. Lisa juga menggertakkan giginya. Jika tak ingat ini adalah pesta. Pasti Lisa sudah menjambak rambut Indry saat ini juga.
Indry tersenyum puas setelah menghina keduanya. Ia pun langsung melangkah pergi.
Indry tak ingin membuang waktunya yang begitu berharga hanya untuk dua spesies makhluk hidup yang harusnya dimusnakahkan saja itu.
Kembali ke Karina dan Ken.
Keduanya kini tengah sesi pemoretan. Sedari tadi, Karina begitu tidak fokus. Ia terlalu terpana dengan ketampanan Ken yang dilihat dari jarak sedekat ini.
Pria itu tak mengenakan kacamata hitamnya seperti biasa.
"Mbak, tolong tangannya dilingkarkan di leher sang suami," titah sang Photografer.
"Ah iya," jawab Karina kikuk.
Indry yang melihatnya hanya bisa tertawa kecil. Tumben-tumbenan sang sahabat terlihat begitu kaku seperti itu.
Apakah sahabatnya itu gugup? Jika iya. Hal itu begitu langka sekali.
'Haha. Tubuh gadis ini ternyata bergetar. Jantungnya juga berdetak lebih cepat. Apa dia gugup?' batin Ken dalam hati.
"Nah, sekarang pose mendekatkan wajah ya."
Glek.
Karina menelan salivanya susah payah.
"Nah, ayo lebih dekat lagi."
'Astaga. Apa iya harus segitunya?' batin Karina merasa sedikit frustasi.
Ken yang mendengarkan arahan itu, semakin mendekatkan wajahnya sampai tak sengaja bibir keduanya bersentuhan.
Karina membelalakkan matanya tidak percaya. Indry yang melihatnya bersorak kecil. Sedangkan sang photografer terlihat begitu puas.