Mentari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur, membagikan sedikit sinarnya untuk menuntun burung-burung yang terbangun dari lelapnya alam mimpi dan mengepakkan sayapnya dalam kicauan menyambut hari yang baru. Sudah nyaris satu malam dihabiskan Lev dan yang lain untuk mengarungi hutan yang seolah tanpa ujung ini. Tidak sedikitpun mereka beristirahat, terlebih lagi karena Win sudah membicarakan hal yang merusak mental mereka.
Karena kata-katanya itu, mereka malah mempercepat pergerakan, mengkhawatirkan kondisi atasan mereka yang mungkin tidak seaman dugaan semula.
[Aku coba pantau ke belakang, Win jangan bergerak dengan aneh.]
[Yang aneh itu kau, bukan aku, bro.]
"Kalian berdua sama anehnya," Lev menyambar dengan ketus. Dua orang itu sama saja untuknya, yang satu tidak punya perasaan dan satunya tidak tahu situasi serta asal bicara.
[Kau masih kesal karena kata-kataku?]
"Aku tidak kesal, cuma pusing."
[Sejauh ini tidak tampak tanda-tanda mereka mengejar.]
Kata Wijaya memotong perseteruan Lev dengan Win. Sepanjang malam dia sudah beberapa kali mengecek ke belakang. Sejujurnya Lev tidak tahu jika informasi dari Wijaya adalah hal baik atau buruk.
Walau tempat ini seharusnya menjadi bagian dari LUNA dan bahkan wilayah dari salah satu negara utama, tempat ini terasa begitu asing bagi mereka. Terlebih lagi untuk Lev. Walau separuh Siberia, dia tidak pernah benar-benar menginjakkan kakinya di Siberia Tenggara.
Tempat yang asing selalu menjadi tempat yang sangat berbahaya. Mereka tidak tahu kapan akan ada sergapan tidak terduga dari balik bayang-bayang.
[H-hei, Wijaya kau sudah hilang akal, ya?]
Protes dari Win membuyarkan lamunan Lev. Kamera nesti langsung digeser untuk melihat ke arah subutai. Stielkruger penembak runduk itu sedang membidik ke arah depan. Sekilas memang seperti akan menembak Win.
[Kau bicara dan tahu terlalu banyak, Win, mungkin Wijaya akhirnya memutuskan untuk menghabisimu.]
[Kwang, kau tahu ini bukan waktu bercanda seperti itu.]
[Aku tidak bercanda Win, orang yang sedang memegang senapan di belakangmu itu memiliki lisensi untuk membunuh.]
"Apa?!" Lev meraung melalui radio. Setahu Lev, lisensi yang disebut Kwang itu adalah suatu hak yang dipercaya sebagai suatu hal yang ghaib.. Ada menurut konsep tetapi Lev tidak pernah mendengar ada yang benar-benar memiliki ijin macam itu. Sampai hari ini.
"Wijaya, jelaskan."
Hening. Tidak ada jawaban dari Wijaya. Subutai tampak masih membidik ke depan sana untuk beberapa saat. Lev langsung menghubungkan jemari prostetiknya pada sistem nesti. Kalau Wijaya benar lepas kendali, maka dia sebagai mentor yang harus menghentikannya.
[Ada kota kecil di depan sana, tetapi posisinya diapit tebing.]
Subutai menurunkan senapannya bersamaan dengan jawaban acuh tak acuh dari Wijaya. Lev tidak suka dengan tingkahnya barusan. Walau memang dia tahu Wijaya bagai mesin pembunuh, tetapi lisensi yang dipegang Wijaya bukanlah masalah remeh.
Kalau ada satu dari mereka yang diberikan kewenangan untuk membunuh siapa saja orang dalam regu ini, maka kepercayaan antar orang akan berkurang jauh. Sekarang masuk akal mengapa mesin pembunuh macam dia dibiarkan masuk ke regu Vrka. Lev memang sempat bercanda soal itu, tetapi Wijaya sepertinya memang anjing mesin pembunuh yang dibiarkan lepas oleh dewan pimpinan LUNA sebagai pengawas .
"Aku tidak menanyakan apa yang ada di depan sana, Wijaya, tapi soal kau!"
[Aku hanya mesin pembunuh, tidak lebih dan tidak kurang.]
Lev menggeram kesal, "Maksudmu kau bisa membunuh kami kapan saja kalau kau atau dewan pimpinan merasa perlu? Apa pak tua tahu soal ini?"
[Awalnya justru cuma Boris yang tahu.]
"Cih, lalu kau tahu dari mana, mata-mata? Sejak kapan? Dan kau sama saja seperti pak tua itu yang hanya menutup mulutmu melihat makhluk berbahaya ini dimasukkan dalam regu kita? Lalu kenapa baru sekarang kau bilang hal ini?"
Terdengar Win menghela napas panjang. [Sudahlah, Lev, justru menurutku Wijaya adalah yang paling tidak berbahaya di antara kita semua. Bukannya kau sendiri yang bilang, justru karena dia adalah mesin pembunuh maka dia yang paling bisa dipercaya?]
[Dan aku baru mengatakannya sekarang karena kita tidak tahu lawan macam apa yang akan kita hadapi. Atau seberapa banyak mereka tahu tentang kita. Aku mengatakan in dalam antisipasi bagi kita jika mereka melemparkan informasi yang mungkin menuai perpecahan di saat genting. Aku tetap mempercayakan 'punggungku' pada Wijaya terutama saat pertempuran, dan aku ingin kepercayaan macam itu di diri kalian tidak goyah di saat yang paling diperlukan.]
Lev masih merasa tidak nyaman. Entah karena terlalu lama di dalam kokpit, lelah, atau dia merasa sedikit dikhianati. Dia sendiri yang telah mengajari Wijaya cara menggunakan stielkruger dengan efektif. Ironisnya, ajarannya itu yang justru bisa digunakan untuk menghabisi mereka satu per satu jika kelihatan tidak sejalan dengan dewan pimpinan.
"Cih, tentu saja percayakan punggungmu pada orang yang kesetiaannya diatur oleh dewan pimpinan. Bukankah bagi mereka kita juga sama saja seperti anjing-anjing pemburu yang bisa dibuang kapan saja? Dan saat itu tiba, dia yang akan menjadi eksekutor kita."
[Aku tidak pernah menyangka kau adalah orang yang paling peduli dan menyayangi regu ini.]
Kata-kata Win menyentak Lev. Perasaannya semakin berkecamuk. Lev selama ini merasa regu ini memang hanyalah anjing-anjing pemburu milik dewan pimpinan yang diisi orang-orang mencurigakan. Namun, dia tidak pernah menyangka kata-kata Win bisa membuatnya tertegun.
[Vrka… keluarga Lev.]
Kali ini komentar Yon yang terasa begitu menohok. Lev tidak pernah menyadarinya, orang-orang mencurigakan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya. Apakah itu yang menyebabkan dia merasa begitu terkhianati oleh kebenaran tentang Wijaya?
Lev menghela napasnya, "Aku heran bagaimana kalian bisa begitu tenang menerima fakta soal bedebah dingin ini."
[Seperti yang kau bilang, justru karena dia ini mesin pembunuh…]
"Diam, Win, kau tidak perlu mengulangnya lagi," desis Lev. Dia lalu mengacungkan senapan nesti pada subutai, "Kau sendiri bahkan tidak berkomentar apa-apa. Kau tidak khawatir aku kesal dan meledakkan kepalamu?"
Wijaya hanya terdengar menghela napas.
Hal itu membuat Lev makin kesal, "Kenapa? Kau menahan diri untuk tidak membalas? Karena dewan pimpinan tidak mau aku mati?"
[Kesetiaanku adalah pada ideologi LUNa, bukan dewan pimpinan…]
Wijaya terdengar menghela napas lagi di sela-sela kata-katanya.
[... juga pada regu ini.]
Entah mengapa, Jawaban itu sedikit menenangkan Lev. Dia memandang pada subutai melalui kamera nesti. Memang, dibukanya kenyataan ini rasanya seperti dihentak dari ilusi saja. Namun, di saat ini, di kondisi ini, Lev memang tidak punya pilihan lain selain memercayai Wijaya.
"Bagaimana aku bisa memercayai kata-katamu?" tanya Lev lirih.
[Aku tidak pernah meminta atau perlu dipercayai.]
"Cih, orang-orang macam kau selalu saja begitu."
Wijaya tidak menjawab. Dia kembali mengacungkan senapannya untuk mengecek jauh ke belakang. Di kala itu, terdengar kata-kata dari Yon.
[Lev, Wijaya tidak pernah berbohong.]
Memang, Yon mungkin benar. Walau dingin dan sinis, Wijaya tidak pernah mengucapkan kebohongan pada mereka walau itu bukan berarti dia tidak pernah menutupi apapun.
Lev kembali fokus ke depan dan melepaskan tautan lengan prostetiknya dengan nesti. Tidak lama kemudian dia melihat atap bangunan. Sepertinya ada sebuah kota kecil. Bangunan-bangunan di sana tampak agak tua dan kurang dirawat dan tersebar kurang merata. Beberapa bagian kota itu tampak terbuat dari rumah-rumah biasa sementara bagian-bagian lain seperti bentuk-bentuk rumah toko. Dari lokasinya, rumah-rumah toko sepertinya terletak di bagian lebih pusat kota dan rumah-rumah biasa berada di bagian pinggiran.
Masalahnya, kota itu diapit lereng bukit. Sebuah tempat sempurna untuk melakukan sergapan.
ZHY mendadak memberikan isyarat untuk berhenti ditemani instruksi dari Kwang. [Kita perlu memperbincangkan langkah selanjutnya.]